PART THREE: Addicted

145 26 0
                                    

(Kamis, 14 Maret 2019)

Lusa hari festival itu.

Seseorang berkata pesta raya tahun ini akan lebih istimewa dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini pesta raya St. Patrick yang keenam puluh lima, bukan pesta emas atau pesta 75 tahun, tetapi dikatakan lebih istimewa. Pesta emas telah berlalu ketika Dean masih kelas dua dan aku masih berumur satu tahun, masih berupa segumpal bayi rewel yang merepotkan, masih di Manila juga. Dean sering bercerita mengenai pengalaman samar-samar miliknya ketika itu.

"Heboh." Mata Dean seperti berbinar-binar. "Semuanya hijau. Ada badut. Guci raksasa. Marching band. Aku sama temen-temenku rebutan ambil permen di sana. Banyak makanan sama minuman. Itu 2004—gimana 2019? Pasti lebih keren lagi."

Gembar-gembor Dean sukses membuat ekspektasiku melejit tinggi. Dalam bayanganku, St. Patrick benar-benar akan disulap menjadi Disneyland atau semacamnya. Kuharap tim dekorasi yang paling sering kena semprot Pak Hendrik—entah karena spanduknya miring, terlalu mepet, atau menutupi jalan—menjalankan tugasnya dengan baik.

Sebenarnya sekarang jam pelajaran, hanya saja tidak ada guru yang mengajar. Sebagian besar guru membantu persiapan pesta raya bersama panitia panggung, tim dekorasi, logistik, dan acara. Sebagian lagi hanya melihat-lihat. Aku mulai merasakan kesendirian yang tidak biasa, jadi kuputuskan untuk benar-benar menyendiri. Hanya berkedip melihat orang-orang yang melintas dengan tatapan murung, luntang-lantung di kafetaria, mengobservasi persiapan hari H, duduk-duduk di balkon, dan merenung di belakang ring basket.

Aku kembali ke kafetaria setelah melamun dan kepanasan di bawah ring basket. Kafetaria yang awalnya kumuh berubah kinclong dalam sekejap. Dinding-dinding yang mengelupas dan penuh lumut dicat hijau muda, nyaris putih. Penerangan diganti sehingga terkesan lebih ceria, juga agar tempat ini lebih layak disebut sekolah. Lantai yang mulanya penuh kerak, jejak sepatu, dan pasir kini putih bersih macam lantai di iklan obat pel. Aku turut senang untuk St. Patrick, namun tidak bisa kupungkiri kalau aku tidak bisa menikmati pesta raya ini sesuai harapanku, dan harapan pihak yayasan sebagai penyelenggara.

Seandainya Raynhart tidak menjauhiku. Seandainya Raynhart tidak membunuh dirinya sendiri di hadapan begitu banyak orang. Seandainya Rani tidak mencium Raynhart. Seandainya kami tidak pernah merancang skenario itu. Seandainya aku tidak menghadiri acara ulang tahun Brooklyn. Seandainya aku dan Kevin tidak pernah berpacaran. Semarak perayaan ini akan terasa sangat sempurna.

Aku mengembuskan napas dan mengucek-ucek mataku.

Aku sudah memejam terlalu lama.

Lalu, aku melihatnya.

Aku terlonjak panik. Pilihan berkedip-kedip di depanku. Aku tidak berpikir lebih lama lagi dan langsung menyerukan namanya tanpa setitik pun keraguan, "RAYNHART!"

Raynhart menoleh. Dia sedang mengantre di konter teh Poci. Kali ini dia tidak menghindar ketika aku berlari menyongsongnya. Tangannya mencengkeram pundakku, menahanku supaya tidak kelepasan menabrak dadanya. Aku memandang berkeliling, bingung ingin memulai dari mana. Terlalu banyak yang ingin kukatakan. "Raynhart," kataku. "Aku—"

"Nggak apa-apa." Raynhart menyentuh pipiku. Senyumnya tidak sempurna, tetapi aku tahu dia juga merindukanku. Sentuhan Raynhart masih menimbulkan respons yang sama seperti dulu, kemarin, dan seterusnya. Seperti sengatan buih soda yang membuncah di langit-langit mulut. Aku senang dapat merasakannya lagi. Itu berarti, yang menyentuhku sekarang benar-benar Raynhart, bukan yang lain. "Aku tahu kamu mau—"

"Aku mau minta maaf," aku menyelesaikan. "Ini salahku. Aku yang menyetujui perjanjian itu. Aku yang membiayai kebohonganmu. Aku yang berbahagia di atas penderitaan Rani—"

"Sudah kumaafkan." Aku terdiam. Raynhart mengecup keningku, lama dan penuh perasaan. "Jangan terlalu dipikirkan. Mereka mungkin akan melupakannya dalam beberapa minggu. Percaya padaku."

Dia meletakkan selembar lima ribu di konter dan membalikkan tubuhnya, tetapi aku mencekal lengannya dan memaksanya menatapku, meski aku kesulitan menjangkau wajahnya. "Lusa kamu datang, kan?" tanyaku.

Raynhart terpekur.

Dia menatapku lekat-lekat dan membelai rambutku, lembut sekali, sampai-sampai rasanya napasku mulai tersengal, sebelum akhirnya memberikan jawaban menggantung yang entah harus membuatku melambung bahagia atau tenggelam dalam rasa penasaran, "Lihat saja nanti."

***

Posted on: November 13, 2021.

Jangan lupa cek acknowledgments. ;))

We Suck At LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang