Honestly

190 43 34
                                    

(Jumat, 8 Februari 2019)

Hore.

Jumat.

TGIF.

Kepanjangannya Thank God it's Friday, omong-omong, kalau kalian belum tahu. Hari ini Jumat, yang berarti aku bisa memamerkan aset berhargaku yang satu lagi, alias Jeep Rubicon hitam yang bikin sebagian besar cewek di Mirror kecantol sama Dean. Aku tahu, aku tahu, mereka lemah iman banget. Belum saja mereka melancong ke Hanggar St. Patrick, mereka akan langsung kejang-kejang melihat R8 Brooklyn (masih menempati peringkat pertama, tidak terkalahkan), Range Rover Raynhart (hadir jika cuaca mendung atau hujan), Pajero Brendan (akhirnya dia mengganti HRV hitam membosankannya itu), dan Chevy jadulku (ya, masih masuk nominasi, meski aku sudah bosan dan diam-diam kepengin menukarnya dengan X6—doakan, please).

Aku tiba di Hanggar dan memarkirkan mobilku di sebelah R8 Brooklyn yang tidak bercela. Aku mematikan audio, menarik napas, sebelum akhirnya keluar untuk menyambut hari yang baru yang lebih... lebih... entahlah. Sebenarnya, sih, sama saja. Tapi, belum barang sepuluh detik aku menghirup senyawa hujan yang menguar dari tanaman-tanaman yang mengelilingi Hanggar, aku mendengar suara pintu mobil yang dibuka.

Aku menoleh ke belakang, hanya untuk mendapati Agatha sedang berdiri dengan kemeja dan celana panjang Pramuka yang membuatnya kelihatan seperti baru saja keluar dari pendidikan militer. "Hai," katanya. Dia menguap sedikit. "Kamu selalu bawa mobil ini setiap Jumat, ya."

Pintu pengemudi terbuka. Brooklyn bahkan tampak lebih bersinar-sinar dengan rambut basah dan wajah sembap. "Eh, ya, ini mobil kakakku." Sungguh Keith Sawa adalah gadis paling beruntung di semesta, itulah yang akan dikatakan orang-orang apabila mereka mengetahui siapa yang pertama kali kujumpai di Hanggar pagi ini.

"Aku lebih suka Chevy-mu," Brooklyn berbicara. Tumben. Yah, nggak tumben-tumben banget, sih. Maksudku, lebih seperti, tumben dia setuju untuk menimbrung.

"Yah, aku bawa itu dari Senin sampai Kamis." Aku menyipitkan mata ketika mereka mulai berpandangan dengan ekspresi mencurigakan yang identik. "Eng, ngomong-ngomong, maaf soal yang kemarin malam. Pestanya jadi berantakan gara-gara aku nyemplung ke kolam."

Omong-omong, soal yang kemarin malam, Raynhart memberiku bingkisan berupa sekotak lasagna, kue cokelat, dan sepatu Bape X Adidas-nya sebagai garansi selama sepatuku dibersihkan di laundry. Harganya memang tidak sebanding, sebab sepatu Raynhart jauh lebih mahal, tetapi itu bukan masalah, aku tidak akan merusak sepatunya, alih-alih aku akan merawatnya sepenuh hatiku. Seperti petani yang merawat Malika, kedelai hitam kesayangannya.

"OH! Nggak apa-apa. Aku malah senang adikku akhirnya nggak jadi anak bawang lagi." Mereka kembali berpandangan, kali ini tidak segan-segan saling mengedip dan memelotot. "Yang penting kamu nggak apa-apa, kan? Nggak demam? Flu?"

Sepertinya ada yang tidak beres di antara Brooklyn dan Agatha dan insiden nyemplung-ku semalam. Apa Raynhart sempat menceritakan sesuatu yang aneh? Aku jadi berpikir. Perasaan aku sudah menyiram kencingku, deh. "Nggak apa-apa, kok," aku baru tersadar setelah beberapa detik hening. "Aku duluan, ya. Mau nyalain AC."

Sepagian itu kuhabiskan dengan menonton video bertajuk Beauty and the Bae yang direkomendasikan beranda YouTube-ku dan hampir-hampir menitikkan air mata bahagia karenanya. Ya, ya, ya, aku tahu aku ini cemen banget. Menitikkan air mata karena video YouTube berdurasi sembilan menit tiga detik yang entah sungguhan diangkat dari kisah nyata atau sekadar rekayasa belaka. Tapi, setidaknya, video itu berhasil menyentuh bagian diriku yang paling dalam, gelap, dan rapuh. Video itu membuktikan bahwa aku masih memiliki sesuatu yang bernama hati.

We Suck At LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang