Seberapa Pantas

139 25 7
                                    

Aku bersiul-siul sepanjang perjalananku menuju perpustakaan.

Sekarang jam istirahat kedua, jam yang biasanya kugunakan untuk mencicil pe-er atau sekalian siesta di kelas. Tidur siang kedengaran terlalu basi, dan pasaran. Kalian tahu aku paling anti dengan yang pasaran-pasaran. Lagi pula, aku hanya tidur-tidur ayam, bukan tidur betulan. Tapi, berhubung hari ini tidak ada pe-er, dan tidak ada yang menemaniku siesta, lebih baik aku melancong ke perpustakaan saja.

Jangan tanya kenapa aku tidak ke ruang musik, atau kenapa aku tidak main bass. Kalau aku bisa membawa bass-nya ke perpustakaan, pasti sudah kulakukan. Masalahnya, bass-nya tidak boleh dibawa ke mana-mana, dan sirkulasi udara di ruang musik tidak sebaik ruangan-ruangan lain di sekolah ini, terutama perpustakaan.

Setelah menandatangani buku kunjungan dan mengeluarkan casing airpods, aku memilih asal sebuah komik di rak anak-anak. Judulnya Cerita Hantu di Sekolah. Bagus. Sekarang, aku bisa mojok di balik rak, menge-charge ponselku, dan mendengarkan lagu dengan tenang. Aku berbelok ke koridor di antara rak fiksi kontemporer dan dinding, sengaja memilih tempat mojok yang paling dekat dengan pendingin udara.

Sayang sekali, nasib baik sedang tidak berpihak padaku—dan kurasa memang tidak pernah, kalaupun pernah, itu artinya jarang—aku bertemu Agatha yang sedang menyelonjorkan kaki panjangnya, dengan sebelah earphone terjuntai dan sebuah buku tipis di pangkuannya.

"HAH!" kataku.

"HAH!" katanya.

Agatha menyelipkan pembatas ke buku yang sedang dibacanya dan menyipitkan matanya padaku. "Ngapain kamu di perpustakaan?" Namun, dia tetap beringsut ke dinding dan memberiku sedikit ruang untuk duduk. Tentu saja aku tidak menolak. "Mukamu muka-muka nggak suka baca buku." Dia merebut komikku dengan kasar. "Cerita Hantu di Sekolah."

Aku menyeringai buas. "Memang," kataku. "Aku cuma numpang ngadem." Aku merebut bukunya. "SPRING IN LONDON," aku membaca keras-keras. "Wahaha!" Tidak kusangka dia menyukai cerita-cerita melankolis seperti ini.

"Jangan ketawa!" Agatha merebut bukunya dan menaruhnya asal-asalan di rak. Tetapi aku tahu dia akan membacanya lagi setelah aku pergi. "Aku lagi gabut! Kamu lanjutkan saja baca komikmu itu!" Kemudian, dia memiringkan bibirnya ke arah yang berlawanan denganku dan mulai cengengesan, "Kalau kuat."

Tawaku menyurut. "Ogah," desisku. "Aku mendengarkan lagu saja." Aku memilih playlist berjudul SOFTCORE ANTHEM dan mulai larut dalam musik-musik jadul yang dahulu seringkali kudengar mengalun dari komputer Dean. "Lanjut saja baca novelnya. Aku ikut baca dari samping."

Yang mengherankan, dia menurut seakan aku tidak pernah tertawa setelah membacakan judul bukunya keras-keras. Aku melirik earphones putih Agatha, yang sudah sedikit kuning akibat usia. "Itu ada lagunya?" aku memberanikan diri untuk bertanya. Agatha meletakkan earphone-nya di pahaku tanpa berkata-kata. Aku melepaskan airpods dan memasang earphone-nya di telinga kanan. Sebagai seseorang yang tumbuh besar dengan musik, tidak sulit bagiku untuk mendeteksi lagu apa yang sedang diputar di Spotify-nya. "Fourth of July. Fall Out Boy." Apalagi lagu-lagunya Fall Out Boy. Aku, bisa dibilang, penggemar berat mereka. "Kenapa Fourth of July?"

"Ada kenangannya."

"Sama Brooklyn?"

Agatha menutup bukunya. "Kenapa kamu bisa berpikiran itu Brooklyn?"

Aku mengedik. "Dia, kan, pacarmu?"

"Begitu, ya?" Bagaimana, sih? "Kupikir, selama ini, aku hanya dianggap bodyguard-nya. Ternyata masih ada yang berpikiran aku pacarnya."

We Suck At LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang