All Night

144 29 7
                                    

(Rabu, 6 Maret 2019)

Aku mengendus gelagat mencurigakan dari Dean yang bolak-balik ke garase dan membuka-tutup pintu mobilnya. Kakakku itu masih koloran, atau, lebih tepatnya, bokseran, saking pendek dan minimnya kolor itu. Aku berjengit menatap pahanya yang sebesar gelondongan kayu berlalu lalang di ruang depan, seakan dia itu Shawn Mendes yang sedang memperagakan celana dalam Calvin Klein, dan aku adalah salah satu dari enam puluh persen warga St. Patrick yang menyukai fotonya. Alias: pede banget, jing.

"Mau ke mana?" aku menyalak begitu dia muncul untuk yang kedelapan kalinya di ruang depan. Aku sudah stand by dengan mataku yang masih setengah terpejam, berhubung aku mesti bangun pagi untuk menghadiri misa Rabu Abu di... lihat sajalah mood-ku nanti menentukan di mana.

"Nggak ke mana-mana," Dean berkelit, menyembunyikan sesuatu di balik tubuhnya.

Aku mengedikkan daguku pada benda misterius itu, yang sedikit-sedikit kelihatan seperti lipatan kaus dan celana dalam. "Itu apa?" tanyaku. "Kamu mau ninggalin rumah?"

Dean tampak seperti habis tersambar petir. Dia menunduk, menghindari tatapanku. "Nggak tahu juga. Masih rencana, sih." Suaranya kian memelan.

Aku melipat lenganku di dada. "Pantas dari tadi mondar-mandir kayak setrikaan. Ternyata mau keluar kandang." Dia meringis. "Ingat ke gereja kalau nggak mau di-gibeng Papa."

Dean mengibaskan tangannya. "Itu, mah, udah bagian dari rencana. Habis ini aku langsung mandi, pakai baju yang rapi, terus jalan ke depan. Misa bareng para kakek, nenek, dan lansia yang nggak kuat AC." Dia mengangkat-angkat alisnya, mau tidak mau aku menyamarkan senyumku dengan cebikan. "Kamu gimana? Biasanya pagi-pagi sudah bangun. Ini malah molor lagi. Rohnya masih mencar, kali, ya."

"Orang aku mau ke Katedral, kok. Yeee." Mengutip Dean, nggak tahu juga. Masih rencana, sih. Nanti aku lihat jadwal misanya dulu di Instagram.

"Jauh amat. Mau nyari Tuhan atau mau nyari si cungkring?"

"Bacot."

Dean tertawa jahat, meninggalkan sisa-sisa tawanya di ruang depan sebelum kembali menjeblak pintu mobil dan menata rongsokannya di sana. Aku akhirnya bangkit setelah bermenit-menit diam dan ketiduran, mengedipkan mata untuk menyatukan ruhku yang, seperti kata Dean, masih terpencar-pencar. Aku berjalan ke lantai dua untuk menyiapkan pakaian dan mandi, namun sebelumnya menyempatkan diri untuk mengecek Instagram Katedral, memastikan aku tidak datang terlalu pagi atau terlalu siang. Kuputuskan untuk mengikuti misa kedua pukul sembilan tiga puluh, mengingat aku perlu keramas dan mengeringkan rambutku terlebih dahulu.

Aku melirik jam dinding yang menunjukkan angka lima dan tujuh.

Masih ada banyak waktu untuk melanjutkan tidur dan bangun dalam keadaan segar.

***

Aku ketiduran.

Kejadiannya tidak lama. Aku terbangun tiba-tiba, mengira aku terlambat, padahal aku tidak terikat janji dan rencana apa pun.

Aku menyandarkan punggungku pada kepala tempat tidur, mengingat-ingat mimpiku yang terasa begitu panjang seperti jalan raya Anyer-Panarukan (sejujurnya aku tidak tahu jalan raya itu sepanjang apa, tetapi guru sejarahku bilang panjang sekali, jadi, ya, sudah). Dalam mimpiku, aku berada di kelasku semasa kelas sembilan, menghampiri meja Raynhart dan mengajaknya mabar berdua. Tapi, kami bertengkar karena Raynhart mengacaukan draft-nya. Kendati demikian, kami berhasil memenangkan match tersebut. Aku terbangun ketika aku mengajak Raynhart bertos dan membanting ponselku. Mimpi yang absurd, tetapi ada satu hal yang membuat iblis dan malaikat di kepalaku serentak terjaga.

We Suck At LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang