Both Of Us

353 29 12
                                    

Perjalananku dan Raynhart berakhir di atap sekolah yang sepi.

Dari ketinggian, aku bisa melihat jalan raya yang dikosongkan untuk perarakan. Kendaraan roda dua milik transportasi dan keamanan menepi sementara mobil bak milik Pedro, senior di klub marching band, bersiap-siap di ujung jalan. Aku duduk melipat kaki di tepi bangunan, membiarkan angin kencang menepuk-nepuk pipiku. Raynhart berjongkok, menatap persiapan perarakan sambil mengunyah grass jelly yang tersisa di dalam minumannya. Dia menawarkannya padaku, tetapi aku menolak. Aku sudah terlalu banyak makan dan minum hari ini. Aku tidak ingin muntah di atap sekolah. Salah-salah aku bisa dikira hamil.

"Aku suka Denpasar," Raynhart berbicara dengan mulut penuh jeli. "Teduh. Sibuk. Metropolis."

"Sebenarnya kamu sedang membicarakan bagian Denpasar yang mana?"

Raynhart tersedak. "Jangan merusak suasana, dong, Keith."

Aku mengangkat satu tanganku. "Maaf."

"Kamu lihat lapangan basket itu?" Telunjuk Raynhart menuding lapangan basket kecil di pelataran depan SMP. Aku mengangguk. Pak Lukas, dengan kostum Santo Patrick dan cambang imitasi, sedang membagi-bagikan permen kepada anak-anak kecil yang lewat. Kalau aku di bawah, aku mungkin juga sudah meminta permen pada Pak Lukas. Yang ekstrak mentolnya kuat, kalau bisa. Mulutku sedikit kering. Aku perlu sesuatu yang bukan susu segar atau grass jelly. "Aku ingat dulu kamu selalu menunggu Dean di sana. Waktu kelas tujuh, kamu pernah bilang kalau Papamu melarangmu naik motor sendiri ke sekolah."

Aku berkedip memandang telunjuk Raynhart.

"Sebenarnya aku kepengin mengantarmu pulang," dia memperjelas. "Tapi aku takut ketahuan Papamu. Aku, kan, belum punya SIM. Yah, sampai sekarang belum, sih."

"Bilang saja," kataku. "Siapa tahu Papaku lagi di Manila."

"Kamu menolakku secara halus."

"Mana ada begitu," aku memprotes lemah. "Kita ngobrol asyik saja nggak pernah."

"Aku ingat dulu kamu teriak IDIH keras-keras waktu Giselle cie-cie-in kita di lapangan basket."

Aku menyurukkan wajahku pada telapak tangan dan berteriak keras-keras. "Ya, kali, aku teriak YUHU langsung di depan hidungmu!" Parah. Parah banget. Aku tidak percaya Raynhart menyimpulkan reaksiku bulat-bulat seperti itu. Dia tidak pernah main game Kode Keras Cewek, apa? Kalau dia main, aku yakin skornya pasti nol. "Mungkin kamu harus buntutin aku sampai ke mobil. Biar kamu tahu kalau wajahku merah selama disetirin Dean ke rumah."

Kami menyelonjorkan kaki dan meletakkan telapak tangan di sisi-sisi tubuh. Warga St. Patrick, tamu undangan yayasan, dan pendatang menghambur keluar dari gedung sekolah menengah atas, mengisi kedua ruas trotoar yang mengapit jalan raya. Dari arah lampu merah yang mengarah ke universitas Dean, iring-iringan marching band menyiapkan formasi yang akan diarak kurang dari lima menit lagi. Mayoret berdiri di bak mobil Pedro, siap memimpin barisan perkusi, brass, dan color guard. Aku hanya berharap tidak ada kerikil atau parahnya batu bata yang tiba-tiba menyelip di jalan raya.

Ketukan snare mengawali arak-arakan marching band yang telah berlatih siang malam di taman kota. Perpaduan bunyi bass drum, snare, tom, simbal, silofon, dan instrumen tiup bergaung di ujung-ujung jalan. Tema yang mereka ambil kali ini adalah BAJU ZIRAH. Jubah yang tersampir di bahu para pemain brass dan perkusionis berkibar seiring dengan ujung-ujung jemari kaki yang menekuk. Mereka mengambil langkah menyamping seraya berjinjit, mati-matian menyesuaikan tempo langkah dengan musik yang mengalun. Color guard di tengah-tengah barisan memutar dan melempar bendera ke udara, kemudian menangkapnya lagi dengan gerakan anggun.

We Suck At LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang