Just Saying

195 47 21
                                    

Aku baru bisa menghela napas lega ketika bel pertanda berakhirnya periode terakhir berbunyi. Kandung kemihku tercekik korset dan kurasa aku perlu buang air kecil setibanya aku di rumah. Aku mencemplungkan buku tulis dan buku cetakku asal-asalan ke ransel lalu menarik ritsletingnya hingga menutup. Sambil menyiapkan kunci mobil dan melepas selendang, aku mencuri-curi pandang ke arah Raynhart yang sedang bergeming di pintu masuk. Tatapannya menerawang. Punggungnya bersandar dengan lemas.

Bahuku memerosot.

Anak itu sebenarnya kenapa, sih?

Sebisa mungkin aku menganggapnya tidak ada ketika aku melaluinya demi mencapai satu-satunya kendaraanku di Hanggar. Raynhart berkedip beberapa kali ketika aku melintas, akhirnya tersadar dari apa pun itu yang merasuki kepalanya. "Hei," katanya. Lagi-lagi, dia mencengkeram tali ranselku. Kebiasaan baru yang cukup dinikmatinya, kurasa. Aku melenguh. Kuakui dia AGAK membuatku kesal hari ini. "Nanti jadi ikut ke ulang tahunnya Posei, kan?"

Rupanya dia masih menginginkanku di ulang tahun kakaknya.

"Jadi, dong," kataku. "Kamu masih mau aku datang nggak?"

Sesaat kulihat dia memberengut.

"Masih," katanya.

"Kalau begitu artinya JADI," aku menyimpulkan. "Dah, Rayn. Ketemu lagi nanti sore."

"Keith."

"Ya?"

Dia menatapku, tetapi tidak sungguh-sungguh menatapku. Menatap hidungku, sepertinya. "Nggak jadi," ujarnya kemudian. Aku tersenyum kecut. Aku tahu dia akan membatalkan apa pun itu yang hendak diucapkannya barusan. "Dah, Keith. Ingat datang sebelum jam enam. Kutunggu."

"Oke," aku menyanggupi. Kalau dia mau, aku bahkan bisa datang dua jam sebelum acara dimulai. "Pasti."

"Dah," katanya. "Bilang-bilang kalau mau dijemput."

Aku bersandar pada birai pintu dan menyipit. "Kamu nggak takut ada yang marah, apa?"

DAN, akhirnya.

Dia tersenyum juga.

"Cuma bilang," katanya lagi. "Aku harus minum L-Men dulu sebelum nekat jemput kamu." Kemudian, dia mencondongkan tubuhnya padaku dan berbisik, "Supaya aku tahan banting kalau-kalau nanti ada yang marah." Dia tertawa. "Dah, Keith. See you. Nanti malam. Di rumahku."

Aku tidak perlu melihat reaksi teman-temanku yang mendengar kata-kata Raynhart dan langsung turun menjemput kendaraanku di Hanggar.

Mereka tidak mungkin menganggapnya serius jika aku tidak berusaha menutupinya, kan?

***

Kevin mengendarai motor ke sekolah, oleh sebab itu aku sedikit heran ketika melihat penampakan ransel Franklin & Marshall-nya di pintu samping Hanggar.

Aku menepi, menjejalkan selendangku ke ransel dan mengeluarkan ponsel dari ritsleting depan. Sebagai seseorang yang tidak suka dan jarang menenteng ponsel dengan kedua tangan—sebab selain repot, aku tidak ingin ponselku dicopet—kewajiban mengenakan baju adat di hari Kamis terus terang sedikit menyiksaku. Aku berjinjit, penasaran apa yang sebenarnya sedang dilakukan Kevin di pelataran depan SMP. Cap tiga jari, cek. Ijazah, cek. Adik kecil, masih SD. Setahuku dia sama sepertiku: tidak suka menghabiskan terlalu banyak waktu di sekolah. Meski dia masih suka nongkrong bareng teman-temannya yang kebanyakan sudah pindah ke sekolah negeri.

Napasku tercekat begitu melihat APA, maksudku, SIAPA yang sedang ditemui Kevin di siang hari bolong seperti ini.

Itu Rani. Aku tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Cuaca, mungkin. Atau politik. Satu hal yang kutahu: bahwa aku tidak menyukainya. Aku mungkin cemburu. Mungkin juga tidak. Tapi jika seseorang melihat mereka di sini, apakah mereka tidak akan langsung berpikir tentangku? Pacar Kevin?

Aku menghela napas tajam.

Kevin SANGAT terbuka mengenai hubungannya—hubungannya denganku, tepatnya. Dia mengunggah banyak sekali fotoku di Instagram, mencantumkan nama penggunaku di bio, bahkan menyuruhku melakukan hal yang sama dengan iming-iming GARIS BATAS. Aku menurut. Hanya di permulaan, sebab aku memiliki pendirian, dan menuliskan nama pacar di bio Instagram bukan salah satunya. Menurutku itu alay banget. Agatha dan Brooklyn tidak melakukannya. Giselle dan Vincent tidak melakukannya. Dan, kupikir, Erick dan Raynhart juga tidak akan melakukannya seandainya mereka mendapatkan pacar kelak.

Aku mengeratkan peganganku pada pagar besi yang membatasi Hanggar dengan area sekolah menengah.

Kevin dan Rani masih mengobrol. Hal pertama yang muncul di pikiranku adalah: penting atau tidak, aku harus merekam kejadian ini. Suatu hari, ketika sudah tiba saatnya bagiku untuk melambaikan bendera putih ke kamera, aku akan melempar rekaman ini sebagai kartu As-ku. Aku tidak tahu dari mana aku mendapatkan gagasan untuk merekamnya. Mungkin karena aku terlalu sering menonton video animasi psikopat di YouTube, tingkat kewaspadaanku jadi meningkat dua kali lipat.

Jarakku dan Kevin saat ini cukup jauh. Dia tidak mungkin menyadari kehadiranku, kecuali jika dia memutuskan untuk menoleh dan memundurkan tubuhnya sedikit. Aku hanya butuh sekitar sepuluh hingga lima belas detik rekaman, dan setelah itu, aku bisa pulang untuk makan siang, tidur, dan bersiap-siap menghadiri acara ulang tahun Brooklyn.

Aku terkekeh jahat.

Kalau begini caranya, sih, aku tidak perlu meminta izin Kevin dan lebih baik langsung cabut saja. Aku menghentikan rekaman setelah penanda waktu menunjukkan angka dua puluh. Kelebihan lima detik. Tidak apa-apa, lah. Aku memutar kunci mobil di sela-sela jemariku dan melompat melalui tingkap air yang sudah agak melesak. Langkahku terasa ringan seiring dengan jantungku yang berpacu semakin cepat.

Rumah Raynhart, aku datang!

***

Posted on: August 31, 2021.

WHEN YOU CHANGE YOUR MIND I'LL BE WAITING CAUSE I'M BETTER THAN HIM JUST SAYIN WHEN YOU CHANGE YOU MIND I'LL BE WAITING JUST SAYIN JUST SAYIN.

WKWKWK. Brengsek lagunya.

By the way, zuzur, aku merasa agak bersalah bikin chapter ini. Kok, kesannya jadi kayak si Keith yang brengsek. Tapi, kan, ada sebab, ada akibat. Jadi, ya, let's see perkembangan kapal Kevin dan Keith dan sejauh mana mereka akan berlabuh. CHAQZ. (Meanwhile, Raynhart nunggu di dermaga sampe jamuran sambil bawa teropong.) :((

We Suck At LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang