2. Salah alamat
“Kakak dianterin sama siapa tadi?” Pertanyaan itu langsung menyambut kedatangan Julia yang baru saja masuk ke dalam rumah.
Julia menghela napas. “Juan,” balasnya. Sudah menduga bagaimana tanggapan adiknya yang satu ini.
“Kakak masih berhubungan sama tuh, cowok? Kakak nggak lupakan, siapa yang udah buat Kakak di bully satu sekolah,” ujar Galih.
“Kakak tahu. Tadi itu cuman kepaksa aja nerima tawarannya.” Julia memberikan senyuman meyakinkan. “Udah ah, Kakak mau ganti baju. Udah basah begini,” sambungnya. Kemudian gadis berambut pendek pirang itu berjalan ke dapur. Masuk ke dalam kamar mandi. Setelah meletakkan tasnya di ruang tengah.
Untuk sesaat. Galih menatap kepergian kakaknya itu. Sebelum dia buru-buru masuk ke dalam kamar karena adik bungsunya menangis.
“Jeje kenapa sayang?” tanyanya lembut.
“K-kak Juli, hiks.”
Galih tetap coba untuk menenangkan sang adik.
“Jeje berhenti nangisnya, ya. Kak Juli lagi mandi,” ujar Galih dengan nada lembut.
Galih bukan laki-laki lembut. Perangainya sama seperti sang Ayah yang mudah tersulut emosi. Namun, di hadapan sang adik. Galih berusaha tidak menampakkan sisi buruknya.Tak berapa lama Juli masuk ke dalam kamarnya. Rambut gadis itu di bungkus dengan handuk.
“Adik Kak Juli kenapa nangis, hm?” tanya Juli seraya menaruh Jeje ke atas pangkuannya.
Jeje memeluk Juli dengan kuat. Tangisannya belum reda sepenuhnya.
“Jeje mimpi ke temu Ibu. Jeje kangen Ibu, hiks.” Hanya itu yang di katakan Jeje.
Alhasil Galih dan Juli saling pandang. Sebelum Galih menatap ke arah lain. Tidak kuat melihat sorot mata kakaknya yang terluka saat mengingat almarhumah Ibu mereka.
“Galih ke kamar dulu.” Cowok itu memilih menyendiri dan merenungi kesedihannya dalam diam.
Julia tahu itu. Kalau Galih menghindari topik yang ada sangkut pautnya dengan mendiang Ibu mereka.
“Jeje berhenti nangisnya. Kakak ada permen loh. Tadi Mbak Zeni yang ngasih,” ucap Julia. Membujuk adik bungsunya.
Perlahan Jeje mengangkat kepalanya.
Sementara Julia menghapus jejak air mata yang berada dipipi sang adik.“Jeje mau permen.” Bocah lima tahun lebih itu mengerjap polos. Meski matanya memerah akibat menangis.
“Iya, Kakak bakal kasih permennya. Kalau Jeje nggak nangis lagi.” Julia mengelus kepala adik.
Bukannya jadi makan permen. Jeje malah tertidur di pelukan Julia.
Setelahnya dia merebahkan Jeje ke tempat tidur dan menyelimuti tubuh mereka berdua. Sebelum merebahkan tubuhnya. Julia lebih dulu melepaskan handuk yang membungkus kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JuanJulia [Pre-order]
ChickLitSejak satu tahun belakangan ini, Juan dan Julia resmi menjadi musuh bebuyutan. Karena di pertemukan dalam sebuah pekerjaan yang keduanya sama-sama menjadi pelayan toko baju. Toko tersebut saling berhadapan dan itu jelas saja menjadi picu utama dalam...