Raynhart dipanggil ke ruang kesiswaan.
Dan, aku, seperti manusia tidak berguna, ditinggalkan begitu saja di anak tangga.
Jangan salah, aku tidak kepengin ikut-ikutan diadili di dalam ruangan dingin mencekam itu. Aku hanya tidak terima atas perlakuan Rani pada Raynhart. YA. Aku menyalahkan Rani. Untuk saat ini. Dia, kan, yang duluan nyosor Raynhart. Di bawah pengawasan kamera pula. Soal chat mereka, atau apa pun yang mereka lakukan semalam, aku angkat tangan. Aku menyerahkannya pada Rani. Dan Bu Ratna. Dan mungkin wakil-wakil kepala sekolah lain yang turut mengadili mereka.
Raynhart dan Rani baru kembali setelah bel periode keenam berbunyi. Raynhart yang pertama kali muncul disertai bantingan pintu yang lumayan keras. Wajahnya merah dan penuh keringat, seperti baru saja berkelahi dan berguling-guling di gundukan semen. Rani di belakangnya mengikuti dengan kepala tertunduk, kembali menjadi Rani yang layu dan tidak bernyawa.
Raynhart menarik kursinya dan duduk tanpa berkata-kata.
Satu jam, dua jam, Raynhart masih membisu. Dia menolak untuk menoleh ke belakang setelah memeriksa ulangan Vincent, alhasil aku terpaksa mengopernya melalui Erick sebelum berjalan ke seberang kelas untuk mengembalikan ulangan Akbar yang kuperiksa.
Raynhart mendesah keras-keras ketika aku melangkahinya dan mendaratkan bokong di kursiku. Kupikir ini waktu yang tepat untuk berbicara, maka aku pun membuka mulutku—
"Nanti jangan pulang dulu," Raynhart menyela. "Aku mau bicara."
"Eh? Oh," kataku. "Oke."
"Aku tahu kamu bingung," katanya, sengaja memilih kata bingung alih-alih marah. Aku terkesan, sebab di saat-saat seperti ini, Raynhart masih sempat-sempatnya memikirkan harga diriku. Dia pasti tahu aku tidak akan suka dikatai marah hanya karena masalah laki-laki. "Aku menyerahkan sisanya padamu. Nanti. Setidaknya aku sudah berusaha bicara."
"Nggak apa-apa," ujarku, menenangkannya. "Aku tahu kamu juga bingung. Jangan terlalu dipikirkan."
Raynhart melirikku sebentar, kemudian membisu, mengakibatkan respons serupa padaku yang juga berhenti berbicara hingga bel pertanda berakhirnya periode berbunyi.
***
Aku sempat patah semangat ketika bel pulang sekolah berbunyi dan Raynhart mengeluyur keluar begitu saja, meninggalkanku di dalam. Setelah meneguhkan diri kalau pikirannya hanya sedang kosong dan tidak ada yang perlu dicemaskan, aku mulai berjalan sambil memainkan kunci mobil di antara jemariku.
Namun, rupanya aku salah. Raynhart tidak pergi. Dia menungguku di luar. Badannya sedikit dibungkukkan, sehingga rasanya wajah kami sudah tidak berjarak lagi.
"Oh, ternyata betulan sama Keith."
Raynhart menoleh. Vincent menggebuk punggung Akbar sambil meringis. "Sori," katanya, mengatupkan tangan seraya memandangku dan Raynhart bergantian. "Ini—memang sering minta di-cabe-in mulutnya." Kemudian, dia menyeret Akbar menjauh dari serambi, meninggalkanku dan Raynhart dan beberapa siswa lain yang masih mengobrol, namun tidak terlalu menaruh perhatian pada kami.
"Hei," kuputuskan untuk menyapanya duluan. "Jadi bicara?"
Raynhart mengangguk. "Di mobilmu saja," katanya. "Keberatan?"
"Nggak," kataku. "Nggak sama sekali."
Kami bertemu dengan Agatha dan Brooklyn di lobi. Sepertinya mereka sudah tahu tentang kejadian yang menimpa Raynhart. Keduanya menunjukkan ekspresi khawatir yang identik, menimbang-nimbang apakah mereka perlu menghampiri kami dan menawarkan bantuan. Raynhart hanya menghela napas pasrah. Dia menarikku semakin kencang menuju Hanggar.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Suck At Love
Teen FictionKeith, si bassist nolep, akhirnya menerima tawaran untuk melengkapi band yang akan tampil di pesta raya St. Patrick yang keenam puluh lima. Semuanya terasa seperti mimpi indah, sampai akhirnya Keith tahu dia akan dijadikan satu band dengan Rani, san...