Raditya terlihat berkonsentrasi di belakang kemudi, Rania yang duduk di sebelahnya terdiam, melihat ke sisi jalan. Hening menyeruak lebar diantara mereka berdua. Sudah setengah perjalan dari kampus ke rumah, tak ada yang berbicara. Raditya tak tahan lagi, pikirannya terbang seenaknya kemana-mana, tidak jauh jauh dari dosen pembimbing tesis istrinya. Kenapa dia baru melihat dosen itu. Kenapa Rania bisa tertawa selepas itu, bersama pria lain yang bukan suaminya. Sebentar, jangan- jangan selama ini Rania menempuh pendidikan S1 di universitas nya ini, kalau Rania lebih muda dua tahun dari dirinya, berarti dia adik kelas Raditya. Adik kelas yang jauh mendahuluinya.
"Kok gue gak pernah diajar pak Arman ya? Dia gak ngajar mahasiswa S1?" Raditya mencoba membuka pembicaraan
"Pak Arman baru pulang dari studi S3 dari Belanda" Rania menjawab juga walau malas
"Lo, dulu kuliah S1 di kampus gue juga?" Raditya penasaran
"Iya, pernah jadi asisten dosen di lab fitokimia, pernah asdos kelas kamu juga, kalau gak salah kamu dulu mengulang praktikum."Jawab Rania lagi, masih sibuk memandang jalanan.
"lo tahu gue?" Tanya Raditya penasaran."Kenapa gak cerita, kenapa gue gak pernah liat elo ya?"
"Untuk ukuran mahasiswa kaya raya, playboy, bikin kepala dosen puyeng" semua orang juga tahu." Lagian, kalau aku cerita, memang kamu peduli?"
"Sebegitu burukkah image gue di mata lo?"
" Menurut kamu?" Nada suara Rania masih ketus, belum mengubah sama sekali posisi duduknya, tak mau menoleh ke arah Raditya." Apa yang penting terkait papa?" Kali ini Rania memandang lurus ke depan, ke jalanan siang yang terik, kering dirasa kerongkongannya, tapi dia memilih diam, malas meminta Raditya berhenti mampir membeli minuman, lagian sebentar lagi, mereka sampai ke rumah.
"Papa minta kita mewakili beliau ke acara resepsi putra kolega bisnisnya."
"Kita? Kenapa tidak kamu sendiri, ajak saja tuh pacar kamu!" Rania siap memulai peperangan, sudah habis kesabaran Rania.
"Ran, gue lagi gak mau membahas itu, ini tentang permintaan papa ke kita!" Raditya mencoba tenang, tak ingin tersulut emosi
" Tapi ada syaratnya!" Kata Rania yang posisinya kini di atas angin.
"Apa? Awas kalau aneh-aneh!" Ancam Raditya, merasa Rania memanfaatkan kesempatan.
"Kamu harus menyelesaikan skripsi kamu akhir semester ini!"
Raditya berfikir sejenak, seakan menimbang sesuatu."Oke, tapi lo harus bantuin gue"
"Bisa, InsyAllah!"
"Deal?!" Raditya mengulurkan tangan, tanda kesepakatan, ragu-ragu Rania menerima jabatan tangan Radit. Mata mereka bertemu sesaat.Raditya buru- buru melepas genggamannya.
" Dit, acara undangan papa kapan?" Rania berusaha bicara normal, menutupi sedikit degupan.
"Malam ini, jam 7"
"Apa? Malam ini,kenapa sih kamu baru bilang. Aku sudah lama tak ke acara pesta seperti itu, aku tak punya gaun yang pantas" Rania tampak sebal, mengukur kemungkinan untuk bisa bersiap secara kilat, Ah! Dasar Radit
Raditya tertawa, tak disangka seorang Rania yang kesannya cuek dan sederhana bisa bingung juga saat mau ke pesta. "Ya sudah yok, kita ke butik sebentar"
***"Rania cepat, lo ngapain sih, sudah jam 7 nih!" Raditya mengetuk pintu kamar Rania tak sabar. Dia daritadi sudah siap, mengenakan kemeja batik coklat, sepatu formal, tak lupa rambut gondrong ikalnya diikat rapi.
"Iya,iya ini sudah siap". Rania keluar kamar, menggunakan gaun merah muda, sepatu highils, lengkap dengan tas mungilnya, wajahnya sengaja dia sapu sedikit dengan kosmetik, tidak berlebihan.
Melihat penampilan Rania, Raditya terpesona. Kenapa dia baru sadar kalau Rania ternyata cantik, sangat cantik malah.
" Radit, kok bengong, penampilan aku ada yang salah ya?" Tanya Rania,mengeluarkan kaca kecil dari dalam tasnya,mengecek ulang wajahnya.
"Udah yuk, setidaknya gak malu-maluin di ajak kondangan, Radit berusaha tidak mengeluarkan pujian ke Rania, khawatir Rania besar kepala. Rania berjalan mengikuti langkah Radit, namun sampai di depan pintu Radit mengenggam tangan Rania.
Rania kaget," Apa ini?" Tanyanya sambil mengangkat tangan kanan dalam genggaman Radit.
" Latihan Ran! nanti pas pesta biar dilihat pasangan bahagia, ingat kita membawa nama papa" kilah Raditya, walau dalam hati niat Raditya hanya tak ingin perempuan cantik itu jauh-jauh darinya. Khawatir kalau digoda lelaki lain. Suka tidak suka, Rania adalah istrinya bukan? Walau sampai sekarang hanya status di buku nikah.
***
Raditya menunggu Rania yang pergi ke toilet, pesta telah usai, berarti usai sudah kebersamaan mereka. Raditya tak tahu akan seperti apa sikap Rania besok, akan seperti apa hubungan mereka. Kembali ke titik awal, dimana mereka akan tenggelam ke kesibukan masing-masing, bukankah Raditya yang meminta itu dari awal? Lalu apakah dia akan berubah pikiran setelahnya. Bukankah rencana Raditya membuat Rania meninggalkannya. Apakah artinya Raditya mulai ragu akan tujuan awal pernikahan ini, demi harta warisan papa tak jatuh ke panti asuhan. Layar gawai Rania menyala, nada panggilan masuk membuyarkan pertikaian di otaknya. Rania memang menitipkan gawainya ke Radit.Nama "pak Arman" berkelap kelip disana. Raditya tentu tak mengangkatnya, Rania bisa mengamuk. Tapi, saat dering ringtone berhenti,tanda bahwa panggilan Arman tidak terjawab. Raditya buru-buru ingin menghapus history panggilan dari Arman. Android Rania dikunci, apa paspornya? acak Raditya mengetik tanggal lahir Rania, yang diketahuinya dari buku nikah,gagal. Kode pos rumah mereka, gagal. Ragu-ragu Raditya mengetik tanggal lahirnya, walau dirasa mustahil, Rania menggunakan tanggal kelahiran Raditya sebaga pasword, ajaibnya berhasil. Raditya tertegun sesaat, kemudian segera melancarkan aksinya, yes untuk malam ini dosen itu tak akan mengganggu Rania.
"Pulang yuk! Capek" Radit kaget tiba-tiba Rania muncul di hadapannya." Oh iya handpone aku mana? Gak ada telfon ya?" Tanya Rania sambil mengecek handphone nya sekilas.
" Gak ada!" Raditya berbohong, diamitnya lagi tangan Rania, tapi kali ini, segera Rania lepaskan.
"Kenapa?" Tanya Raditya memastikan
" Kan sudah selesai acaranya, jadi sandiwara keluarga bahagia bisa diakhiri" jawab Rania datar, lalu berjalan mendahului suaminya. Dia tak ingin sandiwara ini melambungkan tinggi harapannya, Rania khawatir perasaanya berkembang ke Radit. Raditya bahkan tidak mencintainya, walau hari ini semua selangkah lebih maju. Satu langkah dalam dua bulan pernikahan mereka, sangat lambat, dan satu langkah ini hanya kepura-puraan bukan? Mungkin besok semua akan kembali seperti hari hari sebelumnya, Rania harus menyiapkan diri, tak ingin larut dalam perasaan, tak ingin terluka. Raditya memang berstatus suaminya, tapi hati Raditya untuk perempuan lain.
***
"Ran sudah sampai, yuk kita tu...."kalimat Raditya menggantung, dilihat Rania tertidur begitu tenang, kelihatan begitu lelah. Dipandanginya wajah itu begitu lekat, matanya yang terpejam, hidungnya yang menjulang, bibirnya yang merona merah muda. Tiba-tiba Raditya merasa udara disekitar memanas. Raditya tak bisa berpaling dari bibir itu. D dekatkannya wajahnya lebih dekat ke Rania, bibirnya hanya berjarak beberapa cm dari bibir Rania. Tapi telepon Mirna menggagalkan rencana Radit, membuat Rania terbangun. Radit keluar dari mobil, sayup- sayup panggilan sayang ke Mirna sampai ke telinga Rania. Baiklah kita mulai lagi hari sama lagi untuk besok, batin Rania, entah kenapa ada sedikit nyeri di dada Rania.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rania dan Raditya
General FictionRania Zada Kirana harus rela menikah dengan anak pemilik perusahaan tempat dia bekerja demi operasi ibu,hutang keluarga dan sekolah adiknya. Mampukah Rania menghadapi suami yang bahkan mungkin tidak menginginkan pernikahan ini? Raditya Putra Santosa...