6. Rumah Nazriel

306 67 14
                                    

"Yang sakit itu bukan pipi,
Tapi hati."

Anugerah Nazriel fazhari.

***

Lenda membiarkan anaknya ditampar oleh Gilang, bahkan tidak ada pergerakan menolong. Menurutnya itu hukuman yang pas untuk Nazriel karna anak itu sudah beringkar janji. Lenda terdiam, tersenyum ketika sang anak yang meringis menatapnya.

Setelah dapat tamparan terkisar Empat kali, Gilang memeluk Nazriel erat bahkan menciumi pucuk kepalanya beberapa kali. Tidak ada rasa bersalah bagi Gilang, itu hanya rasa kekhawatirannya, dan Gilang fikir itu tindakan yang tepat.

"Kamu membangkang lagi, ayah gak segan-segan bikin pipi kamu ancur sayang. . ." Nazriel tercenung, hatinya mencelos, ia ikut memeluk ayahnya.

Lenda yang sedari duduk ikut menimpali ucapan Gilang. "Jadi anak yang penurut, mbun sama ayah gamau kamu kenapa-napa, Nana."

Justru kalian yang buat aku kenapa-napa. Batinnya.

Lagi-lagi Nazriel tersenyum palsu, bahkan gigi rapinya terlihat, tak sadarkah kalian berdua? Bahwa Nazriel tengah meremas tangannya sendiri hingga mengeluarkan darah.

"Maaf mbun, ayah. Nazriel janji jadi anak yang penurut." Gilang tersenyum, mengecupi pipi Nazriel lagi.

Sangat membanggakan, Nana tidak pernah membantahnya bahkan melawannya dengan itulah Gilang memiliki hak atas nana, apapun yang Nazriel lakukan pasti akan terpantau oleh Gilang. Sebelum pergi ia mengusap pipi Nana pelan. "Dikompres."

Tidak ada ucapan maaf, Gilang pergi, tinggal 'lah lenda disini, lenda ikut andil mengecup pipi Nazriel. "Kamu tau 'kan kalau kita begini artinya kita sayang sama kamu?"

"Iya mbun, Nazriel tau."

"Yaudah sini mbun kompres, sakit engga?"

"Engga Bun." Ingin rasanya Nazriel mengaku, demi tuhan tamparan yang Gilang berikan sangat perih. "Mau mbun tambah?"

Nazriel diam, menatap nanar lenda lalu tersenyum seraya mengangguk. "Boleh mbun,"

Dan sekali lagi, tamparan mendarat dipipi Nazriel, dari lenda. "Mbun, Nazriel kompresnya nanti aja, setelah mandi. Makasih mbun udah mau nampar."

Lenda terkekeh, mengusap Surai anaknya. "Sama-sama sayang."

Nazriel beranjak, anak itu berjalan cepat menuju kamarnya. Bisa habis jika dirinya ketauan berlari, menutup pintu perlahan. Nazriel tercenung menatap bingkai besar yang terpampang jelas dikamar. Foto mereka bertiga saat Nazriel berusia dua belas tahun.

Air mata menetes, memegangi pipinya yang nyut-nyutan bukan main, dirinya bersandar pada pintu. "Sakit, sakit, sakit. . ."

Tercetak jelas jejak itu, jejak yang menurut orang tuanya jejak kasih sayang. Nazriel terisak kecil, membungkam mulutnya sendiri.

"Mbun. . . Ayah . . . Sakit,"

"Nazriel salah apa sama kalian?" Ia melempar bingkai itu dengan bola mainan. Tangannya masih terus memegangi pipinya. Nazriel terduduk, menatap tangannya yang berdarah.

Tunggal Lanang || DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang