Sore hari, sambi sesekali menyesap cappucino hangat buatan Bi Semi, Raditya membiarkan anak rambut ikalnya bergerak gerak dibelai Sepoi angin sore. Pandangannya lurus ke arah kolam renang. Dihadapannya dibiarkan laptop terbuka, buku-buku diktat Farmasi berserakan di sekitarnya. Sudah sejak siang tadi Raditya menyibukkan diri dengan memperbaiki naskah skripsi di gazebo rumah papanya. Kurang selangkah lagi perjuangan Raditya menyabet gelar sarjana farmasi tercapai, setelah empat tahun menghabiskan waktunya sia-sia. Raditya akan selesai tepat waktu, sehingga harapannya untuk mengejar pendaftaran sidang bulan depan akan diraihnya. Itu janjinya, janji pria, janji yang sudah dia ikrarkan ke Rania. Dia berusaha untuk fokus. Walau jelas sulit bagi Raditya.
Sudah satu bulan ini, Rania tak pulang ke rumah. Rania bahkan sudah tak menerima telepon darinya, Rania juga mendadak mengambil cuti dari kantor. Seolah dia sengaja menghilang dari hidup Raditya. Pernah Raditya beberapa kali mencari Rania di laboratorium kampus tapi nihil, menurut pak Sam sang laboran penelitian Rania sudah finish, kemungkinan bulan ini sidang tesis Rania akan digelar.
Raditya menghembuskan napas panjang, seakan mengosongkan segala beban di dadanya yang mulai sesak. Bukankah kehidupan sudah kembali normal sekarang sebelum Raditya bertemu istrinya? Sebelum terjadi pernikahan itu. Benarkah ini yang Raditya inginkan dari awal, akhirnya Rania pergi dari hidupnya. Tapi, seperti ada kekosongan yang Raditya rasakan, apalagi saat papanya berkali-kali menanyakan keberadaan Rania, Raditya hanya bisa beralasan kalau Rania di rumah ibunya, untuk fokus ke tesis sehingga harus cuti dari perusahaan. Apa lagi yang bisa dia perbuat? Pernah sekali, dua kali Raditya menelpon mertuanya, bertanya kabar, namun dari nada bicara yang Raditya tangkap, Rania tak pernah pulang ke rumah Bu Neni. Raditya mengusap wajahnya yang mulai ditumbuhi rambut halus di pipi, membiarkannya begitu saja. Entah, sejak Rania pergi, penampilan Raditya menjadi jauh lebih berantakan.
***
"Walaikumsalam!" Mia menutup sambungan teleponnya dengan nada ketus, kekecewaan tidak bisa disembunyikan. "Menyebalkan!" teriaknya, sampai seorang pria berbaju hitam bertopi yang duduk jeda dua meja dengan Mia menengok.
Mia membekap mulut dengan majalah di hadapannya, merasa malu tidak bisa mengontrol emosi. Mia merutuk kebodohannya, menyalahkan narasumber untuk rubrik "muslimah inspiratif" di majalahnya tiba-tiba menolak diwawancarai, padahal deadline tinggal seminggu lagi. Mia berfikir keras, sampai kepalanya serasa mau meledak. Tapi, belum sampai kejadian itu terjadi, Mia mendengar suara seseorang yang sepertinya familiar.Mia menurunkan sedikit majalah yang menutupi wajahnya. Disana, dihadapannya, bersama pria berbaju hitam tadi, tampak seorang perempuan berambut panjang dengan cardigan merah kasual, mengenakan topi senada dengan warna cardiganya."Aneh, padahal kafe ini dingin dan teduh, apa topi sedang style?" Mia membatin. Diamatinya perempuan itu beberapa saat, Mia sepertinya pernah bertemu dengannya, tapi dia sungguh tak ingat. Mia merasakan kepalanya mulai pusing, kalau terlalu lama di kafe ini, Mia berniat pulang ke kontrakan, bercerita ke Rania siapa tahu akan menemukan titik terang. Namun, rencananya tak terealisasi saat itu juga, karena samar-samar Mia mendengar nama Rania disebut sebut kedua orang tadi. Entah Rania siapa, membuat Mia memilih tinggal di tempat, kembali ke posisi duduk dengan sebagian wajahnya tertutup buku.
"Untuk kali ini, lo harus bayar gue tinggi!" Pria mencondongkan tubuhnya ke arah lawan bicaranya, menekankan kata-katanya.
"Tenang aja, lo bahkan bakalan dapat berkali lipat, kalau rencana kita berhasil. Setelah gue jadi nyonya Raditya,kedudukan lo di perusahaan bakal gue jamin!" Si perempuan dengan yakin berucap janji.Hah, Raditya! Mia membelalakkan matanya, mendengar mana Raditya sekarang yang disebut. Tidak mungkin suatu kebetulan dengan dua nama yang dia kenalnya disebut. Ada sesuatu yang mereka rencanakan batin Mia, dan perasaannya mengatakan bukan hal baik.
"lo gak boleh gagal kedua kalinya, terserah Rania mau lo apakan, kalau perlu Lo lenyapin sekalian, biar gak gangguin hidup Raditya lagi"
"Mirna..Mirna, kali ini gue jamin, gue gak akan gagal kedua kalinya. Lo tinggal nyiapin uang buat gue"
"Tenang saja Rio, janji gue bisa lo pegang" Mirna tersenyum jahat.
***
Sambil menyetir, Mia terus mengulang-ulang nama itu. Mirna, Mirna,Mirna. "Gue pernah ketemu dimana ya?". Diketuk-ketuk kan tangannya tidak sabar."sial! Kenapa bisa pikun gini sih gue!" Mirna mulai frustasi, apalagi mengingat rencana jahat dari kedua orang tadi terhadap Rania.
Mirna,dimana ya ketemu? Wajahnya familiar, mall? Kampus? Butik? Sekolah? Mia mencoba menyebut semua tempat, sampai di suatu tikungan taman kota, Mia menjerit girang. Gue tau! Pekiknya. Mia ingat pernah diperkenalkan Raditya dengan Mirna sebagai kekasihnya, dua bulan sebelum Raditya menikah. Mia mengangguk-angguk, mulai menemukan benang merah, titik terang dari semua ini. Atau jangan-jangan perginya Rania juga ada kaitannya dengan Mirna. Dasar, pelakor! Mirna sekarang benar-benar marah, dia harus bicara dengan Raditya, tapi tidak sekarang. Profil di rubrik majalah fashionnya lebih mendesak.
***
"Saya memutuskan untuk mengambil beasiswa S3 ke Belanda" Rania mengucapkan tujuannya mantap, berusaha menjaga nada suaranya agar tidak bergetar, dia khawatir kalau air matanya leleh di depan Arman. Siang ini Rania melakukan konsultasi terakhir sebelum sidang tesisArman tersenyum, dia tahu sesuatu sedang terjadi pada Rania, gadis itu menjadi lebih murung akhir-akhir ini. "Jangan memutuskan sesuatu dalam keadaan emosi, baiknya dipikirkan ulang, supaya tak menyesal kelak"
Rania terdiam untuk beberapa saat, ada sebagian ucapan Arman mangandung kebenaran, namun niat Rania sudah bulat. Sudah hampir sebulan ini Rania meneguhkan hatinya untuk tidak menghubungi Raditya, walau artinya dia harus menikam rindu dengan tega. Mengabaikan semua panggilan Raditya, menghilang dari perusahaan. Untuk masalah ini Rania akan segera menyelesaikan, walau konsekuensinya dia harus terluka berulang kali karena akan mengecewakan Hendra, yang sudah dianggap ayahnya sendiri. Rania bahkan bergelut dengan hobi formulasinya, membuat lulur kecantikan dari bahan alam yang ternyata mendapat respon baik di pasaran, sertifikat uji sudah dia kantongi, bahkan proses perijinan sudah 50 persen. Rania harus bergerak, karena dalam diam, semena mena bayangan Raditya datang seenaknya, mengikis pertahanan yang berusaha dia bangun.
"InsyAllah keputusan saya sudah bulat pak, jadi saya mohon bantuan pak Arman, terkait promotor yang bisa merekomendasikan saya"
Arman mengambil nafas, Rania memang gadis yang memiliki pendirian teguh. Tidak mudah membujuk Rania untuk saat ini, apalagi kondisinya seperti kurang baik. Andai Rania bisa berbagi cerita dengannya, tentu Arman akan sangat senang, namun diskusi mereka selama ini tidak jauh-jauh dari sebatas kampus, tesis, penelitian, tidak lebih. Bahkan Arman mulai merasakan cintanya bertepuk sebelah tangan, walau belum sempat di utarakan. Apakah perlu diutarakan biar dia tak menyesal? Hati Arman terlibat pertikaian.
"Mohon bantuannya pak Arman!" Rania mengulangi permintaannya
"Oke, nanti akan saya kirimkan nomor rekan saya ke kamu, sambil kamu melengkapi persyaratan yang lain"
"Terimakasih Pak Arman!" Ucap Rania, merasa langkah awalnya akan dimulai. Rencananya jauh dari Raditya akan segera terealisasi.
Sementara itu, tanpa disadari Rania. Arman juga sedang menyusun rencana dalam hatinya, sebelum Rania pergi study S3, dia harus menyampaikan perasaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rania dan Raditya
General FictionRania Zada Kirana harus rela menikah dengan anak pemilik perusahaan tempat dia bekerja demi operasi ibu,hutang keluarga dan sekolah adiknya. Mampukah Rania menghadapi suami yang bahkan mungkin tidak menginginkan pernikahan ini? Raditya Putra Santosa...