(Rabu, 13 Februari 2019)
"Mana blazermu?"
Raynhart menunduk. "Blazerku?"
Melihat Raynhart dengan seragam cacat justru semakin menggilas kepercayaan diriku menjadi remahan-remahan tidak berbentuk. Ini tidak seperti ketika dia memakai seragam putih abu-abu. Ini benar-benar berbeda. Baru. Dia seksi abis, dan aku tidak menyukai cara perutku menyikapinya.
"Tadi kulepas," katanya. "Kita, kan, sudah nggak di sekolah."
Pujasera sepi di hari kerja. Kami melewati jejeran kursi kosong dan konter yang remang-remang, langsung menuju swalayan. Beruntung di dalam lumayan ramai. Aku menarik keranjang merah dari tumpukan dan mengedikkan daguku pada Raynhart yang kelihatan persis anak hilang. Jangan sampai betulan hilang, deh. Bisa gawat kalau dia jadi rebutan mama muda yang haus kasih sayang. "Ikut aku." Telunjukku melingkari kait celana panjangnya. "Kita pilih-pilih cokelat."
"Kamu suka cokelat?" tanyanya.
"Lumayan." Aku menelaah parsel di etalase yang telah dikemas sedemikian rupa dengan pita merah muda dan kertas bling-bling. Di dalamnya terdapat sekotak cokelat bon-bon, boneka beruang kecil, dan setangkai mawar artifisial yang kelihatannya sudah berdebu. Aku meletakkan parsel itu lagi dan menjengit. Siapapun tim kreatifnya, mereka perlu mengikuti akun-akun resmi relationship goals di LINE untuk mendapatkan refrensi yang lebih baik. "Setidaknya, aku lebih memilih cokelat daripada keju."
Raynhart menunjuk salah satu cokelat di rak. "Dua tahun lalu, Rani ngasih aku cokelat ini," katanya. "Tapi aku—"
"—bagi-bagiin cokelatnya ke Vincent dan Akbar," aku menyelesaikan dengan bosan. "Baru kapan itu Giselle cerita ke aku."
Aku membungkuk, memilah jejeran cokelat yang akan kubeli untuk diriku sendiri dan teman-temanku. Aku berencana membagi-bagikannya ke Kevin, Giselle, Raynhart, Brooklyn, Agatha, dan Brendan, sebagai bentuk ucapan terima kasih karena telah menemaniku yang kesepian ini. Aku mengambil sebatang cokelat Ritter Sport dengan cornflakes untuk Kevin, cokelat Toblerone biasa untuk Giselle, dan tiga pak cokelat Ferrero Rocher isi tiga masing-masing untuk Brooklyn, Agatha, dan Brendan.
"He-hei, Keith!" Raynhart menyergah. "Itu kebanyakan! Bisa-bisa Rani langsung diabetes—"
"Siapa bilang ini untuk Rani?" aku menyela. "Ini bukan untuk Rani. Lagi pula, dia pasti sudah diabetes duluan semingguan ini gara-gara kamu pepet terus."
"Terus?" katanya. "Itu untuk siapa saja?"
"Kevin, Giselle, Brooklyn, Agatha, Brendan—"
"Tunggu, tunggu!" Aku melipat bibirku ke dalam, jengkel. Beginilah risiko mengajak bayi besar berbelanja ke toko permen. Banyak tanya, banyak cingcong, dan banyak mau. Apa mungkin aku perlu menjejali mulutnya dengan dot terlebih dahulu supaya dia bisa diam barang sedetik saja? "Buat apa kamu belikan kakakku cokelat? Kalau soal Brendan aku masih bisa mengerti karena dia rekan se-band kita, tapi—"
"Raynhart," ujarku, pelan dan sabar. "Kamu ingat siapa yang acara sweet seventeen-nya kurusak gara-gara nyemplung dan numpang mandi?"
Raynhart memberengut.
"Terima sajalah," aku menyambung. "Oh, ya, kamu suka cokelat rasa apa? Biar kubelikan sekarang—"
"KENAPA HARUS DIKASIH TAHU, SIH?!"
"SSHHH! Rayn!" Aku meletakkan satu telunjukku di bibir. Bibirku, tentu saja. Ya, kali, bibirnya? "Suaramu itu, lho! Kayak bocah saja! Yang berwibawa dikit, kek!"
"Harusnya itu kejutan!"
"Kamu mau kukasih kejutan?" Raynhart terdiam. "Balik badan," aku menginstruksikan. "Biar kupilihkan cokelat untukmu. Kamu nggak perlu mengintip ke keranjang—"
"Nggak jadi," gerutunya. Dia mencemplungkan sebatang cokelat Ritter Sport isi yogurt stroberi ke keranjang belanja. "Itu. Pilihanku. Jangan tertukar sama cokelatnya Kevin. Aku alergi cornflakes."
Aku tercengir jahil. "Masa, sih?"
"Pokoknya, aku mau yang stroberi!" dia merengek.
"Iya, iya!" aku menenangkannya, sedikit panik. "Yang stroberi. Oke. Aku ingat. Sekarang, mari kita pilih cokelat untuk cinta sehidup sematimu—"
"Rani BUKAN cinta sehidup sematiku!" Raynhart merajuk.
"Ya, sudah. Pacar bohonganmu." Aku memintanya membantuku mengambilkan sekotak Ferrero Rocher raksasa dari bagian teratas rak. Raynhart menimbang-nimbang cokelat itu sejenak, menginspeksi jumlah, isi, dan tanggal kadaluwarsanya. "Kenapa?" tanyaku, merebut cokelat itu dan memasukkannya ke keranjang. "Mau cari yang expired-nya paling lama untuk Rani?"
Rahangnya mengencang. "Aku takut dia keracunan. Itu saja. Aku nggak mau dipenjara."
Benar juga.
Kalau Raynhart dipenjara, dia akan mengaku kalau ini semua hanya akal-akalanku. Dan, aku, sebagai otak kriminal, akan dihukum lebih lama darinya. Aku akan membusuk dan mengeriput di penjara, sementara Kevin di luar sana akan semakin gencar mengincar cewek-cewek cakep dengan kondisi dompetnya yang lebih tipis dari kulit bawang. Aku tidak boleh melewatkan satu-satunya kesempatanku untuk menempeleng Kevin. Aku harus meninggalkan satu pelajaran berharga untuknya.
"Kamu yakin mau belikan Rani yang ini?" Raynhart ragu-ragu.
"Yakin, dong," ujarku. "Segitu doang, mah, gempil."
"Perasaan ini tanggal tua, deh—"
"JAGA bicaramu, sobat!" Raynhart terperanjat ketika aku berbalik dan menggerakkan telunjukku ke kiri dan kanan. "Nggak ada yang namanya tanggal tua di kamusku! Selamanya nggak akan ada! AMIN! Aku selalu menyimpan dan menyisihkan uang-uangku dengan baik! DAN, tanggal gajianku beda dengan tanggal gajian kalian! Aku gajian setiap tanggal satu! Bukan dua puluh lima!"
Raynhart mengangkat tangannya dan melangkah mundur seperti sedang melepas tanggung jawab.
"Kamu sendiri gimana, Raynhart?" tanyaku. Emosiku menyurut secepat kedatangannya. Kini aku menggamit lengannya dan mengajaknya berjalan-jalan mengitari rak yang menyediakan berkotak-kotak teh dan kopi. "Nggak pernah Valentine-an? Tukaran cokelat? Bikin surat cinta?"
"Nggak," katanya. "Memang mau ngasih siapa?"
"Itu," kataku. "Si anak sepuluh IPA."
"Sepuluh IPA yang mana?"
Aku menepuk dahiku. "Kamu sendiri yang minggu lalu bilang kamu lagi naksir anak sepuluh IPA!"
Raynhart tercenung.
"Oh," katanya kemudian.
"Ya. OH." Lagi-lagi, aku memutar bola mataku. "Sudahlah. Ayo. Sini. Kita cari serum rambut untuk Kevin. Aku mau masukin itu ke kotak hadiahku. Hadiah terakhir. Supaya rambutnya nggak terlalu mirip tanaman perdu lagi."
"Tanaman—APA?" Raynhart memekik cepat. Sesaat kurasakan telingaku berdenging. Aku menggosok-gosok telingaku sambil meringis. Sebenarnya dia ini sudah puber atau belum, sih? Perasaan, dari dulu suaranya begitu-begitu saja! "Tanaman perdu? Kamu ngarang-ngarang sebutan itu dari mana?"
Aku mengedip. "Rahasia," tukasku. "Ayo, Rayn. Keburu gelap. Nanti aku ditanya-tanyain Dean—"
"Kamu suka cokelat rasa apa?"
Aku menoleh patah-patah.
"Apa?" tanyaku.
"Cokelat," dia mengulangi. "Kamu suka cokelat rasa apa?"
Raynhart meremas-remas jemarinya membentuk sebuah jalinan ruwet.
Perlahan-lahan, tatapanku merayap naik menemui matanya.
"Apa saja," aku membalas. "Asal nggak ada kacangnya."
***
Posted on: September 19, 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Suck At Love
Teen FictionKeith, si bassist nolep, akhirnya menerima tawaran untuk melengkapi band yang akan tampil di pesta raya St. Patrick yang keenam puluh lima. Semuanya terasa seperti mimpi indah, sampai akhirnya Keith tahu dia akan dijadikan satu band dengan Rani, san...