Tujuh

30.6K 3K 68
                                    


Calon suami?

O...o...o..., sebentar. Telingaku tidak salah mendengar, kan?!

'Calon suami?!' sekali lagi hatiku bertanya. Entah, pada telingaku mungkin.

Aku benar-benar tidak mempercayai pendengaranku. Mungkinkah aku salah dengar tapi aku mendengar dengan jelas apa yang diucapkan wanita itu.

 Aku sama sekali tidak menyangka ternyata dalam seminggu dia sudah menjadi calon suami wanita lain tanpa harus repot-repot menyelesaikan hubungan kami terlebih dahulu. Atau mungkin menurut dia hubungan kami sudah berakhir ketika aku meminta putus saat itu meskipun dia tidak mengiyakan.

Mataku masih terus memandang mas Randi dengan pandangan bertanya-tanya. Dia melihatku tapi kemudian matanya bergerak-gerak dan mengerjap berusaha melepaskan pandangannya kepadaku. Sungguh seperti mata orang yang merasa bersalah. Ya, kamu memang patut merasa bersalah.

Adit menjulurkan tangannya kepada mas Randi. "Perkenalkan, saya Aditya dari Yayasan Global Goals."

Mas Randi pun menjabat tangan Adit dan menyebutkan namanya.

"Ini pacarnya Mas Adit?" Wanita bernama Lila itu bertanya pada Adit sambil tersenyum kepadaku.

"Bukan, dok. Ini teman saya. Kami berdua bertetangga dekat," Adit menjawab pertanyaan itu. Lalu dia menengokkan kepalanya kepadaku dan memperkenalkan wanita itu. "Vin, ini dokter kenalanku waktu masih tugas di Jogja. Kenalkan."

"Vini," ucapku singkat sambil menjabat tangannya. Sulit sekali aku menghadirkan senyum saat menjabat tangan wanita itu. Semoga saja ada seulas senyum yang berhasil kuhadirkan.

"Lila. Mbaknya kerja di Permata ya?" Wanita itu bertanya setelah melihat pakaian yang kukenakan. Rumah sakit tempat kami bekerja memang memiliki seragam untuk dipakai untuk bekerja. Meskipun sebagai marketing eksternal kadang aku diperbolehkan menggunakan baju bebas saat mengunjungi perusahaan atau saat melakukan penyuluhan.

"Iya," aku hanya menjawab singkat pertanyaannya. Suasanya hatiku tentu tidak baik setelah mendengar apa yang dia katakan tadi. Jadi aku tidak ada keinginan untuk basa-basi sama sekali.

"Berarti nanti kita akan banyak bertemu, ya. Saya baru saja mulai praktek di sana. Senang berkenalan dengan Mbak Vini." Aku hanya mengangguk kepalaku padanya. "Oke, kalau begitu nanti kita ketemu lagi. Nanti kalau kami menikah saya akan kirim undangan ke Mas Adit lewat Mbak Vini, ya?"

"Boleh, Dok. Terima kasih." Adit mengambil alih menjawab perkataan wanita itu. Adit pasti menyadari ada yang aneh dari sikapku dan bicaraku yang sedikit-sedikit. Aku bukan orang yang pendiam dan Adit yang sudah mengenalku sejak kami sekolah dasar pasti tau itu. "Mari, Dok!" Adit memegang pergelangan tanganku untuk mengajakku berjalan menuju ke lift.

Kami berjalan menuju mobil Adit di basement dalam diam. Adit beberapa kali mencuri pandang ke wajahku dan dia pasti bisa menemukan wajah muramku. Aku bukan orang yang jago poker face. Suasana hatiku bisa langsung terlihat jelas di wajahku.

Setelah membuka kunci mobilnya, Adit langsung membukakan pintu mobilnya untukku. Aku pasti terlihat seperti orang linglung saat ini. Jadi dia membimbingku masuk ke dalam mobilnya. Setelahnya dia baru masuk ke sisi pengemudi dan mulai menjalankan mobilnya. Di sepanjang perjalanan aku pun hanya diam dan pikiranku berlarian ke sana kemari.

"Vin, Vini." Adit mengguncang lenganku. "Kita udah sampai, Vin."

Mendengar Adit berbicara, aku seperti tersadar dan entah mengapa langsung menutup kedua mukaku dan menangis dalam diam. Aku merasakan Adit mengusap punggungku. Usapannya lembut dan itu makin memuat air mataku mengalir deras.

Kalau Cinta Bilang, Dong! (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang