Belajar Melepaskan

634 29 2
                                    

      Akbar berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi, tusukan Rania cukup dalam, sehingga tindakan operasi harus dilakukan. Laki-laki itu begitu takut sesuatu yang buruk terjadi pada Rania.

Layar Akbar berkerlip, tanda panggilan masuk. No tidak dikenal, membuat wajah tampannya yang terlihat lelah penuh tanda tanya.

"Halo, dengan bapak Akbar" suara bass dari seberang begitu tegas

"Benar, saya sendiri, dengan siapa?"

"Saya Beni dari kepolisian, hendak mengabarkan bahwa pelaku penusukan saudari Rania sudah berhasil diamankan"

"Alhamdulillah,,, Akbar merasa satu persoalan terselesaikan

" Untuk itu, kami akan mohon bantuan pak Akbar, jika kami membutuhkan kesaksian dari anda"

"Siap pak, dengan senang hati"

"Baik, pak Akbar Selamat Sore!"

"Selamat sore"

Akbar mengakhiri pembicaraan di telepon. perasaan lega sedikit menghampiri. Walau sebenarnya dia tidak habis pikir, kalau perempuan sebaik Rania memiliki musuh. Apa ada hubungan dengan suaminya?. Akbar menepuk dahinya, karena dia lupa memberi kabar pada Raditya. Bagaimanapun permasalahan yang terjadi pada hubungan mereka, bagaimanapun rasa cinta Akbar kepada Rania, Raditya harus tahu keadaan Rania, walau nanti dia harus menepi dan pergi. Akbar mulai menata hati, belajar melepaskan.
***

"Bereskan! Kerjakan semua dengan benar! Saya tidak mau tahu!" Radit membanting pintu ruang kerjanya, meninggalkan sekretarisnya yang sangat kesal, dimarahi dari pagi.

Radit berjalan menuju kantin, kepalanya berdenyut kencang, semalaman dia tidak bisa tidur. Foto kemarin berhasil merusak seluruh mood nya, kepalanya ingin meledak. Hatinya begitu sakit saat ini. Ingin rasanya menyangkal, namun foto tersebut begitu jelas. Perlukah dia bicara dengan Rania, tapi untuk apa? Semua bukankah sudah jelas?

Raditya melihat nama Akbar berpendar di layar handphonenya, membuat rahangnya mengeras, bayangan Akbar berduaan dengan istrinya tak bisa dia hilangkan.

"Assalamualaikum pak Radit"

"Ada apa anda menelpon saya?!" Nada suara Radit terdengar ketus tak bersahabat. Akbar menangkap itu, karena salamnya juga tidak mendapat jawaban.

"Saya ingin mengabarkan sesuatu, Rania sekarang dia...

" Cukup!" Radit memotong ucapan Akbar. "Saya sedang sibuk, dan saya tidak ingin tahu apapun tentang Rania! "

"Tapi, Rania sedang sa..

Raditya menutup telponnya, membuat Akbar kesal. Raditya bahkan tidak memberinya kesempatan untuk bicara, padahal mungkin saat ini Rania membutuhkan suaminya disini. Akbar mencoba berpikir positif, mungkin Raditya sedang banyak pekerjaan, walau sebenarnya sikap Radit membuat keinginan menjaga Rania bertambah kuat. Apapun nanti yang terjadi dia berjanji akan menjadi pelindung perempuan baik itu. Rania menyelamatkannya. Maka Akbar akan menjaga Rania dengan baik, entah itu sebagai sahabat, kakak atau apapun. Akbar tidak akan menyangkal bahwa rasa cinta itu masih sangat besar, namun dia akan belajar menerima, belajar melepaskan.

Sungguh susah memang, melepaskan dan melindungi dalam waktu bersamaan. Kata orang waktu akan menyembuhkan luka, semoga begitu. Dengan berjalannya waktu rasa ini akan bermetamorfosis dengan tepat. Dia percaya takdir, dia percaya ketentuan Allah.

***

Radit kembali tak bisa tidur malam ini, dingin begitu menyeruak, entah seakan menembus sampai ke hati.

Sepi itu mulai menghunus tanpa ampun. Dia rindu senyuman Rania, tawa Rania, pelukan Rania, semua sudut rumah mengingatkannya pada istrinya.

Tapi dia juga benci, benci pada hatinya yang begitu lemah. Benci pada rasa sakit yang dialaminya. Baru sekali ini dia begitu dalam mencintai dan sakit dalam waktu bersamaan.

Mungkin dia harus menata hati, tidak bisa seperti ini. Apapun itu dia harus melepaskan jika Rania lebih memilih bersama Akbar. Tapi sanggupkah? Dia sendiri tidak yakin

***
Rania membuka matanya, mengerjapkan,beradaptasi pada cahaya yang menghampiri. Semua tampak putih, bau obat menyeruak tajam. Dimana dia? Apa yang terjadi, dia mencoba mengingat, tapi kepalanya malah terasa berdenyut.

" Alhamdulillah Rania, terimakasih ya Allah!" Akbar tak bisa menyembunyikan raut wajahnya yang senang dan lega

"Kak Akbar, aku dimana, kenapa? " Tanya Rania, dia mencoba bergerak tapi perutnya terasa perih

" Jangan terlalu banyak bergerak dulu Rania, luka kamu belum kering! "

"Agak perih memang" Rania meringis

Akbar tersenyum, memanggil perawat untuk mengecek keadaan Rania.

"Alhamdulillah bapak, istri bapak sudah membaik, kondisinya stabil, menunggu pemeriksaan selanjutnya ya bapak, sementara ibu harus tetap istirahat dulu disini."

"Baik Sus, terimakasih" Kata Akbar tanpa mengoreksi bahwa dia bukan suami Rania.

"Kamu mau makan sesuatu Ran?" Tanya Akbar yang tidak langsung mendapat jawaban.

Gadis itu terlihat melamun menatap ponselnya, Akbar tahu siapa yang dia harapkan menelpon.

"Ran" Panggilnya lagi,

"Eh, iya kak" Lamunan Rania buyar, pertanyaan-pertanyaan tentang kemungkinan Raditya tak menghubunginya, apalagi foto berpelukan dengan Mirna membuat kepalanya sedikit pusing, perih hatinya mungkin lebih dari luka tusukannya.

"Mau makan apa? Aku mau ke kantin"

"Oh, apa saja kak!, bakso kalau ada" RRania meralat. "Kalau gak ada mie juga boleh, atau satai ayam"

"Kalau itu bukan apa saja Rania" Akbar tertawa, sedikit lega karena Rania masih selera makan, walau dia tahu Rania berusaha menutupi rasa sakit hati nya.

Akbar berjalan menuju pintu keluar, tapi  langkah terhenti, seakan tahu apa yang dipikirkan Rania. " Raditya, nanti pasti akan menghubungi kamu, tunggu saja ya"

Rania tersenyum, mencoba meyakini ucapan Akbar, walau dalam hati, dia sudah belajar menerima hal terburuk sekalipun, belajar melepaskan jika itu yang terbaik


Rania dan RadityaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang