Surat Rania

653 39 3
                                    

"Semoga kerjasama kita berjalan baik dan barokah Pak Raditya", ucap Pak Handoko, salah satu rekan bisnis perusahaan dari PT Nusantara Jaya di Jogja. Pria paruh baya yang hangat dan humoris itu telah menyetujui kesepakatan dengan perusahaan Raditya terkait pengembangan salah satu produk fitofarmaka.

" Amin, Alhamdulillah" Jawab Raditya sopan.

"Oh iya, istri saya titip salam untuk Bu Rania, kapan-kapan kalau berkunjung ke Jogja, diminta mampir lagi ke rumah" kata pak Handoko.

Raditya tersenyum sopan, nantinya kembali merasa nyeri, dia menyesap teh yang ada di hadapannya.

"Ibu Rania sangat sopan dan baik, anda beruntung sekali menjadi suaminya. Bu Rania mirip sekali dengan almarhumah anak kami, bahkan waktu di Jogja saat mendengar Bu Rania masuk rumah sakit, istri saya begitu khawatir" cerita pak Handoko

"Rumah sakit?" tanya Raditya memastikan pendengarannya.

"Benar, Alhamdulillah pelaku penusukan tersebut sudah tertangkap, jujur kami turut lega" Lanjut pak Handoko lagi,tidak menangkap raut wajah Raditya yang berubah, sebuah fakta yang baru dia ketahui.

"Maaf Pak Handoko, saya undur diri terlebih dahulu, ada hal mendesak yang harus saya lakukan" pamit Raditya sopan
***
Raditya berlari menuju lift, Rania ditusuk? Rania selama di Jogja masuk Rumah Sakit dan dia sebagai suami sibuk berpikiran buruk selama ini?. Bodoh sekali dia, "suami macam apa aku ya Allah" Raditya merutuk dirinya sendiri. Semoga dia masih sempat menemui Rania, semoga belum terlambat.

"Rania angkat please!".Raditya berulang kali mencoba menghubungi Rania, tapi tidak mendapat respon. " Maafkan aku Rania, jangan tinggalkan aku" Raditya masuk ke dalam mobilnya, menginjak gas dalam menuju rumah mertuanya, mencari Rania.

"Mi, please kasih tau gue dimana Rania tinggal?" Apa? " Serius Mi?" Kapan?  Oke gue ke bandara sekarang "

Raditya meremas kemudi, memutar arah. Hatinya sungguh gelisah, dia berpacu dengan waktu. Rania sudah di bandara, hendak berangkat ke Belanda. Betapa selama ini pikirannya selalu dipenuhi prasangka kepada istrinya, dia ingat kembali amarahnya saat Akbar menelponnya dari Jogja dulu, mungkin saat itu Rania sedang membutuhkannya. Raditya merasa dia sangat jahat tidak memberi kesempatan kepada Rania menjelaskan sama sekali.

Raditya memencet klakson sembarangan, tidak ada celah sama sekali untuk mobilnya berjalan, macet total. Tidak ada waktu lagi, berulang kali dia melirik jam tangannya, pikirannya semakin kacau. Kembali dia membunyikan klakson, membuat pengendara motor di sampingnya menggedor kaca mobilnya keras, membuat Raditya membuka kaca mobilnya setengah.

"Eh lu gila ya, klakson  sembarangan, udah tau macet, pindah sono dari Jakarta kalau gak bisa sabar! " Seorang pemuda gagah yang masih muda marah-marah dengan Raditya. "Gue juga emosi nih, panas, macet, tapi klakson lo itu kayak jadi provokator bagi gue" Lanjtnya lagi

"Maaf kak genting, istri saya mau melahirkan kak, anak pertama saya, dia di rumah sendiri, saya khawatir kak, makanya saya bingung, gimana ya kak?" Raditya memasang wajah memelas, asal mencari alasan.

" Wah, calon bapak ternyata lo, pantesan kalap lo, waktu istri gue mau melahirkan gue sama bingungnya sama lo"

"Iya kak, saya khawatir sekali istri saya kenapa-napa" Lanjut Raditya mendalami perannya. Pikirannya sudah buntu, dia harus sampai di bandara secepatnya.

Diluar dugaan pria tadi membunyikan klakson sambil berteriak memajukan motornya menyelip ke celah jalanan, meminta pengendara lain memberi jalan. Raditya takjub karena tahu-tahu dia bisa melewati celah-celah yang pengendara lain berikan untuk melaju, bahkan beberapa pengendara lain membuka kaca mobilnya berteriak mendoakan supaya istrinya persalinannya lancar. Andai benar Rania akan melahirkan anak mereka Raditya akan rela menukarkan apapun untuk kenyataan itu. Andai dia punya rasa percaya untuk istrinya, Ya Allah semoga masih ada kesempatan. Raditya menginjak gas dalam.
***

"Mi,Rania mana Mi?" Tanya Raditya, kini dia sudah sampai di lobi bandara, matanya mencari- cari keberadaan Rania.

Mia menarik napas panjang, setelah mencarikan taksi untuk bu Neni tadi, Mia sengaja menunggu Raditya disini, walau Rania sudah terbang membawanya ke Belanda. Dugaannya tidak meleset, sepupunya itu kacau sekarang, mengetahui fakta disaat terakhir dalam penyesalan itu menyakitkan memang. Dan biarlah menjadi pembelajaran.

"Dit, Rania sudah berangkat" Jawab Mia,

"Gak boleh Mi, gue belum minta maaf sama Rania, gue salah Mi. Mi, gue cinta Mi sama Rania. Mi, kasih alamat Rania ke gue, gue susul kesana Mi"

"Dit, duduk, lo harus tenang dulu"

"Gimana gue bisa tenang Mi, Rania ninggalin gue" Raditya bingung, hatinya sungguh sakit, dia tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa Rania, walau sekeras apapun selama ini dia berusaha mengikhlaskan Rania, nyatanya hatinya menolak.

"Gue bilang duduk Dit!" Mia membentak Raditya yang seakan kehilangan arah, Raditya menurut, ditangkupkan kedua tangan menutup wajahnya, ada air mata menggenang disana.

Mia menarik napas panjang, Raditya yang beberapa hari lalu begitu angkuh dalam pendiriannya sekarang begitu memprihatinkan. Mia duduk di sisi Raditya, memandang lalu lalang orang orang, memberi jeda sebentar Raditya untuk tenang.

"Gue goblok Mi, menuduh Rania macam-macam, padahal dia masuk rumah sakit di Jogja" Raditya buka suara, memecah keheningan.

"Kalau gue jadi Rania, gue udah labrak lo Dit, gue gampar lo, trus minta cerai sama lo" Lanjut Mia, "hati Rania begitu lembut dan tulus"

"Dan gue menyia-nyiakan perempuan sebaik Rania Mi"

Mia mengangguk, melihat sepupunya mulai tenang. "Tahu gak Dit? Istri lo begitu tegar, dia bahkan tersenyum saat gue tanya tentang perasaan dia sama lo kemarin? Walau dia tidak menjawab detail, gue bisa merasakan dalamnya cinta dia sama lo" Mia bercerita dengan mata berkaca-kaca. " Gue sebagai sahabatnya saja heran, dia begitu cantik"

"Dan gue merasa gagal membuat dia bahagia, " Raditya bicara dengan suara bergetar, menahan pedih, kondisinya berantakan, jasnya bahkan sudah dia lempar sembarangan  di mobil tadi.

"Dia cinta lo Dit, saran gue, biarlah Rania menikmati kehidupannya sekarang. Bertemu banyak orang, belajar, berkunjung ke banyak tempat. Hatinya butuh istirahat Dit, walau dia tidak pernah mengeluh selama ini, dia butuh jeda"

"Terus gue gimana Mi? Gue gak bisa hidup dengan perasaan bersalah seperti ini, Rania juga harus tahu bahwa gue cinta dia, Rania harus tahu gue menunggu nya kembali"

"Elu belum cerai kan Dit sama Rania? "

"Kok ngomongnya gitu Mi?! " Protes Raditya

"Nah, artinya Rania masih istri lo, Dia akan kembali Dit, jangan ganggu Rania, tunggu dia kembali. Anggap saja ini hukuman dari apa yang sudah lo lakuin kepada Rania selama ini. Rania sudah ganti nomor baru Dit dan gue gak bisa memberikan sama elo, termasuk alamat Rania di Belanda"

"Mi, jangan hukum gue seberat ini Mi"

"Mungkin nanti kalau ada foto Rania sama bule gue share sama lo" Mia tertawa puas

"Sialan lo"

"Rania titip ini sama gue, buat dikasih sama lo, kalau lo nyariin dia, tapi dia sudah harus pergi"

"Ini apa Mi? " Raditya menerima amplop berwarna biru dari Mia

"Saran gue, lo baca dirumah. Gue gak mau lo menangis meraung-raung di tempat umum"

"Makasih Mi, gue masih mau disini"

"Oke, gue duluan ya"

Raditya mengangguk, menggenggam erat surat biru dari Rania.

"Rania, aku akan menunggumu"




Rania dan RadityaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang