Brendan meneleponku ketika aku sudah setengah jalan menuju auditorium. Kukira aku terlambat atau apa, tetapi dia hanya cengengesan dan mengatakan kalau dia sendirian di belakang panggung. "Di mana Brooklyn?" tanyaku. Brendan mengedik tidak tahu. Aku menjemput bass-ku di pit, sengaja melakukan uji kelayakan di tempat supaya penjaganya tahu dia tidak boleh membiarkan siapapun, termasuk dirinya sendiri, bermacam-macam pada benda paling mahal di ruangan ini.
Brooklyn muncul beberapa menit sebelum kami dipanggil ke panggung. Dia sudah berganti kostum menjadi kemeja Givenchy berlengan panjang dan celana Lanvin hitam. Sekali lagi, jangan tanya dari mana aku tahu mereknya kalau tidak ingin kutendang jauh-jauh. Aku ini pakar. Calon stylist masa depan, meski penampilanku sendiri kelihatan seperti kacung kelas atas. "Kenapa?" Brooklyn bertanya ketika aku mulai mengamatinya dengan agak terlalu lekat. "Kamu tahu ini kemeja Raynhart?"
Aku melongo. "Itu kemeja Raynhart?"
"Sebenarnya kami lumayan sering tukaran baju." Brooklyn tersipu malu-malu, membuatku sedikit tidak habis pikir. Apa salahnya tukaran baju dengan adik sendiri? Aku saja lumayan sering mencuri dari lemari Dean. Dean memiliki lumayan banyak koleksi kaus kutang dan celana pendek yang keren-keren. Kadang-kadang, aku juga meminjam jaketnya untuk kujadikan luaran. Selain hemat, Dean juga tidak keberatan. "Nanti kukembalikan."
"Nggak dikembalikan juga nggak masalah." Toh, mereka selalu bisa membeli yang baru.
"Tadi aku lihat kakakmu," Brooklyn memberitahu. "Dean, kan? Yang tinggi, pakai topi baseball, sama sepatu LeBron putih?"
"I... ya?" Semua ciri-ciri yang disebutkan Brooklyn memang kedengaran seperti Dean. Kecuali soal tinggi. Oke. Dean tinggi, mungkin setinggi Brendan. Namun, tetap saja. Dia tidak setinggi Brooklyn. Mendekati pun tidak. Seharusnya Brooklyn mengganti kata tinggi menjadi agak bantat. "Serius? Dia ada di sini?" Payah. Padahal dia berjanji untuk datang lebih sore. "Yah, oke." Semoga dia tidak berulah ketika aku tampil. Itu saja harapanku.
"TIGA MENIT LAGI!" Mario berteriak dari pintu masuk pit. "Siap-siap!"
"Kamu tahu nggak dulu Brooklyn pernah nikung si Mario?" Brendan menyikutku.
"Serius?" Aku melebarkan mataku pada Brooklyn. Dia mengerang dan menutupi wajahnya dengan leher gitar.
"Serius. Mantannya, si Sonia, itu, kan, hasil nikung Mario." Tidak bisa kupercaya. Apakah ini yang dinamakan like brother, like the other brother? Tapi Raynhart, kan, tidak nikung Kevin. Kevin saja yang menyebalkan, dan aku yang memutuskan cabut duluan. "Terus, waktu Agatha survei ke sini sebelum masuk SMA—sendirian, Brooklyn nggak ada—si Mario godain Agatha." Aku bahkan tidak berusaha menyembunyikan keterkejutanku. "Langsung, deh, keluar premannya, si Agatha. Mario dipaku ke tembok sampai nggak bisa napas."
Aku tercengang takjub.
Ternyata, selama ini, Agatha bukannya tidak ada yang naksir, tetapi dia terlanjur memaku seseorang ke dinding. Barangkali itu membuat Mario ketakutan, jadilah dia membeberkan kepada cowok-cowok seantero sekolah bahwa mereka harus berhati-hati terhadap anak baru yang bernama Agatha.
"Terus, di mana kamu waktu itu?" tanyaku pada Brooklyn. "Apa kalian sudah pacaran? Kamu dan Agatha, maksudku."
Brooklyn meringis. "Ceritanya panjang."
***
Penampilan keempat, kelima, dan keenam sukses besar. Alih-alih telur, kami menerima taburan confetti dan kelopak mawar segar.
Aku nyaris bisa melingkari sepasang hati raksasa di mata cewek-cewek ketika Brooklyn menyanyikan bagiannya di It Was Always You. Brooklyn dan Brendan mengguncangkan bahuku seperti yang dilakukan atlet di jeda kuarter, kemudian menenggak isi botol minuman isotonik dari sponsor, membiarkanku berkutat dengan bass-ku yang... tidak apa-apa, sih, kepengin kupeluk saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Suck At Love
Teen FictionKeith, si bassist nolep, akhirnya menerima tawaran untuk melengkapi band yang akan tampil di pesta raya St. Patrick yang keenam puluh lima. Semuanya terasa seperti mimpi indah, sampai akhirnya Keith tahu dia akan dijadikan satu band dengan Rani, san...