Setelah dirasa sudah lengkap, Rania mendorong kereta belanjaan ke kasir. Memang hari ini dia berencana melengkapi isi kulkas dan dapur mungilnya di rumah yang dia huni bersama Raditya. Sejak remaja Rania memang lebih suka memasak sendiri, bakat yang menurun dari ibunya. Apalagi status Rania sekarang bertambah menjadi istri, kata orang laki- laki paling suka masakan istri, Rania pernah mendengar juga sih, cinta bisa berawal dari masakan yang pasangan yang lezat. Cinta? Memikirkan Raditya akan jatuh hati padanya membuat Rania senyum senyum sendiri. Entahlah, perasaan Rania ke Raditya masih belum dalam sekarang, walau setiap mereka bersentuhan, ada getar berbeda yang Rania rasa. Mungkin hanya perlu waktu, semakin mereka terbiasa bersama, rasa itu pasti akan ada. Seperti saat ini, setelah pulang dari rumah mertuanya, Rania memaksa Raditya menemaninya berbelanja, itupun gara- gara Rania yang menyetir, karena kaki suaminya bengkak. Jadi mau tidak mau Raditya harus bersedia ikut kemana Rania pergi
Rania menenteng tas belanjaannya, sambil mencari sosok Raditya yang menunggunya di area food court. Disebuah sudut,dekat makanan cepat saji,Rania menangkap bayangan Raditya, sedang mengobrol akrab dengan seorang wanita. Ragu- ragu Rania mendekati mereka.
" Eum..ehm..." Rania berdehem dengan sengaja, membuat Raditya dan perempuan berambut panjang itu menengok bersamaan. "Sudah selesai belanjanya!"
"Siapa nih sayang" tanya perempuan tadi, membuat telinga Rania gatal karena panggilan sayang kepada suaminya
"Oh, kenalin ini Rania, sepupu aku!" Ucap Raditya santai, sambil memberi kode ke Rania supaya Rania menuruti permintaannya.
Rania diam, menahan kekesalan sendirian
" Oh,,kenalin aku Mirna, pacar nya Radit..!" Mirna mengulurkan tangan disambut oleh Rania, masih tanpa sepatah katapun
" Ya udah yuk, Lo udah selesai kan belanjanya, gue antar pulang!" Kata Raditya santai, khawatir kalau- kalau Rania marah, kemudian membuat Mirna tahu kalau mereka suami istri. Raditya sedang malas berkonflik.
"Gak usah, aku bisa pulang sendiri, nih kunci mobilnya. Aku bisa naik taksi!" Ucap Rania, berbalik menjauh meninggalkan Raditya. Rania ingat tentang tidak berhak mencampuri urusan masing-masing. Tapi kenapa hati Rania sedih? Baru dua hari menjadi istri, apakah dia akan bisa bertahan, bahkan untuk waktu yang lama.
Raditya diam, memandang punggung Rania dari belakang. Memikirkan bagaimana dia bisa pulang, kalau menyetir saja dia susah, karena kakinya kesulitan menginjak rem atau gas. Tapi bukan itu arti tatapan Raditya pada istrinya yang kian menjauh, entahlah, mungkin sejenis perasaan tidak tega. Entahlah.
***Setelah mandi dan sholat isya, Rania menuju ke dapur. Lapar menguasai perutnya. Dengan hati-hati Rania menata belanjaannya ke kulkas. Memakai celemek merahnya, membereskan meja makan, berniat memasak dalam keadaan tempat yang bersih, karena tempat kotor akan merusak mood memasak Rania. Walau kenyataan mood Rania sedikit down, menemukan nasi goreng yang dimasaknya untuk Radit tidak tersentuh. Ditariknya nafas panjang, seakan telah melakukan hal yang sia-sia. Termasuk pernikahan nya akankah bermuara kepada kesia-siaan? Pikiran Rania berkeliaran kemana-mana. Apalagi teringat pacar suaminya, Mirna.
Sudahlah! Rania berusaha tak peduli, bukan urusannya, Rania meyakinkan diri, tidak perlu dibawa perasaan, toh pernikahan ini bukan keinginan bersama. Nanti kalau hutangnya lunas, bisa saja ini ikut selesai. Tak boleh terlalu larut. Rania mencoba tersenyum, mulai memasak sup iga hangat, untuknya sendiri pada awalnya. Namun, akhirnya dia buat agak banyak, manatahu Raditya lapar lagi nanti malam. Rania masih peduli, walau sudah dikhianati.
Pukul 11 malam Raditya sampai di rumah naik taksi, mobilnya sengaja dia minta Mirna bawa. Sebenarnya bisa saja Radit minta antar Mirna pulang, hanya saja tak mau pernikahan ini ketahuan. Dengan masih terpincang- pincang Radit memasuki halaman rumahnya, berbekal kunci yang sengaja dia gandakan, Raditya bisa masuk rumah dengan mudah.
Rumah sepi, lampu ruang tengah dan ruang tamu sudah dipadamkan. Tak ditemuinya sosok Rania, mungkin sudah tidur, batin Raditya. Radit memutuskan masuk ke kamarnya, tapi niatnya terhalang oleh aroma harum masakan dari dapur. penasaran, Raditya menemukan sup iga di panci diatas kompor. Raditya memang belum makan malam tadi dengan Mirna, hanya desert dan makanan ringan. Sepertinya menarik, walau belum tentu enak! Batin Raditya meragukan masakan Rania. Tapi ketika satu suapan sup iga masuk ke mulutnya, Raditya tak bisa menghentikan suapan- suapan berikutnya. Alhasil sup iga sudah pindah ke perutnya. Sup buatan Rania bahkan lebih lezat dari sup di restoran, tempat biasa dia makan.
Kira-kira sudikah Rania membuat sup iga lagi? Kan kewajiban Rania sebagai istri masak untuk suami?. Radit ya menggeleng sendiri, sejak Rania mulai disebutnya sebagai istri? Bukankah hubungan mereka hanya status?. Raditya tak ingin dibuat pusing, kesepakatan awal tetap berlanjut, tak boleh menganggu urusan masing-masing. Lamunan Raditya buyar,oleh dering pesan masuk gawainya yang dilemparkan sembarangan tadi di meja ruang tengah. Buru- buru Radit mencari sumber suara, ditemukannya gawainya di sebelah laptop Rania. Penasaran, Raditya membuka kertas kertas yang menumpuk rapi disebelah laptop. Proposal tesis. Radit mengerutkan dahinya, terjawab sudah pertanyaan Radit, alasan Rania di kampus hari ini. Alasan papa memberi kepercayaan kepada Rania menjadi supervisor produksi. Raditya malu sendiri, di umurnya yang lebih tua 2 tahun dari Rania, dia belum sempat memiliki gelar sarjana. Dia harus lulus tahun ini. Tekad Raditya, tentu supaya fasilitas mewah tak berpindah tangan, atau demi hal lain yang dia akan sadari nanti, beberapa bulan ke depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rania dan Raditya
قصص عامةRania Zada Kirana harus rela menikah dengan anak pemilik perusahaan tempat dia bekerja demi operasi ibu,hutang keluarga dan sekolah adiknya. Mampukah Rania menghadapi suami yang bahkan mungkin tidak menginginkan pernikahan ini? Raditya Putra Santosa...