Fire In My Heart

248 37 68
                                    

(Minggu, 10 Februari 2019)

Tebak hari ini hari apa?

He-he.

Bercanda.

Aku tahu kalian tahu ini Minggu. Rencananya aku mau pergi belanja bulanan kemarin sore, tetapi karena satu dan lain hal—kenapa aku kedengaran seperti surat edaran pendidikan?—aku memutuskan untuk menundanya sementara. Dan, YA, jika kalian bertanya-tanya, satu dan lain hal yang kumaksud adalah hal itu. L word, atau M word, jika kuterjemahkan, yang tidak lain dan tidak bukan adalah,

(Suara genderang)

Malas.

(Bass drum, snare, simbal)

Aku bangun pagi-pagi sekali untuk membeli sarapan dan bersiap-siap pergi ke swalayan. Aku menghabiskan sarapanku, mandi, dan menyiapkan beberapa totebag ramah lingkungan berhubung peredaran kantung plastik di Bali sedang diusahakan untuk dihentikan. Yeah. Menuju dekade baru yang lebih hijau dan sehat!

Dean baru bangun dan sedang berjemur di halaman belakang untuk mendapatkan kulit kemerahan yang dianggapnya seksi. Aku sudah memakai celana jinsku yang paling baru, berjaga-jaga seandainya nanti bertemu teman di swalayan. Kalau penampilanku gembel, kan, ujung-ujungnya aku sendiri yang malu. "Aku pergi dulu!" aku setengah berteriak pada Dean. Dia sedang melatih bisepsnya dengan barbel delapan kilogram masing-masing di lengan kiri dan kanan. Aku pernah ikut-ikutan melatih bisepsku dan hasilnya lenganku pegal-pegal selama hampir tiga hari. "Mau titip apa?"

Meski rajin clubbing dan nongkrong, Dean jarang pergi di hari Minggu. Kebiasaannya sejak menjadi mahasiswa nyaris lima tahun lalu. Tahulah, semacam semedi sebagai persiapan sebelum kuliah yang menurutnya bikin otak keriting. Mulanya aku berniat membawa Jeep Dean bersamaku, tetapi, setelah kupikir-pikir lagi, hanya ada sekitar lima persen probabilitas aku akan berpapasan dengan seseorang dari sekolah di pelataran parkir. DAN, betapapun tampan dan macho-nya Jeep Dean, aku lebih nyaman berkendara dengan Chevy-ku, yang sesungguhnya juga tidak jadul-jadul amat.

"Dada ayam! Bisa?"

Aku hanya mengacungkan jempolku dan bergegas meninggalkan halaman belakang untuk menyiapkan mobil. Aku menyambar kunci Chevy-ku dari gantungan dan segera menyalakan mesin sebelum akhirnya tancap gas menuju swalayan.

Dulu, ketika Mama dan Papa masih sering wara-wiri di Bali, mereka selalu membawaku ke swalayan untuk berbelanja bulanan. Aku akan berdiri di pijakan depan troli, membiarkan Papa menyetiriku mengelilingi swalayan. Berangsur-angsur, ketika aku akhirnya bertambah berat dan tinggi, Papa menyuruhku turun dan menggantikan dirinya mengemudikan troli. Aku merasa begitu berkuasa dan percaya diri dan barangkali, sejak saat itulah, aku berikrar untuk tidak pernah membiarkan orang lain menyetiriku. Terutama jika destinasinya adalah St. Patrick.

Dengan kata lain, saking merasa berkuasanya, aku jadi kepengin pamer dan menunjukkan kepada seluruh dunia bahwa di balik cangkangku sebagai cewek nolep tidak populer dengan tinggi dan bentuk badan standar, aku masih bisa bermain bass dan menyetir.

Sungguh itu adalah tujuan yang sangat mulia.

Ban mobilku bergulir memasuki swalayan tidak sampai sepuluh menit kemudian. Pelataran parkir dan pujasera sudah ramai, padahal ini masih pukul sepuluh pagi. Aku mengeluarkan empat totebag ramah lingkungan dari bagasi dan membawanya bersamaku ke dalam. Aku melewati jejeran kursi dan meja juga konter-konter yang baru buka. Orang-orang tua dengan topi dan troli berjalan gemetaran menuju pelataran parkir. Kue-kue dan jajanan pasar ditata sedemikian rupa dalam etalase berpenghangat. Dan, membentang di sampingku, adalah halaman berumput hijau dengan kursi-kursi dan meja panjang yang dikhususkan bagi para perokok.

We Suck At LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang