Aku mengerjap pelan, melihat jam dinding yang menunjukkan waktu sore hari. Terduduk di tepian tempat tidur, mengumpulkan kesadaran yang belum sepenuhnya kembali. Ternyata aku ketiduran.
"Udah sore, mandi, deh!" Aku beranjak, lalu terhenti.
"Tapi males banget!" Alhasil, aku terbaring lagi.
Aku menatap atap kamar, terdapat dua cicak yang kejar-kejaran. Sepertinya mereka berpasangan. Sedangkan aku, sendirian. Apakah aku akan jomblo seumur hidup? Aku meringis, membayangkan jika di masa tua hidup sendirian tanpa pasangan. Jauh sekali pikiranku.
"Mau mandi, tapi males." Aku berguling-guling di kasur.
Bajuku belum diganti pula, alhasil tubuhku bau. Apalagi mulutku baunya seperti bangkai. Kenapa orang yang bangun tidur mulutnya bau, ya?
"Haaaahh." Aku menghela napas, seketika aku beranjak.
"Gila! Bau banget mulut gue! Oke, gue mandi sekarang! Gak ada males-malesan!" Aku mengambil baju di lemari, berjalan mantap menuju toilet.
Saat membuka pintu kamar, tak ada siapa pun di rumah. Aku pun tak peduli, mau ada orang atau tidak itu sama saja. Bisa dikatakan, aku kesepian di tengah keramaian.
Aku mengambil handuk dekat toilet. Seraya mandi, aku merenungkan kehidupanku. Dari cinta, keluarga, masa lalu, harapan, semuanya. Entah mengapa toilet menjadi tempat merenung. Mungkin karena suasananya tenang. Ini alasanku jika terlalu lama di toilet. Terkadang aku juga membaca komposisi sampo meski tak mengerti. Kegabutan kerenku.
Cukup lama di toilet, aku memakai baju yang kubawa. Keluar dari toilet, keadaan rumah masih sepi. Kira-kira Ayah dan Ibu kemana, ya?
Aku mengeringkan rambut panjangku di kamar. Lalu, mengambil ponsel yang masih ada di tas. Terdapat notifikasi pesan dari aplikasi berlogo hijau. Ternyata dari Ibu.
"Erin, kamu pakai baju yang bagus dan rapi, ya. Ayah sama Ibu pergi sebentar," tulis Ibu.
Aku mengernyit, untuk apa Ibu menyuruhku memakai baju yang bagus? Meskipun aku pakai baju biasa, aku tetap cantik, kok. Percaya diri sedikit tak apa, 'kan? Hehehe.
Suara gaduh terdengar dari luar, ternyata ada tamu beserta Ayah dan Ibu. Aku kembali melihat ponsel, ternyata pesan yang Ibu kirim dari satu jam yang lalu.
Pintu terbuka, menampilkan Ibu yang tersenyum lebar. Sepertinya ia sangat bahagia. Ia tersentak ketika melihatku.
"Aduh, sudah Ibu bilang pakai baju yang bagus dan rapi. Pakai ini!" Ibu mengambil baju dari lemari, dan menyerahkannya padaku.
"Kamu dandan yang cantik, nanti duduk di ruang tamu, ya." Ibu keluar dari kamar.
Aku hanya mematung. Memangnya tamu itu siapa, sih? Spesial sekali. Seperti maktabrak. Eh, martabak. Sudahlah, aku tak peduli.
Setelah mengganti baju dan merias wajah. Aku keluar dari kamar, karena ruang tamu berada tepat di depan kamar, semua yang ada di sana menatapku. Tatapanku langsung terarah pada seorang laki-laki yang sangat aku kenali.
"Barra?" gumamku terkejut.
Barra tak berkedip melihatku. Aku tak tahu tatapan apa itu, aku tak menyukainya. Mengapa dia ada di sini? Tunggu, dia bersama kedua orang tuanya? Sebenarnya ada apa ini? Pikiranku melambung tinggi ke pikiran negatif. Ya Tuhan, semoga hal yang kupikirkan ini salah. Perjodohan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Regretted Hope [Tamat]
Novela Juvenil"Andai aku hidup seperti dia." Erina Fara Falisha, gadis egois yang bisa dikatakan bodoh. Kelakuannya membuat semua orang menjauhinya. Ia selalu memaksa, meski pada orang tua sendiri. Hingga ia merasa sendirian, tak ada yang peduli. Berbanding terba...