Love You Like That

144 27 4
                                    

(Rabu, 27 Februari 2019)

Omong-omong, kalau kalian lupa, band kami baru saja ketiban durian runtuh.

Seseorang yang kukira tidak akan pernah bergabung tiba-tiba saja bergabung. Siapa lagi kalau bukan Yang Mulia Pangeran Brooklyn Vandenberg. Pangeran yang ternyata takut pada Bu Ratna karena pernah dipotong cepak tanpa belas kasihan. Salahnya sendiri terlahir dengan rambut yang terlalu bagus. Padahal rambutnya dan rambut Raynhart sebenarnya sama saja. Tetapi ada sesuatu dari rambut Brooklyn yang membuatnya kelihatan lebih istimewa. Entah apa.

Band kami dirotasi. Brendan mesti merelakan gitarnya pada Brooklyn, karena dialah yang akan menggantikan Raynhart di balik drum. Kedatangan Brooklyn adalah definisi sempurna dari peribahasa patah satu tumbuh seribu. Kami memang kehilangan Raynhart dan Rani, namun Brooklyn datang menawarkan dua posisi sekaligus: gitaris, merangkap vokalis. DAN, satu lagi keuntungan yang tidak pernah kupikirkan sebelumnya: pre-sale ludes terjual dalam satu kedipan mata, sampai-sampai ticketing mengajukan permohonan untuk mencetak lebih banyak tiket kepada Suster Gia, kepala sekolah kami.

"Wah, bagus itu." Pundi-pundi rupiah terlihat jelas di mata Pak Hendrik. Aku dan Brooklyn bertukar pandang penuh makna. "Lebih efisien. Anggota lebih sedikit, tapi gitar dan vokal tetap jalan." Seperti dia tahu saja apa makna efisien dalam dunia musik. "Saya tinggal dulu. Kalian lanjut latihannya. Sisa berapa lagu lagi?"

"Dua," jawabku.

Pak Hendrik menepuk-nepuk punggungku, kemudian berlalu meninggalkan auditorium, menyisakanku, Brooklyn, dan Brendan yang hanya bisa garuk-garuk kepala melihat perilaku guru kesayanganku itu. "Mata duitan," gumam Brendan. "Ya, sudah. Kita lanjut saja latihannya. Lyn, sudah bisa mainin lagu-lagunya belum? Kalau belum, mending lancarin dulu. Kasihan Keith. Mukanya kayak orang nggak tidur seminggu."

"Masa, sih?" Aku menyentuh pipiku. "Nggak, kok."

"Sudah," kata Brooklyn. "Lanjut saja. Kalian bilang masih kurang dua lagu?"

"He-eh," kataku. "Ada ide? Mumpung ganti vokalis. Ada kemungkinan jangkauan lagu-lagunya lebih luas. Suara Rani, kan, terbatas." Aku sudah mendengar suara Brooklyn. Suaranya lucu. Lucu yang bagus. Mirip suaranya Swae Lee. Louis Tomlinson. Bradley Simpson. Sejenis itu. Suara Swae Lee berhasil menaklukkan Post Malone di lagu Sunflower, setidaknya di telingaku. "Mungkin lagu-lagunya The Vamps? Kalian pernah dengar The Vamps nggak?"

"Aku sudah jarang dengar The Vamps sejak 2015," kata Brooklyn. Dia membetulkan letak gitarnya. "Suaraku nggak lebih bagus dari Rani. Jangan mencari lagu yang terlalu sulit."

"Tapi suaramu lebih jelas," aku memberikan penekanan berlebih pada kata jelas. "Lebih berbentuk. Lebih berkarakter. Suaramu jernih, bukan jenis suara yang biasanya ditemukan di kafe atau melengking seperti penyanyi-penyanyi yang dilatih di akademi. Kamu lebih dari sekadar bisa bernyanyi." Aku terlalu sibuk memijit-mijit pelipisku sampai-sampai tidak menyadari Brooklyn dan Brendan yang melongo takjub. "Apa?" tanyaku.

"Hebat," Brendan mencetus. "Biasanya kamu selalu diam. Waktu masih ada Raynhart juga nggak pernah begini." Brooklyn melirik Brendan penuh peringatan. "Oh, ya, sori. Nggak maksud." Sekarang giliranku melirik Brooklyn dengan sebal. Siapa dia seenaknya menyimpulkan kalau topik Raynhart masih terlalu sensitif bagiku? "Apa, ya? Masalahnya, nih, Lyn: Keith sudah all out ngusulin delapan lagu, itu semua idenya—eh, enam, deng. Duanya aku sama Raynhart."

Benar. Aku memang sudah all out mengusulkan delapan, maksudku, enam, lagu. Tapi itu bukan berarti aku lelah. Kalau bisa, sepuluh-sepuluh-nya, maksudku, delapan-delapan-nya hasil pemikiranku semuanya. Aku mengilasbalik satu per satu lagu yang kudengarkan kemarin. Mulai dari lagu yang kudengarkan pagi-pagi di mobil, di sekolah, sepulang sekolah, dan sebelum tidur. Namun, alih-alih mendapatkan inspirasi baru, aku justru teringat pada pertemuanku dengan Kak James. Entah, ya. Rasanya seperti kosong saja. Aku dan Kak James memiliki ikatan yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Ikatan yang membuatku hangover bahkan hingga aku menyetir ke sekolah pagi ini.

Pikiran-pikiran itu membawaku menuju pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah terlintas di kepalaku sebelumnya. Baiklah jika Kak James tidak bisa datang—atau tidak ingin, karena aku hanya bocil tidak penting dan dia om-om yang sudah bekerja—ke pesta raya. Namun, seandainya dia datang, apa lagu yang ingin didengarnya? Apakah dia masih mendengarkan Simple Plan, band kesukaannya dulu, ketika masih SMA? Aku juga suka Simple Plan—itu juga karena Kak James. Aku ingin mempersembahkan sebuah lagu untuknya, sebagai ucapan terima kasih karena telah mengenalkanku pada bass yang berulang kali menyelamatkan nyawaku.

"This Song Saved My Life."

Brendan menoleh. "Apa?"

"This Song Saved My Life," ulangku. "Lagu kesembilan."

"This Song Saved My Life-nya Simple Plan?" Brooklyn bertanya, tepat mengenai sasaran.

Aku menjentikkan ibu jari dan telunjukku. "Cerdas."

"Yakin?" tanya Brendan. "Memang siapa yang tahu lagunya Simple Plan?"

"Banyak," Brooklyn menyembur sinis. "Kamu saja yang nggak tahu."

"Tahu, kok," Brendan berusaha membela dirinya. "What's the point in being on top? All the money in the world? If I can't blow it all on you—"

"CERDAS!" Aku hampir-hampir menjerit saking kerennya gagasan dari rekan-rekan band-ku siang ini. "Lagu kesepuluh!"

Semakin tolol saja ekspresinya itu. "Yakin?" tanyanya lagi. Dia menatapku dan Brooklyn bergantian. Brooklyn mengulum senyumnya. Matanya seperti berbinar-binar. Sepertinya ada yang sudah menyetujui gagasanku. "Kenapa harus lagu itu? Kan, masih ada lagu lain. Aku cuma asal nyanyi, lho."

Aku merentangkan lenganku, menarik kedua cowok jangkung itu ke dalam pelukanku. Mereka tidak menghindar. Tidak menolak. Menurut saja seperti beruang Teddy. "Yakin," kataku. Aku mengeratkan pelukanku. "Seratus persen."

Perasaan hangat mengaliri tubuhku.

Aku tidak tahu bagaimana harus berterima kasih kepada Brooklyn dan Brendan. Brendan yang sudah menemaniku sejak hari pertamaku di band. Merelakan bass-nya padaku. Menyetujui setiap gagasanku. Brooklyn yang datang ketika harapanku nyaris musnah dan menawarkan dua peran sekaligus. Kakak laki-laki Raynhart. Seseorang yang diam-diam mendukungku meski tidak pernah menunjukkannya secara langsung.

Maka, sebagai gantinya, aku menyanyikan bait terakhir lagu yang memenuhi kepalaku beberapa detik belakangan ini, "'Cause it's all so clear, now without you here, I'm the loser of the year."

***

Posted on: October 26, 2021.

Cie, Keith. Turut berbahagia buat bassist kita (akhirnya). XD

We Suck At LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang