26. Enigma dalam semesta

208 33 1
                                    

"Adiwarna yang kamu miliki itu udah buat aku tenang."

***

Masih sama dengan rasa yang belum nyata, eccedentesiastnya manusia terus ia tanamkan dalam hati dan motto hidupnya, pelukan dan ketenangan yang sudah didapatkan olehnya. Tidak berasa sudah 17 tahun dirinya hidup di dunia ini, merajut asa dengan lembaran putih yang berubah kembali menjadi kusam, air mata dan peluh keringat pengganti lelah. Karpet merah yang terus terbentang menandakan bahwa perjuangannya belum berhenti disini, masih sama dia harus menarik asa demi hidupnya yang entah kapan akan terus berjalan seperti ini. "Tujuh belas tahun gue hidup baru pertama kali ngerasain apa indahnya jatuh cinta."

Nyatanya Rahma adalah Enigma dalam semesta yang raffa buat sendiri, rahma sudah berkolaborasi dengan hatinya yang rapuh tanpa ada penolong, rahma pun satu-satunya adiwarna senja yang tidak bisa terbayang bagaimana indahnya. didalam sunyinya raffa menghitung jari-jarinya yang tergores, tadi saat dirinya pulang langsung mendapatkan pukulan, hidup itu indah. Saking indahnya raffa tidak ingin bertahan, "Lupa! Tadi kan gue ngajak rahma makan barbeque kenapa gue ajak makan soto mie ya?"

Sejenak laki-laki itu menghela nafas perlahan, merebahkan dirinya dikasur. "Besok dia jaga pmr engga ya?" Itu adalah satu-satunya kalimat yang dirinya ucapkan, perpaduan aroma kopi luwak dengan satu bungkus roti cukup menjadi penawar rasa laparnya, namun sayang kopi dan roti itu belum dijamah sama sekali.

"Raffa?" Perlahan pintu kayu jati yang berstiker Spiderman terbuka, menampilkan sosok cantik yang terbalut baju ungu lembut.

Raffa menoleh, "Kenapa?"

"Mama masuk ya?" Raffa mengangguk, membuka jaketnya dan sepatunya. Dirinya terduduk dikasur berhadapan dengan sang ibu tiri.

Sejenak vita menarik nafas amat dalam. "Mana yang sakit? Mama obatin sini,"

"Engga sakit, udah biasa." Itu yang sering raffa ucapkan, sudah tidak aneh atau sudah biasa. Ephemeral satu-satunya kondisi yang raffa harapkan.

"Tangan kamu berdarah gitu nak,"

"Gapapa, udah engga sakit." Dinginnya malam senin ditambah jendela balkon raffa yang terbuka menambah kesan penawar rasa sakit, Surai Vita 'pun menggebas saking kencangnya udara diluar, vita bangkit berusaha menutup jendela itu.

"Jangan ditutup mah,"

"Nanti kamu kedinginan loh?" Dengan terkekeh Raffa menggeleng, dinginnya udara Bogor malam ini membawa ketenangan yang cukup.

Jika bisa dijabarkan raffa adalah malam yang penuh kegelapan dan menyatu dengan bayangan, dirinya mencoba lari dari kekosongan gelapnya malam itu, bernaung dengan hangatnya angin yang berhembus disela-sela keterdiamannya, "Aku suka dingin, kalau mama gasuka. Mama pergi aja."

Sedikit ada pengusiran lembut agar tidak terlalu menyentil perasaan ibu tirinya, ia akui vita terlalu sensitif untuk sikapnya yang terbilang angkuh. "Kamu engga ngusir mama kan Raffa?"

"Aku engga ngusir mama, aku cuman gamau mama kedinginan." Itu satu-satunya kalimat yang dia pikirkan untuk saat ini, memang pada dasarnya kehadiran vita cukup menganggu ketenangannya.

Akhirnya perempuan itu mengangguk, "Yaudah mama pergi, jangan lupa jam setengah tiga turun buat sahur ya?"

"Iya."

"Selamat malam sayang." Pintu kayu jati itu segera tertutup rapat, meninggalkan dirinya seorang diri, malam ini malam yang dirinya susun untuk kedepannya, berandai dan menghayal. Ada beberapa kata yang belum tersampaikan, hingga tanpa disangka telinganya kembali memerah mengingat kejadian beberapa jam lalu.

Tunggal Lanang || DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang