Langkah menjauh

654 39 2
                                    

Sinar mentari menyusup melalui jendela rumah sakit, mengganggu tidur Raditya yang memang tidak nyenyak. Aroma khas obat, menusuk Indra penciumannya, membuat tidak nyaman.
Yah, kemarin malam, setelah bertolak dari Jogja, Raditya langsung menuju rumah sakit dimana Mirna dirawat.

Tangan Mirna mengalami luka ringan, dahi dan sikunya lecet. Tidak ada yang parah, Mirna hanya butuh pemulihan dua hari ini, setelah itu kemungkinan boleh pulang, tinggal menunggu informasi lebih lanjut dari dokter yang bertanggungjawab terhadap Mirna.

"Sayang, kamu sudah bangun ya?"

Raditya tersenyum, merapikan rambut ikal itu dengan jari. Mungkin nanti dia akan memotongnya kalau sempat, Rania bahkan sudah gemas dengan rambut berantakannya, tidak rapi menurut Rania. Ah, ingatan tentang istrinya kenapa hadir begitu saja, padahal jelas di hadapannya adalah Mirna.
Raditya menarik nafas panjang, kemudian mendekat disisi ranjang Mirna, kemarin malam sengaja Raditya tidur di sofa, badannya terasa sangat letih. " Iya sayang, gimana sudah baikan?"

"Lumayan sih! Tapi sudah lebih baik kok. Makasih ya sayang udah mau nemenin aku"

"Iya sama-sama. Mirna, habis ini aku ambil baju sebentar ya, sekalian nyari sarapan. Kamu mau makan apa?"

"Ehm,,,sup iga aja deh. Lagi pengen yang seger-seger."

"Oke deh, aku keluar sebentar ya, aku cabut dulu"

"Sip, buruan balik ya sayang?" Ucap Mirna manja

"Iya" Raditya pamit begitu saja, tanpa mengecup kening Mirna seperti biasanya.

Mirna memang telah merasakan perubahan sikap Raditya beberapa bulan terakhir ini. Perbedaan yang disebabkan oleh pernikahan dan Rania tentu saja ada di dalamnya. Perbedaan yang bisa mengancam posisi Mirna selama ini. Bagaimanapun segala kemewahan dan fasilitas yang dimiliki Raditya selalu mengalir kepadanya. Mirna tak akan membiarkan semua itu pergi begitu saja. Setelah rencana A gagal,rencana B telah di mulai. Senyum licik itu kembali mengembang.
***

Raditya mencari Rania ke seluruh isi rumah, hari beranjak siang tapi istrinya belum tiba juga di rumah. Apa Rania memperpanjang liburannya di Jogja? Atau jangan- jangan terjadi hal tidak menyenangkan terhadap Rania, mengingat Rio kemarin berhasil kabur dari security hotel dalam perjalanan ke kantor polisi.

10.00 am
Ran, masih di Jogja ya?

Pesan Raditya yang ke sepuluh sejak subuh tadi tak mendapat jawaban. Raditya gemas, ditekan tombol dial di layar handphonenya. Satu detik, 10 detik, satu menit tidak ada respon.

Raditya melempar handphone ke sembarang arah karena kesal, dijatuhkan tubuhnya begitu saja ke kursi ruang tamu. Kejadian kemarin malam terekam jelas setiap detailnya di pikiran Radit. Senja, senyum Rania, ungkapan hatinya. Benarkah Rania mencintainya?. Bahkan permintaan Rania mengharap Radit tinggal masih mendengung di telinga. Gusar Raditya tak menemukan titik terang dari permasalahan ini, entahlah dia hanya khawatir pada Rania. Cepat kembali Rania, kata Raditya dalam hati. Radit menyambar jaketnya, memungut handphone yang dilemparkan tadi, lalu beranjak pergi. Hampir saja lupa membelikan sarapan  Mirna.
***
Rania sengaja menggunakan mode silent untuk panggilan di handphonenya. Berulang kali layarnya berpendar, berulangkali nama Raditya muncul setelah Rania mendarat dari penerbangan Jogjakarta. Tak sedikit pun menyentuh hati Rania untuk mengangkatnya, hatinya begitu sakit, perih belum sirna. Rania hanya perlu mulai belajar mengubah arahnya, dengan tidak berharap lagi ke Raditya. Belajar menjauh dari hidup lelaki yang mungkin tak pernah mencintainya. Rancana Rania sudah bulat, dia hanya akan ke rumah sebentar mengambil beberapa barang  kemudian pergi. Semakin lama dia tinggal satu atap dengan Raditya, semakin rasa cinta itu tak bisa dia kendalikan. Maka, ketika taksi yang mengantarkannya sampai di depan rumah, Rania melihat mobil suaminya terparkir di halaman.

Rania memilih bersembunyi di sisi samping di luar rumah, sudut yang tak terlihat. Beberapa kali handphone Rania kembali bergetar oleh panggilan Raditya. Berulang kali Rania menekan hatinya untuk teguh pada pendiriannya, Rania sudah menyusun rencana untuk menjauh, dan tidak boleh kalah oleh rasa cintanya yang tak berbalas. Dan ketika 20 menit kemudian pria terkasih nya itu tampak keluar dari rumah, Rania hanya bisa memandangi nya dari jauh, tak terasa bulir bening itu kembali mengalir di pelupuk matanya.
***
" Rania!" Mia memberikan senyum tulus untuk Rania, menghadiahi kecupan  di pipi kanan dan kiri. "Serius kamu mau menginap disini?" Mia memperjelas tujuan Rania, sebenarnya dia sudah menerima telpon dari Rania,terkait niatnya untuk menginap sementara di rumah Mia. Hanya saja, sepenuh hati Mia mengharapkan tak ada masalah rumah tangga yang melatar belakangi keputusan Rania. Walau dalam hati, Mia ingin tahu masalah yang ditimbulkan Raditya, sehingga Rania meninggalkan rumah, tapi biarlah Rania tenang dulu, biarlah cerita itu mengalir tanpa dipaksa.

Rania mengangguk. "Boleh kan?"

"Tentu saja boleh, teman lamaku yang menjadi kakak ipar ku" Mia tertawa lebar, ingat sekali waktu beberapa tahun silam Rania membawa kartu nama Raditya datang ke rumahnya di Jogja, seperti orang hilang. Rania meminta ijin untuk bermalam di rumahnya, karena dompetnya kecopetan. Sejak perkenalan waktu itu, mereka menjadi akrab. Setiap kali Rania ke Jogja pasti menyempatkan bertemu Mia. Sampai ketika Mia mendatangi pesta pernikahan Raditya dan histeris karena menemukan Rania yang namanya tertulis di kartu undangan pernikahan adalah Rania ini, Rania yang duduk sebagai mempelai wanita. Kebetulan yang sangat kebetulan, walau menurut Rania bahkan dia tidak pacaran dengan sepupunya. Tapi, Mia tahu sejak Rania terdampar di Jogja, sejak kartu nama Raditya ada di tangannya, Rania mulai menyimpan rasa. Rasa yang sangat rapi bersembunyi, Mia bahkan berani bertaruh bahwa Raditya tak tahu kalau Rania adalah gadis yang menerima bantuannya beberapa tahun silam, gadis yang menyimpan rasa padanya dalam diam, perempuan yang ditakdirkan menjadi istrinya. Indah sekali cerita cinta Raditya, andai dia tahu, sayangnya Rania tak pernah mengijinkan memberi tahu. Biarkan waktu yang membuatnya mengerti, tapi kapan? Lihatlah justru waktu membawa Rania menjauh dari sepupunya yang bahkan tak peka itu. "Masuk yuk!kontrakanku kecil sih, tapi muatlah untuk kita berdua" Mia mempersilakan Rania masuk ke kontrakannya di kota ini. Sudah tiga tahun Mia mengelola redaksi majalah fashion di salah satu Agency ternama.  Beradaptasi dengan baik dengan profesinya. Maka dari itu sejak tiga tahun lalu Mia lebih memilih tinggal di ibu kota, walau tak pernah absen mengunjungi orang tuanya di Jogja.
***
Raditya memutuskan menginap di rumah sakit, menemani Mirna. Keluarga Mirna jauh di luar kota, sehingga tak satupun bisa menjaganya. Mirna adalah seorang mahasiswi yang memilih menempuh pendidikan jauh dari kota kelahirannya. Sebagai seseorang yang memilik status sebagai kekasih Mirna, Raditya berlapang hati menjaganya. Mirna merupakan salah satu wanita yang bisa bertahan cukup lama di sisi Radit, mengingat sifat Radit yang lekas bosan dengan satu wanita, status playboy yang sempat tersemat padanya. Ada satu sisi kisah hidup Mirna yang mirip dengannya, anak yang tumbuh tanpa ibu, hal itu yang awalnya membuat Raditya membuka diri, setidaknya Mirna bisa dia jadikan teman bicara, hidup Raditya memang bergelimang harta, tapi kesepian. Dan entah bagaimana akhirnya Mirna meminta Radit menjadi kekasihnya sampai saat ini.

Raditya menyingkap gorden yang menutup jendela kamar rumah sakit di lantai 3 itu. Di bukanya sedikit, sehingga pemandangan kota terlihat jelas dari sini. Dipandanginya lampu-lampu yang berkerlip, untuk ukuran jam dua malam, Jakarta masih mendengungkan kehidupan. Di tatapnya satu titik arah, berharap titik itu membesar, sehingga rumah mungilnya terlihat jelas. Baru sekali ini seumur hidupnya di merindukan pulang ke rumah, pulang ke rumah setelah seharian lelah bekerja, disambut masakan lezat, disambut anak- anak dan pelukan istri yang hangat. "Hah! Sejak kapan gue mikirin punya anak? Gila Lo Dit!" Raditya mengacak rambutnya yang tidak gatal, pikirannya sudah terbang kemana-mana.

Dipandanginya Mirna yang sudah terlelap dari tadi yang detik ke sepuluh berubah menjadi wajah Rania. Raditya mengusap wajahnya, ada yang salah dengan dirinya, ada yang salah dengan semua ini. Jam menunjukkan angka dua lebih lima belas menit, ketika akhirnya Raditya memutuskan mengambil wudhu dan menegakkan solat tahajud.

Rania dan RadityaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang