Raditya beranjak dari kafe dengan malas malasan. Cappucino yang dipesannya belum habis, apalagi dia sedang bersama Mirna sekarang, kekasihnya tiga bulan terakhir. Tapi telpon dari papanya tak bisa diabaikan begitu saja. Ada nada tak biasa yang Raditya tangkap dari sambungan tadi.
"Mau kemana sayang? Kan kita baru sampai,baru juga minumannya datang, masa' kita pulang sih?" Mirna merajuk,malam romantis di kafe mewah terancam selesai lebih awal.
" Sory sayang, papa nih penting banget, kamu pulang naik taksi saja, maaf ya sayang tidak bisa nganterin." Raditya mengecup kening Mirna sekilas, ditinggalkannya berlembar lembar uang di meja, untuk keperluan Mirna naik taksi dan membayar pesanan mereka. Radit pun berlalu, melaju pulang ke rumah bersama mobil sport hitamnya.
Sementara itu, Mirna yang merasa kecewa, menghubungi seseorang untuk menemaninya di kafe. Tak ada Radit tidak masalah besar buat mahasiswi fakultas ekonomi itu, bukankah uang Radit yang dia butuhkan selama ini?. Dan senyum licik Mirna mengembang.
Radit memarkir mobilnya di halaman rumahnya yang luas, dilemparkan kuncinya begitu saja ke Pak Maman, sopir keluarga mereka,memberi kode supaya dimasukkan garasi, karena Radit tak berencana kemanapun malam ini. Dia merasa badannya lelah.
" Pa.....,papa..." di ruang tamu, ruang keluarga Radit tak menemukan papanya, dapur apalagi. Mungkinkah papa belum pulang? Tapi mobilnya ada di depan?. Pencarian Radit akhirnya mengerucut ke ruang kerja papanya, karena disanalah papanya sering menghabiskan waktu, lebih lama dibandingkan bersamanya. Sedih bukan? Rumah seluas dan sebesar ini semakin sepi karena penghuninya hidup di dunia masing- masing. Radit mengetuk pintu sekali dua kali tak mendapat jawaban, dibukanya perlahan gagang pintu jati ukiran itu, sedikit terkejut ketika mendapati papanya sedang sholat
" Papa? Sholat? Tidak biasanya" batin Radit. "Sejak kapan?" Radit mengangkat bahu, memutuskan menunggu di luar sambil menonton televisi
###" Skripsi kamu sampai mana Dit?" Tanya Hendra, papa Radit. Sepasang anak bapak ini sedang mengobrol santai di gazebo belakang rumah mereka yang tak kalah luas, disisi gazebo sengaja ditanami beberapa pohon,supaya tidak panas kalau siang hari, dan tak jauh dari gazebo terdapat kolam renang.
Radit berdecak sebal. Kalau boleh memilih Radit lebih baik tak melanjutkan kuliahnya di farmasi, semua mata kuliah disana membuat otak Radit capek. Tapi bukankah dia sedang dalam misi itu, skripsi yang tak kunjung selesai selama 4 tahun terakhir akan mengancamnya kena DO tahun depan, dan selesai sudah penderitaannya selama ini. "Sudah sampai diomelin dosbing pa" Radit mencoba jujur
Hendra mengambil nafas panjang, merajut kesabaran. Namun kali ini dia harus tegas. " Mau sampai kapan Dit, papa sudah tua, siapa yang meneruskan perusahaan kelak jika bukan kamu, kamu anak papa satu satunya"
Radit mengacak rambut ikalnya yang mulai memanjang. Dia benci topik ini, sudah sering Radit berdebat tentang masalah ini dengan papanya. Pikiran papa yang tidak sederhana, tinggal minta tolong orang membesarkan perusahaan, dibayar, bereskan. Kenapa harus Radit, biarkan saja dia hidup dalam dunianya selama ini, menikmati masa mudanya
" Jadi masalah penting yang ingin papa bicarakan di telpon tadi ini pa? Tentang Radit yang tidak lulus lulus kuliah,tentang perusahaan kebanggan papa itu juga. Kita kan sudah sering diskusi tentang hal ini pah, Radit capek pah mau ke kamar" Radit hendak beranjak,meninggalkan Hendra, untuk kesekian kalinya masalah ini tak menemukan titik temu,tapi kali ini keputusan Hendra sudah bulat,tak bisa dibantah."Papa mau kamu menikah Dit, baru papa tenang kalau nanti papa suatu saat meninggal, ada yang menjaga kamu dan perusahaan kita" kata kata Hendra Santoso kini mampu menghentikan langkah Radit, bahkan membuatnya kembali duduk di samping papanya.
" Papa tiba tiba aneh deh, ayolah pah! Bercanda papa tidak lucu"
" Siapa bilang papa bercanda Dit, papa terkena kanker otak stadium awal. Kemungkinan papa sembuh sangat besar, asal papa konsisten dengan pengobatan papa, asal papa tidak terlalu lelah mengurusi perusahaan, asal kamu menikah dan mau menyelesaikan studi kamu sambil belajar menggantikan papa di perusahaan"
Adit terdiam, senyumnya memudar,rahang kokohnya mengeras, kini dia tahu papa serius. Radit berpikir keras. Dia tidak siap untuk menikah, apalagi mengurus perusahaan. Hidupnya selama ini jauh dari itu, hanya nongkrong,menghabiskan uang, pacaran. Dia biasa hidup sesuka hatinya. Radit tak siap dengan ikatan apapun, komitmen apapun, usianya juga masih 27 tahun. Tapi papa sakit? Secuek apapun Radit pada orang tuanya, Radit tak akan mungkin membiarkan kanker menggerogoti raga orang tua tunggalnya itu. Radit masih punya hati. Sial! Umpat Radit dalam hati.
"Oke, Radit akan bantu papa di perusahaan, tapi tidak untuk menikah!" Radit mencoba menawar
Hendra tersenyum. Hendra sangat hapal dengan sikap anaknya itu, mudah menyerah, cepat bosan. Hendra belum bisa melepas Radit begitu saja, dia jauh dari dewasa.
"Keputusan papa tidak bisa digugat, kecuali kalau papa meninggal nanti,kamu ingin semua harta papa akan papa wariskan ke panti asuhan. Tolong Radit pikirkan ya." Hendra berdiri, menepuk nepuk pundak putranya dengan sayang, berniat berlalu meninggalkan Radit yang berdiskusi dalam pikirannya sendiri,berdebat antara hati dan otaknya. Memikirkan kemungkinan kemungkinan yang tersisa. Oke mungkin menikah dengan Mirna bukan hal buruk juga,pikirnya!
"Oke, Radit setuju menikah, tapi dengan perempuan pilihan Radit sendiri."
"Tidak Radit, papa sudah punya calon istri buat kamu. Pilihannya hanya ada dua" Hendra menatap tajam putranya, tatapan tegas yang lembut, bukan ancaman. " Kamu menikah dengan pilihan papa atau kamu mau harta warisan papa, papa berikan ke panti asuhan. Semuanya Radit, jadi pikirkan baik-baik kalau kamu tidak bisa hidup tanpa harta papa"
***Radit berjalan mondar mandir di dalam kamarnya, keinginan untuk santai dan istirahat musnah sudah. Pilihan yang diberikan papanya sungguh sulit, apa yang bisa Radit perbuat kalau semua yang dimilikinya saat ini hilang, mobil mewah, kredit card unlimited, ketenaran?. ahrrrrrrgggg! Semua ini membuat Radit frustasi. Sepertinya dia tidak bisa menghindari pernikahan itu, tidak ada pilihan lain. Oke,hanya menikahkan?, kalau papa sudah sembuh, dia bisa meninggalkan pernikahan itu. Niat Raditya sebelum tahu seperti apa calon istrinya. Rania.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rania dan Raditya
Fiksi UmumRania Zada Kirana harus rela menikah dengan anak pemilik perusahaan tempat dia bekerja demi operasi ibu,hutang keluarga dan sekolah adiknya. Mampukah Rania menghadapi suami yang bahkan mungkin tidak menginginkan pernikahan ini? Raditya Putra Santosa...