4. Kecewa

113 20 0
                                        

Ibu dan Ayah mengisyaratkan untuk duduk di samping Barra. Ini semakin memperkuat dugaanku. Tak mau berdiam diri canggung, aku duduk di samping Barra, dengan jarak tentunya.

"Erina, apa kabar? Sekarang sudah besar, ya. Dulu pas main sama Barra masih kecil. Hahaha." Aku hanya tersenyum tipis mendengar Ayah dan Ibu Barra.

"Iya, dulu Erina sama Barra selalu bersama. Gak mau dipisahin. Namanya sahabatan, ya, 'kan?" timpal ayahku.

Itu dulu, sebelum aku kecewa atas kelakuan Barra. Luka itu masih membekas di hati. Meski sudah lama, luka tetaplah luka. Membekas walau sudah sembuh. Hubunganku dengan Barra menjauh, hingga saat ini.

"Ini ... ada apa, ya?" tanyaku.

Ayah Barra menaikkan alis tinggi. "Belum dikasih tau?"

Aku mengernyit. Menatap Ayah dan Ibu yang tersenyum. "Kayaknya belum." Aku menggeleng.

"Erina, kami tahu kamu baik. Kamu dan Barra sudah bersahabat sejak dulu. Jadi, kami memutuskan untuk menjodohkan kalian. Kami tahu, kalau sahabatan dengan lawan jenis, pasti ada rasa. Gak mungkin gak ada." Bak tersambar petir, jantungku terjeda sesaat. Rasa perih muncul di sudut hati.

Rasa sesak menyelimuti. Tenggorokanku tersendat seolah dicekik sesuatu. Mulutku terbuka, terperangah.

Barra tersenyum mendengar ibunya berkata seperti itu. Sudah pasti dia senang, ia sudah memiliki rasa padaku. Namun, aku masih kecewa padanya. Aku membenci dirinya.

"Apa?" ucapku terkejut.

"Kenapa? Bukannya kamu senang?" tanya ibuku heran.

Aku menggeleng. "Gak! Erin gak mau! Erin gak mau!"

Semuanya heran, wajah Barra berubah sendu. "Kenapa Erina?" tanya Ayah Barra.

Aku menatap lekat Ayah Erina. "Erina masih kecewa sama Barra ...." Aku berlari keluar rumah. Memakai sandalku, dan berlari.

Teriakkan terdengar memanggilku. Aku tak menghiraukannya. Dugaan awalku benar, aku dijodohkan dengan Barra. Aku takkan pernah bisa bersama dengannya. Aku sungguh kecewa pada Barra. Ia telah menganggapku boneka. Tak akan kumaafkan!

"Kenapa hidup gue sengsara? Kenapa hidup gue gak adil?" Aku terduduk di kursi panjang taman, dihadapkan dengan danau biru.

"Gue cinta sama Elvan! Tapi dia gak cinta gue! Gue ingin diperhatikan, gue ingin seperti Arabelle! Yang disukai orang banyak, dan juga ... hidup bahagia." Aku menutupi tangis dengan tangan.

Aku hidup di bawah tekanan. Itu menyakitkan. Aku tak mau hidup seperti ini. Aku butuh ketenangan. Apa Tuhan sedang mengujiku? Aku lelah.

"Erina!" Aku menurunkan tangan, menggerakkan mata pada seseorang yang menatapku.

Aku beranjak, ingin berlari sekencang-kencangnya darinya. Aku berharap terlepas dari kehidupan burukku, namun tak tahu bagaimana caranya. Yang bisa kulakukan hanya berlari, berlari, dan berlari.

Tanganku digenggam seseorang, ditarik ke pelukannya. "Rin, tolong jangan begini."

Aku menggeleng, berusaha melepaskan pelukannya. "Gak! Gue gak mau berharap lagi sama lo! Lo udah ngecewain gue!"

"Itu salah paham, Rin! Udah berkali-kali gue jelasin ke lo, itu salah paham! Percaya gue!" ujar Barra.

"Salah paham? Kalo itu salah paham, terus kenapa sampai pelukan sama dia? Ucapan lo gak sesuai dengan perbuatan lo!" pekikku.

Aku membayangkan hari itu, di saat laki-laki ini berpelukkan dengan wanita. Rasa hancur melebur dalam kalbu. Teringat ucapan-ucapan manis yang hanya buaian semata. Jika dia mencintaiku, mengapa dia berperilaku seperti itu? Salah paham? Hanya alasan!

"Yang perlu lo ketahui, gue benci lo!" Aku mendorongnya, hingga menjauh dariku.

Regretted Hope [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang