(Kamis, 7 Februari 2019)
Beruntung hari ini Kamis. Aku jadi tidak perlu mengorbankan satu pun koleksi sepatu kinclongku yang berjejer ceria di rak, sebab aku memerlukan mereka malam nanti; ketika aku akhirnya keluar dari kamar mandi dengan rambut yang telah dikeramasi dan badan yang telah digosok scrub.
Aku menekankan airpods lebih dalam ke telinga ketika lagu Connection mengalun. Ini lagu yang sedang kucoba-coba di rumah, juga lagu yang membuatku lebih percaya diri menyusuri lobi yang sepi dan remang-remang. Aku datang kepagian, tentu saja, seperti biasa. Tapi, seperti yang telah kalian ketahui, aku sengaja melakukannya. Meski hari ini Kamis, yang berarti aku tidak perlu mencemaskan MPK-MPK yang berjaga—karena hari ini cewek-cewek pakai kenip, flat shoes, dan high heels; termasuk Agatha, yang membuatku setengah mati bertanya-tanya ada apa dengan mood cewek itu di hari Kamis.
Aku menyalakan pendingin, menyembunyikan remote-nya di kolom meja, dan membantu menghapus papan tulis berhubung hari ini aku yang kebagian jadwal bersih-bersih. Setelah membersihkan kolom mejaku dan Raynhart yang sedikit berpasir, aku duduk menyelonjor sambil membuka beranda YouTube dan menonton video-video yang belum sempat kutonton. Ya, saking nolep-nya aku, semua video yang kebetulan lewat di beranda pun kutonton satu per satu. Sisi baiknya, aku jadi bisa update informasi tanpa perlu menghabiskan banyak waktu di media sosial yang tidak terlalu kukuasai. Baca: Instagram. (Karena Instagram-ku isinya cover-an bass semua.)
Erick datang tidak lama setelah aku menyelesaikan satu video cerita pendek. Dia melepas maskernya dan melempar seulas senyum singkat padaku. Rambutnya masih basah di balik udeng peraknya. Hari ini, dia memakai kemeja putih dan kamen hitam, lengkap dengan saput yang senada dengan udeng-nya. Tidak sadar kepalaku sudah mengangguk-angguk. Semakin hari, penampilan Erick semakin oke saja.
"Oi, Keith." Aku mencopot airpods-ku ketika Erick mengalungkan ranselnya di kepala kursi dan mengelap lensa kacamatanya yang sedikit berembun. "Sudah ngerjain pe-er matematika minat belum?"
"Sudah, dong." Jujur, pe-er itu sudah selesai tiga puluh menit setelah diberikan. Aku bukan prodigy, bukan juga genius, aku murni gabut dan ngebet kepengin menghabiskan waktuku di rumah dengan ngonser dan ngorok. Sederhananya, takdirku sebagai pemalas memaksaku untuk menyelesaikan tugas-tugasku sebagai objektif awal. Mau tidak mau, aku otomatis jadi rajin. "Kamu sudah?"
"Sudah, kok." Baguslah. "Kamu kepilih nge-band di pesta raya, ya?"
"Bukan aku," aku menyangkal. "Raynhart saja. Sama Rani. Aku kepilih, sih, cuma aku nolak."
"Oh, ya?" Aku mengedik. "Kenapa?" Erick menarik kursinya lebih dekat, kelihatan tertarik. "Pasti gara-gara Kevin, ya?"
Aku menyeringai. "Ini nggak ada hubungannya sama Kevin!" Apa-apaan? Cenayang dari mana sesungguhnya dia ini? Dari mana dia mengetahui alasanku yang sebenarnya?
Dia melengkungkan bibirnya ke bawah. "Cuma nebak," katanya. "Jadi, kamu free, nih, di pesta raya?"
Aku mengedik lagi. "Mungkin."
Erick terkekeh. Sekali lagi, dia melepas kacamatanya dan mengelapnya menggunakan kain microfiber. "Yuk," katanya. "Tourney."
Mungkin inilah yang dinamakan, tanpa dayung, dua-tiga pulau terlampaui.
"Benar, nih?" tanyaku.
Aku belum sempat menghubungi Irvan berhubung kemarin Giselle menyita sebagian besar waktu istirahatku di rumah. Dia baru pulang pukul tujuh, setelah memaksaku memainkan lagu kesukaannya dengan bass dan menanyakan aku ingin pesan apa dari depotnya—supaya Pak Min bisa sekalian membawakannya untukku, katanya. Aku terpaksa memilih yang paling murah—sapo tahu seafood—sebab aku tidak ingin merugikan Giselle dengan membuatnya memberiku kerang saus asam pedas secara cuma-cuma.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Suck At Love
Teen FictionKeith, si bassist nolep, akhirnya menerima tawaran untuk melengkapi band yang akan tampil di pesta raya St. Patrick yang keenam puluh lima. Semuanya terasa seperti mimpi indah, sampai akhirnya Keith tahu dia akan dijadikan satu band dengan Rani, san...