Sebuah sandaran

713 43 18
                                    

"Dit, papa sudah telpon nih! Kita sudah ditunggu meeting antar divisi. Sudah siang juga,aku harus presentasi terkait pelaksanaan protap produk baru. Kalau kamu gak ikut, aku gak enak sama papa." Rania membangunkan Raditya sambil memeriksa file yang akan di presentasikan pagi ini. Senin ini memang jadwal Laporan kerja tiap divisi. Dan kebetulan juga pak Rahmat manager produksi berhalangan hadir karena beribadah umroh. Suka tidak suka, Rania dua minggu ini harus mengemban tugas tambahan. Presentasi ini contohnya, Rania bahkan rela tidur larut demi mengerjakan resume laporan bagian produksi, progres ke depan, dan evaluasi divisi. Biasanya memang Rania berangkat ke kantor sendiri, tapi karena papa mengingatkan Raditya harus hadir, Rania bisa saja terlambat.

"Raditya! Ayolah, jangan membuat posisiku tambah sulit sekarang, kita harus ke kantor!" Rania mengetuk pintu kamar Raditya tidak sabar. Namun, tak ada jawaban.

Rania memutar gagang pintu kamar Raditya,tidak dikunci, tumben. " Dit, panggil Rania lagi, Raditya tetap diam di balik selimut.
"Dit!" Rania ragu-ragu masuk ke kamar Raditya, belum pernah Rania ke kamar Radit, buat apa? Toh biasanya kamar suaminya selalu terkunci.
Rania melirik jam tangannya, sudah hampir terlambat, membuat Rania  mendekat ke tempat tidur suaminya. Radit tidur membelakangi Rania. Rania memanggil Radit beberapa kali lagi, tapi usahanya gagal. Radit bergeming. "Dit!" Rania menggoyang-goyangkan tubuh Radit sebagai usaha terakhir, tapi kulit Radit terasa hangat. "Dit, kamu sakit? Badan kamu panas".
"Hem. Apaan sih, berisik!" Raditya kembali menarik selimut.
"Ya Allah badan kamu panas Radit" Rania memegang dahi Radit dengan punggung tangannya. "Tunggu sebentar."

Rania keluar, melepas atribut kantornya, menelpon papa, dia tidak bisa meninggalkan Raditya dalam keadaan seperti ini. Rania menarik nafas lega ketika papa mengatakan akan ada penjadwalan ulang rapat.

Kembali ke kamar Raditya, merapikan rambut ikalnya yang awut-awutan, membuat gemas Rania, seolah ingin menyukur rambut itu, biar sedikit rapi. Rania mengompres dahi Radit, mengurangi suhu tubuhnya. Digantinya pakaian Raditya dengan kaos tipis. Raditya sakit, hanya bisa pasrah

"Dit, bangun...,sarapan dulu, ini aku buatkan bubur, biar lambung kamu gak kosong. Habis ini kamu minum obat." Rania duduk di tepi tempat tidur Radit, semangkuk bubur hangat ada di tangannya.

Raditya menurut, mengubah posisinya, duduk bersandar ke sandaran kayu ranjangnya. Aroma bubur Rania berhasil menggugah selera makannya.

" Nih" diulurkan mangkok bubur kepada Raditya. Raditya menggeleng

"Suapin, badan gue masih lemes"

"Separah itu ya, sampai gak sanggup makan sendiri? Protes Rania, walau akhirnya menurut juga, menyuapkan bubur ke mulut Radit

"lo gak jadi meeting? Tanya Raditya, tersadar akan sesuatu.

Rania menggeleng."papa Uda reshcedul jadwalnya, jawab Rania." Kamu harus ikut, lihat presentasi aku, pasti terpesona"

"Oh ya?" Raditya mengangkat alis, memandang Rania lekat-lekat

Rania merasa jengah."kamu lihat apa? Sudah mulai terpesona sama aku?" Rania berseloroh, mencoba menutupi degup hatinya. Akhir-akhir ini Raditya sering memperlihatkan tatapan itu, namun Rania tak mau salah mengartikan, hanya sekedar tatapan tidak lebih.

"Gak liat apa-apa!"

"Oke, jangan lupa obatnya diminum, trus habis itu mandi" Rania berdiri, bubur sudah tandas dari tadi."aku siapkan air hangat dulu"

" Ran" panggil Raditya saat Rania sampai di pintu

"Iya"

"Kenapa lo gak ke kantor? lo bisa kan ninggalin gue dirumah sendiri?"

Rania dan RadityaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang