Whatever

190 41 32
                                    

Berikut merupakan daftar putar pesta raya yang digagas Brendan dan Raynhart:

1. Who Do You Love – The Chainsmokers, 5 Seconds of Summer.

2. Colour – MNEK, Hailee Steinfeld.

3. Both of Us – Yellow Claw, STORi.

4. Check Yes, Juliet – We The Kings.

"Apaan," keluhku, "ini lagu zaman kapan! Mana ada yang tahu! Ini, mah, lagunya Dean sama Tobias!"

Aku tidak bilang lagunya jelek. Sebagai penggemar musik pop punk, aku tentu mengenal We The Kings lebih baik dari siapapun di St. Patrick. Aku hanya, sebagai seseorang dengan musikalitas tinggi, berusaha menjadi koordinator yang baik. Sesuai permintaan Pak Hendrik, kami mesti memainkan lagu-lagu yang membuat seisi auditorium kelepasan bernyanyi. Apa lagi kalau bukan lagu-lagu yang sedang nge-hits?

DAN, inilah daftar putar pesta raya versi Rani:

1. Best Part (feat. H.E.R.) – Daniel Caesar.

2. Location Unknown (feat. BEKA) – Brooklyn Session – HONNE.

Kurasa cukup sampai di situ saja. Sebenarnya masih ada yang lain, tetapi aku sudah cukup mumet melihat dua pilihan teratasnya. Pilihannya mengingatkanku pada gigs murahan kampus Dean yang lagunya itu-itu saja. Aku menyerahkan keputusan kepada Brendan yang kelihatannya lebih bijak dalam hal menyikapi agresi pendapat semacam ini. "Fix-in dua aja dulu, ya," katanya. "Both of Us sama Colour. Sisanya pikirin belakangan. Masih ada waktu sebulan."

Bagi MEREKA. Aku, kan, tinggal mendengar dan mengikuti.

Kami berlatih di auditorium berhubung pendingin di ruang musik sedang diperbaiki. Aku tidak mungkin bermain bass di ruang kedap suara yang tidak dilengkapi pendingin. Aku memang mencintai bass, tetapi aku tidak perlu mati sambil mendekapnya juga. Sesuai prediksi, aku mengikuti latihan seperti pianis acara bincang-bincang yang menekan tuts sembari menyimak sang pembawa acara mengulik-ulik kehidupan pribadi bintang tamunya. Semuanya terserap begitu saja, terkonversi menjadi gerakan tangan rumit yang menghasilkan getaran-getaran dinamis. Aku hanya tersenyum ketika Brendan memuji permainanku dan mengatakan betapa aku harus lebih menyombongkan diri karenanya.

Jadi, selama ini, tidak ada yang sadar kalau aku ini sombongnya selangit.

Aku baru tiba di rumah pukul lima setelah dua jam latihan. Namun, belum saja aku melepas dalamanku dan menggantinya dengan Kolor Kebanggaan, Dean sudah menyelonong masuk ke kamarku sambil cengar-cengir tidak jelas. "Keith!" panggilnya.

"Apa?" tanyaku. Aku menarik Kolor Kebanggaan menutupi paha dan celana dalamku yang nongol ke mana-mana. "Sabar, kek. Adikmu lagi telanjang, tahu."

"Dih. Tulang aja banyak gaya," celanya. Sesaat kemudian, wajahnya kembali mencerah. "Fotoin Kakak, dong!" Dean berbalik, lalu mengangkat kedua lengannya ke belakang, sehingga guratan-guratan otot punggung yang susah-payah didapatkannya dengan nge-gym terpampang jelas. "Gimana? Udah mirip Rafael Miller belum?"

"Wahaha!" aku terbahak. "Rafael Miller? Rafael Miller habis hibernasi, maksudmu?"

"Sirik tanda tak mampu!" hardiknya. "Cepetan fotoin Kakak! Mau Kakak upload IG, nih! Progress nge-gym dan hidup sehat selama bertahun-tahun!"

"Gampang. Nanti tinggal kukomen, Editan!"

Dean meraih tanganku dan mendaratkan ponselnya dengan suara PLAK yang cukup keras. "Hm... pake background yang mana, ya?" Aku menggeram. Aku bahkan belum bilang IYA. Tidak apa-apa, lah. Hitung-hitung aku jadi memiliki kesempatan untuk menjadikan badan hasil gym-nya itu bulan-bulanan. Aku memang adik idaman seluruh kakak di dunia ini.

We Suck At LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang