Keputusan

760 40 2
                                    

Typo bertebaran, mohon saran dan kritikan. Tinggalkan komen atau klik bintang biar nulisnya semangat,, terimakasih teman-teman

"Kamu yakin akan keputusan kamu Rania, bukan karena hal pribadi bukan?"

Rania diam sejenak, pertanyaan Arman lebih mirip tebakan yang pas menuju pusatnya. Kenyataan bahwa hubungannya dengan Raditya kembali ke awal itu benar adanya. Ada jarak terbentang lebar itu jelas kentara, Rania memilih melindungi mimpi mimpinya, hatinya biarlah sudah patah berulangkali, tapi tidak cita-citanya. Untuk sekarang dia tidak akan tumbang lagi, semua sudah dipikirkan dengan baik, amanah di perusahaan Hendra sudah diserahkan kepada pengganti. Dia ingin melanjutkan study, sambil mengembangkan produknya bekerjasama dengan anak perusahaan Akbar di Belanda. Semuanya sudah direncanakan dengan matang. Tinggal sekarang bagaimana merealisasikannya.

"Saya yakin pak Arman, tidak akan berubah pikiran"

"Baiklah, saya Do'akan kamu sukses ya Ran, ingat kalau kamu butuh bantuan, saya siap membantu kamu"

"Terimakasih pak Arman atas bimbingan dan bantuan selama ini, insyAllah minggu depan saya berangkat, mohon doa nya. Saya pamit pak Arman"

"Jaga diri Rania"

"Siap pak" Rania tersenyum tulus penuh rasa terimakasih, kemudian berbalik meninggalkan ruangan Arman.

Pria itu tersenyum, melihat punggung Rania menjauh, masih ada getar yang tersisa untuk Rania, masih ada rasa disana. Entahlah, melihat gadis itu hari ini saja membuatnya jauh menjadi gembira, apalagi tak ada air mata di wajah ayu itu, semoga bahagia Rania, semoga terwujud semua cita-cita.

***

"Astagfirullah, lo bego banget sih nyeeeeeeettttt" Mia tersulut emosi.
Bagaimana tidak, segala agenda hari minggunya berantakan karena telpon dari Hendra, apalagi kalau bukan soal Raditya.

Sudah sebulan terakhir Raditya menginap di rumah orang tuanya, Hendra sudah berusaha mengajaknya bicara, katanya tidak ada masalah, Hendra bertemu dengan Rania, Rania juga tidak menjelaskan banyak. Bahkan Rania sudah memutuskan melanjutkan study nya ke Belanda. Inilah asal muasal bagaimana Mia di hari Minggu pagi sudah hijrah ke rumah Hendra.

"Jadi lo belum ketemu Rania lagi sejak dia pulang dari Jogja?"

Raditya menggeleng

"Jadi lo gak melakukan apapun selama ini, hanya gara-gara asumsi pribadi lo tentang foto sialan ini?!. Astagfirullah, gue jadi ngumpat lagi, mulut-mulut, emosi gue"

"Udahlah Mi, gak perlu repot-repot mikirin gue, biarin Rania bahagia dengan Akbar, kalau itu sudah pilihannya"Raditya berusaha tegar, tapi hatinya teramat sakit.

" Lo yakin, foto ini bener? Lo sudah bicara sama pak Akbar? Lo sudah mencari pengirim foto ini?" Mia merasa ada yang aneh, Tiba-tiba dia teringat dengan Mirna.

"Buat apa Miiii, semua sudah jelas,, ! " Raditya berdiri mendekati tepi kolam renang. Daritadi mereka berdiskusi di gazebo belakang rumah

"Lo pengecut Dit?!"

"Gue bukan pengecut Mii..! "

"Lo terjebak dalam asumsi lo sendiri, benar keputusan lo melepaskan Rania, benar! Biarkan sekalian Rania pergi! "

Raditya diam, raut wajahnya mendung, hatinya tentu sakit, melepaskan tak semudah yang dia pikirkan selama ini.

"Bukan cinta, kalau lo percaya saja sama Rania tak mampu,, sedangkan selama ini Rania selalu memaafkan kesalahan lo" Mia berjalan mendekati Raditya

"Lepaskan dia, kalau itu keputusan lo. Jangan klarifikasi apapun, teruskan saja pikiran bodoh lo selama ini, kalau lo sudah memutuskan membiarkan Rania pergi, jangan pernah berubah pikiran" Mia memandang wajah sepupunya itu, ada luka di sana, dia tahu cinta Raditya terlalu besar, dan terpaut tipis dengan kebodohan rupanya.

"Gue pergi", Mia menepuk pelan pundak Raditya. "Bebaskan Rania, ambil keputusan, biarkan dia bahagia dengan orang lain kalau itu sudah keputusan lo. Seminggu lagi Rania akan berangkat ke Belanda, gue dengar Pak Akbar akan mengurus bisnisnya di Belanda juga, lepaskan Rania, biarkan dia bahagia tanpa bayangan lo, siapkan diri lo buat kehilangan, itu saja yang perlu lo lakuin sekarang" Mia berlalu membiarkan Raditya memikirkan keputusannya baik. Mia mengambil napas panjang, dia paham Raditya belum pernah patah hati sebelumnya, belum pernah jatuh cinta sedalam ini dengan perempuan. Mia bukannya tak mau memberi solusi atau mendukung Raditya untuk mempertahankan hubungannya dengan Rania, tapi Mia akan membiarkan Radit menikmati rasa sakit itu, belajar untuk mempercayai pasangan dan belajar bagaimana cara mempertahankan. Kalau toh nanti Raditya tetap melepaskan pernikahan ini, berarti Rania memang bukan jodohnya. Biarkan sepupunya itu belajar dan berpikir dewasa.

Matahari sudah mulai meninggi, perut Mia keroncongan, memikirkan masalah Raditya membuat kepalanya pening, dia harus makan dulu, sebelum bertemu dengan seseorang.
***

Raditya menyesap kopi yang mulai dingin, setelah kepergian Mia, banyak hal yang dia pikirkan.

Benarkah dugaannya selama ini keliru? Benarkah kemarahannya tak beralasan? Mungkinkah Rania benar tega Menghiantinya? Apakah mampu dia melepaskan istri yang sangat dia cintai?. Argghhhhh, semua masalah ini membuatnya frustasi, baru sadar sekarang rasanya patah hati seperti ini, sakit sekali ternyata. Mungkin karma yang harus dia Terima atas sifat playboy nya selama ini. Ya Allah,, apa yang harus aku lakukan? , tunjukkan jalan terang"

Raditya menelangkupkan tangan ke wajah, pusing sekali rasanya, perutnya juga terasa lapar. Dia belum memakan apapun sejak bangun tidur. Raditya berdiri, hendak menuju dapur, tak sengaja kakinya menabrak pinggiran meja kecil disamping gazebo, koran jatuh dari meja itu.

Raditya mengambilnya, meneliti tanggal koran hari ini, baru ternyata, pikir Raditya.
Tertarik akan judul headline koran pagi ini, "Terbekuknya Dalang Penusukan di Jogja", sebelum Raditya membaca lebih jauh telpon berdering, dari sekretarisnya. Raditya melipat koran tersebut dan meletakkan kembali diatas meja.

Rania dan RadityaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang