Lima

34.9K 3.2K 67
                                    

"Kamu sama siapa tadi?" tanya Mas Randi segera saat aku sampai di hadapannya.

"Oh itu, tetanggaku. Kamu lihat kan dia masuk ke rumahnya tadi?!" jawabku sambil membuka gembok pagar rumah. Papa dan Mama berarti belum pulang.

"Dekat sama kamu?" tanyanya lagi dengan nada curiga.

"Enggak. Udah lama banget gak ketemu. Ini baru aja ngobrol lagi sama dia setelah sekian tahun," jelasku. "Mas, di Teras aja ya. Papa Mama belum pulang. Aku taruh tas dan belanjaanku dulu." Dia pun langsung duduk di kursi yang ada di teras rumah.

Setelah menaruh tas dan belanja aku keluar membawa teh hangat dan kue kecil untuknya.

"Di minum tehnya, Mas." Setelah menaruh teh dan kue ke atas meja akupun duduk di kursi sebelah Mas Randi yang terpisahkan oleh meja.

"Makasih, Vin."

"Mas gak bilang mau ke sini."

"Kalau aku bilang pasti kamu akan cari alasan untuk gak menemuiku," tebaknya tepat sasaran.

"Aku memang mau sendiri dulu, Mas. Aku ingin memikirkan banyak hal terutama hubungan kita, Mas. "

"Kenapa kamu gak cerita kejadian kemarin?"

"Karena gak penting. Dan aku pikir sudah selesai Sabtu kemarin setelah Bu Desi dan Mbak Sarah mengklarifikasi sama anak FO."

"Ya tapi kamu tetap harus cerita kalau ada masalah kayak gini. Apa fungsiku sebagai pasangan kamu?! Setidaknya aku bisa back up kamu juga. Gak kayak tadi aku bingung ini ada apa."

"Tapi dengan begitu aku jadi membuktikan kalau aku bekerja dengan professional, tidak mencampurkan urusan pribadi dengan pekerjaan dan tidak memanfaatkan pacarku yang anak Dirut," ucapku menjeda sebentar sebelum melanjutkan apa yang akan aku ucapkan. "Itu kan yang mau dilihat orang-orang yang "dekat" dengan ibu kamu." aku memberikan tanda petik dengan jariku saat mengatakan kata dekat merujuk sikap cari muka beberapa oknum.

"Vin, kita sudah sepakat, kan mau nunggu restu Mamaku?!"

Kuhela nafasku sebelum aku mulai berbicara. "Beberapa waktu terakhir ini aku banyak berpikir. Apakah lebih baik kalau kita berpisah saja, Mas?" Aku berharap helaan nafasku tadi bisa menginsyarakatkan bahwa aku lelah mengharap restu ibunya yang tak kunjung kudapatkan. Alih-alih restu aku malah mendapat masalah baru.

"Enggak. Aku gak mau berpisah dengan kamu, Vin. Gak ada kayak gitu!" Serunya.

"Mas, I always tried to give my best untuk pekerjaanku di kantor. Aku berusaha loyal dan professional di kantor. Tapi coba Mas pikirkan bagaimana perasaanku ketika semua usahaku itu gak dihargai dengan baik ... "kujeda sebentar ucapanku untuk mengatur emosi yang menyeruak. "... hanya karena masalah pribadi. Kita bekerja di kantor secara professional, kenapa harus bawa sentimen pribadi?"

Mas Randi hanya menghembuskan nafasnya dengan keras. Dia pasti menyadari semua itu. Ini pertama kalinya aku mengeluarkan unek-unekku kepadanya mengenai hal ini. Selama ini aku tidak pernah mengeluhkan pekerjaan kepadanya.

"Mas pernah dengar gak? Katanya kita gak akan bahagia tanpa restu orang tua. Mungkin itu yang terjadi sekarang, Mas? Jujur, aku gak melihat kalau-kalau Mama kamu akan segera memberi restunya kepada kita. Mas, mungkin lebih baik kita pikirkan baik-baik hubungan kita lagi," pintaku.

"Ya sudahlah, sekarang kamu sedang kalut. Kita bicarakan ini lagi ketika suasana hati kamu lebih baik. Tapi aku gak akan mau berpisah sama kamu."

"Pikirkan lagi baik-baik, Mas. Kalau kamu cinta aku pasti kamu lebih suka melihat aku bahagia, kan?"

"Bahagiaku itu kamu, Vin," ungkap Mas Randi. Aku bisa melihat rasa frustasi di wajahnya.

Mas Randi pun pamit pulang bertepatan dengan kedatangan kedua orangtuaku. Dia menyempatkan diri untuk menyapa mereka sebelum pulang.

Kalau Cinta Bilang, Dong! (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang