21. Pertunangan

82 14 9
                                    

21

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


21. Pertunangan?

“Woy, Juan! Mama lo datang, tuh. Udah nungguin dari tadi.”

Di depan pagar kosan, Juan mengernyit heran. “Udah lama, ya, mama gue nungguin?” tanya Juan pada—Aji—teman satu kosnya. Kebetulan kamar mereka saling berhadapan.

“Lumayan lama, lah. Buruan temuin! Nggak baik biarin orang tua lama-lama nunggu anaknya.”

Juan mengangguk, mendorong motornya memasuki halaman kos—membiarkan Aji kembali sibuk dengan rokoknya. Benar saja, Dian sedang duduk di depan kamar kosnya.

“Mama ngapain?” tanya Juan sambil mengguyar rambutnya ke belakang.
Dian tak menjawab. Wanita itu malah menyuruh Juan duduk di seberang kursinya. Setelah Juan terduduk, wanita itu langsung mengambil tangan laki-laki itu untuk digenggam.

“Mama udah pikirin ini mateng-mateng. Mengingat umur kamu yang udah kepala dua, Mama kepikiran terus tentang jodoh kamu,” ujar Dian.

Juan mendengkus geli. “Juan masih muda, Ma. Nggak usah dikhawatirkan tentang masalah jodoh. Udah ada yang ngatur juga.”

Namun, Dian menggeleng tegas. “Mama udah sepakat sama Papa Haris untuk menjodohkan kamu dengan anak rekan bisnis kami.” Dian tersenyum, menatap harap pada Juan yang kini malah terdiam kaku.

“Dijodohin?” tanya Juan setelah cukup lama terdiam.

Dian mengangguk. “Iya, kami  juga udah lihat calonnya gimana. Dan, menurut Mama, gadis ini cocok buat kamu. Bukan kayak mantan kamu itu.”

“Ma!” Juan menyela, matanya menatap Dian dengan tak percaya. “Mama pernah nggak, sih, minta pendapat saya dulu sebelum mengambil keputusan?” tanya Juan heran. “Saya nggak mau dijodohin atau sebagainya. Saya bisa cari seseorang buat pendamping saya kelak.”

“Jangan menolak, Juan. Keputusan Mama sama Papa Desta udah bulat.  Dalam waktu dekat, pertunangan kamu akan dilaksanakan.  Sekalipun tanpa persetujuan dari kamu,” putus Dian telak.

Juan langsung berdiri. Kedua tangannya di sisi tubuh terkepal kuat. “Mama jangan seenaknya! Sampai kapan pun, saya nggak setuju sama pertunangan konyol  itu,” tolak  Juan. “Ini hidup saya, Mama nggak perlu ikut campur mengurusinya.”

Dian juga ikut berdiri. “Saya mama kandung kamu, Juan. Saya berhak untuk hidup kamu,” balas wanita itu dengan tajam.

Juan tertawa sumbang. “Oh, ya? Mama sadar nggak? Sejak Mama menikah sama pria itu, Mama nggak peduli lagi sama saya.” Mata Juan memerah, urat lehernya bahkan terlihat. Pertanda kalau sekarang dia sedang menahan emosinya kuat-kuat.

“Ini udah keputusan Mama. Kamu harus menerimanya, Mama nggak mau denger penolakan dari kamu lagi!” kata Dian tak kalah tajamnya. Wanita itu mengatupkan rahangnya, kemudian berlalu dari hadapan Juan yang kini sudah emosi.

JuanJulia [Pre-order]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang