Tepukan pelan mendarat di bahuku, aku menatapnya. "Are you okay?" ujarnya.
"Gak apa-apa, kok." Aku menepis tangan dan menjauh darinya.
"Kalo gak apa-apa, ngapain diem di sini? Mau makan?" tanyanya lembut.
Aku menghela napas kasar. "Gak usah sok peduli, deh! Sudahlah, gue mau nyusul Ratu!"
Lirikan matanya mengarah ke belakangku, di mana Arabelle dan Elvan berada. "Beneran baik-baik aja?"
Setelah ia mengatakan itu, rasa sesak muncul. Mengapa dia harus bertanya seperti itu? Dia peduli? Atau ingin membuatku lebih terluka lagi?
"Barra, lebih baik lo jangan ikut campur urusan gue. Gue baik-baik aja, kok. Gue gak sakit, lo bisa liat, 'kan?" Aku meninggalkan Barra.
"Bukan fisik lo yang sakit, tapi hati lo. Gue bisa liat, Rin. Lo gak bakalan memiliki Elvan, percayalah!" Ucapannya membuatku menatap sekilas dirinya, lalu berjalan menjauhinya.
Kenapa semua orang tak bisa mengerti aku? Barra selalu mencampuri urusanku, sok peduli padahal ingin menambah tangis. Memang, hanya diriku yang mengertiku.
"Erin!" Aku terperanjat, menendang kaki pemilik suara cempreng itu.
"Berisik lo, buaya betina!" pekikku.
"A*jir! Hampir aja gue jatoh! Keknya lu harus jadi pemain bola, deh. Oh ... Ronaldo Wati keren, tuh. Gue botakin, ya!" Ratu menarik rambutku.
"Bisa diem gak lo?" Aku menatap tajam Ratu, seketika ia mengerucutkan bibirnya.
"Cih! Padahal gue mau ngehibur doang. Keganasan korban kecemburuan gini, nih!" gumamnya. Ingin rasanya menyumpal mulutnya pakai kaus kaki yang dipakai setahun, biar mati sekalian.
Kami berada di mobil Ratu. Setiap pulang, aku selalu diantar dia. Dia memang sahabat terbaik, walaupun kelakuannya seperti kera. Menyebalkan.
"Rin, lu gak capek?" tanyanya.
"Capek ngapain?" tanyaku balik.
"Lo gak capek ngejar cowok yang gak suka sama lo?" tanyanya.
Aku menghela napas. Tak menjawab pertanyannya yang sudah membuatku lelah. Aku memang lelah, tetapi aku tak akan menyerah. Meski sainganku berat, aku masih punya harapan. Ya, harapan.
"Setidaknya gue masih punya harapan," ujarku. Ratu mengangguk-angguk.
"Terserah lo, deh. Padahal gue gak mau liat lo sakit hati setiap saat," gumam Ratu, namun masih bisa kudengar.
Aku membuka pintu, melengos masuk kamar tanpa memedulikan Ayah dan Ibu yang berada di ruang tamu. Aku melempar tas ke segala arah. Merebahkan diri di kasur.
"Akhirnya sampai rumah juga," ujarku memejamkan mata.
"Yah, kenapa Erina jadi kayak gitu, ya? Masuk tanpa salam, langsung masuk ke kamar."
"Gak tau, Bu. Ayah capek bilanginnya. Pasti sekarang lagi main hp. Apalagi yang dilakukan anak zaman sekarang selain itu? Gak bisa beres-beres rumah, takutnya dia gak bisa apa-apa nanti."
Mataku terbuka, mendengar percakapan Ayah dan Ibu mengenaiku. Aku merekatkan gigi, meremas alas kasur dengan kuat. Kenapa tak ada yang mengerti tentangku? Aku baru saja pulang dari kampus, aku lelah! Lelah fisik, pikiran, dan juga ... hati.
"Ibu juga takut, Yah. Zaman dulu, Ibu sudah bantu-bantu orang tua berdagang. Setiap pagi nyapu sama ngepel rumah. Tapi anak zaman sekarang malah males-malesan. Main hp, rebahan, atau apalah itu." Ibu terus menimpali, membuatku ingin menangis rasanya.
Ayah ... Ibu .... Bisakah kalian membiarkan aku istirahat? Sebentar saja. Kalian tak mengerti aku. Kalian tak tahu keadaanku saat ini. Aku lelah.
Aku menutup telinga, tak ingin mendengarkan mereka berbicara lagi. Tetapi, perkataan mereka terus terngiang-ngiang di pikiranku. Aku terduduk, mengacak rambut panjangku hingga berantakan.
"Tuhan, mengapa hidupku tak adil?" gumamku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Regretted Hope [Tamat]
Novela Juvenil"Andai aku hidup seperti dia." Erina Fara Falisha, gadis egois yang bisa dikatakan bodoh. Kelakuannya membuat semua orang menjauhinya. Ia selalu memaksa, meski pada orang tua sendiri. Hingga ia merasa sendirian, tak ada yang peduli. Berbanding terba...