1. Bintang yang Tak Tergapai

353 31 0
                                    

Kursi dan meja yang menyatu berjejer rapi. Pendingin ruangan yang menempel membuat hawa dingin menyeruak. Dosen menjelaskan materi dengan cepat, aku menatap jengah kepadanya.

Ya, aku sangat bosan sekali. Kapan ini akan berakhir? Perutku sudah berdemo untuk menolak kelaparan, meminta untuk diisi. Dosen ini berisik sekali, ingin kusumpal mulutnya dengan baju agar tak menyerocos terus-menerus, membuat pusing saja. Lagian ini materi apa, sih? Tak paham.

"Sudah paham? Kalau sudah kita cukupkan sampai di sini. Sampai jumpa." Akhirnya kalimat yang ditunggu muncul juga.

"Nah, akhirnya selesai juga. Dari tadi dong! Perut saya udah demo!" celetukku, dosen yang merapikan buku menoleh padaku.

"Perut kamu demo? Mau saya siram pake gas air mata?" balasnya tajam.

"Jangan dong, pake siraman jus aja. Lebih baik," jawabku.

"Saya tandai kamu, ya. Gak sopan sekali." Ia menuliskan namaku di bukunya.

Ya, ya, ya. Aku sudah terbiasa, sudah puluhan dosen yang mengatakan itu, aku pun tak peduli. Sejujurnya aku bosan menjalani hidup yang monoton ini, rasanya ingin rebahan sambil menonton film.

Aku beranjak dari kursi, keluar dari kelas mendahului yang lain. Mereka lamban, lebih baik aku duluan ke kantin.

"Rin, tungguin gue! 'Gercep' amat lu!" Suara cempreng menyambar, aku meringis sebal ke arah suaranya.

"Berisik lo, Ratu! Kepala gua udah puyeng ama dosen, sekarang lo nambah-nambahin aja. Bisa-bisa gua gila!" Aku mendorong Ratu, dirinya hampir menabrak dinding lorong yang kami lewati.

"Butuh dianterin ke RSJ? Boleh, kok! Gua bersedia banget, seneng banget malah kalo liat lo gila!" Dia malah menambahkannya, dasar s*alan! Namanya Ratu, tapi kelakuannya malah sebaliknya.

Aku menoyor kepalanya. "Kalo gue gila, lo bakalan ikut gila juga. Lo 'kan gak bakalan bisa hidup tanpa gue, buaya betina!"

"Kalo gue buaya betina, lo apa? Biawak betina?" Menyebalkan sekali, lebih baik aku tak meladeninya.

Kami di kantin, mencari tempat duduk yang kosong. Ketika tengah menyapu pandangan, tatapanku terhenti pada seorang laki-laki yang duduk sendirian. Aku mendekatinya.

"Oi! Lo ngapain?" Ratu memanggilku, aku tak menjawabnya.

Aku duduk di hadapannya yang sedang makan. Satu meja ini terdapat dua kursi yang berhadapan. Di kejauhan Ratu menatap jengah ke arahku, dia sudah tahu jika mataku berwarna hijau jika melihat laki-laki pujaanku ini.

"Boleh duduk di sini, 'kan?" tanyaku, Elvan menyelis ke arahku.

"Gak usah basa-basi, meskipun gue larang, lo juga gak akan pergi. Lagian itu kursi Arabelle, jangan didudukin!" balasnya dingin.

Aku mengerjap cepat. "Arabelle? O...Oh, jadi ini kursi dia? Oke, gue pergi."

Aku beranjak, beralih ke arah kanan. Hampir menabrak seseorang, aku menatap lekat ke arahnya. Ia mengerjap cepat dan tersenyum.

"Aduh, maaf, ya," ucapnya. Aku bergeming, meninggalkan mereka berdua dengan perasaan tak baik-baik saja.

Arabelle, gadis itu selalu membuatku iri. Apa, sih, baiknya dia? Dia hanya berpura-pura baik di hadapan semua orang. Dia memang cantik, tapi aku tak kalah cantik, kok. Tapi, dia sangat terkenal di kampus dan juga penjuru negeri. Dia seorang aktris terkenal.

Aku berhenti, menatap sekilas mereka yang menghabiskan waktu bersama. Perasaan bergejolak selalu kurasakan, perih disudut hatiku. Tidak, hatiku seperti tersayat silet.

Aku memang bukan siapa-siapa, tapi entah mengapa rasa cemburu selalu hadir. Cemburu kepada kekasih memang biasa, tetapi cemburu kepada orang yang belum dimiliki? Mungkin hanya aku yang mengalaminya.

Semua orang yang ada di sini menatap malas ke arahku. Mungkin yang ada di pikiran mereka aku ini tak tahu malu. Ya, aku sudah menduganya.

Tepukan pelan mendarat di bahuku, aku menatapnya. "Are you okay?" ujarnya.

Regretted Hope [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang