23. Sang pemikat hati

179 40 2
                                    

"Karna pada dasarnya manusia hanya mencintai ekspetasinya sendiri."

***

"Kok bisa sampe kaya gini gas?" Dengan telaten tangannya mengobati luka bagas, memberikan betadine kemudian mulai dibalut dengan perban. Semulanya bagas meringis merasa nyeri namun terdiam lagi sama seperti dirumah sakit.

"Lo juga ngapain coba dirumah sakit gas?" Bagas memutar pandangannya, hari minggu di apotek empang itu begitu amat sangat gelap, bedanya mereka merasakan hawa ini hawa yang benar-benar nyaman, bahkan tidak segan-segan raffa membuka jaketnya agar menghangatkan bagas.

"Pake, gue ada sweater di jok motor." Bagas memakai jaket yang diberikan Raffa dan berterima kasih, di dalam diamnya mereka sama-sama terhanyut dalam buaian kesedihan, tidak ada yang berucap sebelum bagas berdehem lirih.

Raffa bangkit, mengambil kunci motor yang tergeletak disamping bagas, "Gue anter lo pulang gas,"

Hari Minggu itu menjadi saksi bisu keduanya terlihat amat sangat canggung, tidak ada pembicaraan lagi yang keluar, hingga tanpa disangka ditengah perjalanan keduanya diguyur hujan dengan amat sangat deras.

Menikmati guyuran itu seolah-olah air tersebut adalah penyembuh luka, menjadi orang dewasa tidak lah gampang, beberapa kata cemooh dan hinaan kadang terdengar, luka yang sengaja ditutup rapat-rapat terbuka kembali dengan amat kejamnya, "Jangan neduh." Itu yang Bagas bilang, masih sama. Dirinya masih merasakan ketenangan dari air hujan tersebut.

"Kaki lo luka gas! Neduh bentar ya?" Bagas menggeleng dan itu tentu terlihat dari kaca spion milik raffa, semburat kekhawatiran terlihat amat jelas lagi, tangan raffa mulai mengigil dingin namun dirinya paksakan agar terus bisa berkendara.

"Raf!"

"Apa?"

"Lo mau masuk PTN mana?"

"Pengennya UGM, kenapa?"

"Ya gapapa, kenapa lo pengen di UGM? Bukan IPB juga sama aja? Lebih Deket lagi."

"Gue bosen suasana Bogor, kalau misalnya lo bilang gue sekalian mau kabur itu bener, gue pengen ngambil PTN yang jauh, gue pengen kabur." Diperjalanan itu raffa berteriak agar suaranya terdengar, berlomba-lomba dengan air hujan yang juga sama berteriaknya.

"Lo mau ngambil jurusan apa?"

"Psikolog!"

"Kenapa?"

"Sekalian nyembuhin diri sendiri.." dengan lirih raffa berucap, tentunya tidak didengar hingga..

"HAH? APAAN BEGO ENGGA KEDENGERAN!"

"HA?"

"APAAN GA KEDENGER?"

"HAH? ITU DIPENGKOLAN!" Inalilahi kalau disini udah ada Krisna, Bagas yakin itu kepalanya Raffa di gendir abis-abisan.

Hujan yang deras tidak membuat mereka luput berhenti dari gurauan yang terdengar merdu, dinginnya hujan tidak terasa lagi, begitu pun degan bagas. Luka yang dirinya terima tidak dirasa lagi, benar-benar mengalir selayaknya air hujan yang kian tidak berhenti.

Bogor kota hujan.

Dimana kota itu menabung lara dan kisah beribu-ribu umat manusia yang tinggal di dalamnya, kesedihan, penderitaan, kebahagiaan, dan paitnya kehidupan seperti secangkir kopi liong yang diseruputnya sore malam. Bagas terkekeh kecil melihat semburat tawa yang amat sangat renyah lewat kaca spion.

"RAFFA!"

"APAAN?"

"LO JANGAN TINGGALIN GUE JUGA YA?"

Tunggal Lanang || DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang