17. Faktanya

92 13 8
                                    

17

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

17. Faktanya

Galih hanya bisa menunduk  kala bosnya mengamuk akibat kekacauan yang dia perbuat barusan. Pemuda itu tidak bisa membantah meski dia tidak bersalah sama sekali.

“Ganti kerugian saya malam ini,” ujar sang bos.

Galih mengangguk pelan. “Iya, saya ganti, Bos. Tapi saya butuh waktu dua hari.” Dia sama sekali tak berani mengangkat pandangannya, apalagi bos besar berdecak keras setelah mendengar ucapannya tadi.

“Ck! Seharusnya saya nggak memperkerjakan kamu.” Pria berjas hitam itu menghela napas. “Kamu dipecat! Tidak perlu mengganti rugi.”

“T-tapi, Bos ….”

“Keputusan saya sudah bulat! Daripada kamu tetap bekerja di sini dan mungkin kejadian seperti tadi bakal terulang untuk kedua kalinya.”

Galih mengembuskan napas lelah. Sudah berulang kali dia dipecat begini. Pemuda itu kemudian melepaskan apron yang melekat di tubuhnya. “Saya permisi, Bos. Terima kasih sudah menerima saya selama seminggu ini.”

Pemuda itu keluar dari ruangan. Melangkahkan kakinya yang berat, menghadapi kenyataan bahwa di usianya, susah sekali mencari pekerjaan.

“Galih!”

Galih menoleh ke belakang. Matanya menyipit saat melihat seseorang yang amat dia kenal. Dia mendengkus pelan, membiarkan Juan mendekat.

“Lo dipecat?” Pertanyaan dari Juan tak dijawab oleh Galih. Pemuda itu hanya  menghela napas panjang.

“Kebetulan temen gue punya toko kue, terus katanya tadi lagi butuh pegawai baru,” ujar Juan. Laki-laki itu memasukkan kedua tangannya ke  saku celana.

Sementara Galih masih diam, meski dalam hati terbesit keinginan  menerima pekerjaan yang dikatakan oleh Juan tadi. Akan tetapi, Galih gengsi menerima bantuan dari laki-laki yang pernah memberikan luka pada kakaknya.

“Lo mau nggak? Kebetulan juga, tokonya deket, loh, dari rumah lo,” tambah Juan. Dia kemudian mengangguk-angguk pelan. “Ya udah, deh, kalo lo nggak mau kerja di sana.” Juan pun berlalu lebih dulu melewati Galih.

Juan tersenyum miring sambil menghitung dalam hati. Merasa yakin kalau sebentar lagi, Galih akan menahannya.

“Tunggu.”

Senyum Juan semakin mengembang. Laki-laki itu langsung berbalik. “Kenapa? Lo berubah pikiran?” tanya Juan cepat.

Galih mengangguk perlahan. Pada akhirnya, Galih terpaksa menerima bantuan dari Juan supaya tidak memberatkan beban sang kakak lagi.

“Oke! Lo bisa datang ke toko Sweetie Cake. Bilang aja, lo pegawai yang ditawarkan oleh Juan. Pasti yang punya langsung nerima lo,” ujar Juan seraya memperhatikan Galih yang berjarak berapa langkah darinya. “Kalo gitu, gue duluan. Semangat buat kerja lo besok.” Dia mengangkat kepalan tangannya ke udara.

JuanJulia [Pre-order]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang