Washington, DC.

359 82 4
                                    

"Mamah sama papah apaan sih?!" Dengan cepat, Fenly berdiri dari duduknya dan nada suaranya mulai meninggi saat mendengar penjelasan dari kedua orang tuanya.

"Fen, Fauzi tuh teman lama sekaligus rekan bisnis papah." Kaget dengan respon Fenly, papah sedikit menaikkan nada bicaranya juga.

"Ya, Fenly gak peduli itu teman lama papah, rekan bisnis, atau pejabat sekalipun. Fenly gak suka cara mamah sama papah."

"Fen, kamu belum ketemu sama anaknya Om Fauzi. Kamu masih punya waktu buat mengenalnya." Mamah berusaha menenangkan anaknya dengan nada lembut.

"Fenly gak perlu dan gak mau ketemu sama dia, yang jelas Fenly menolak perjodohan ini."

"Fen, kalau kamu bisa menikah sama anaknya Fauzi, bisnis papah akan meningkat dengan pesat, kamu juga kena efek bahagianya." Papah mencoba menurunkan suaranya -untuk membuat anaknya luluh dan mau menerima keputusan kedua orang tuanya.

"Gak. Ini bukan zaman Siti Nurbaya lagi, pah, mah. Fenly bisa cari perempuan sendiri, gak butuh bantuan perjodohan gini. Lagipula Fenly baru lulus SMP, apaan sih udah jodoh jodoh aja."

"Karena kamu baru lulus SMP, jadi kamu punya waktu banyak untuk pendekatan lebih lama sama anak Om Fauzi." Ucap mamah pelan.

"Gak, pokoknya Fenly gak mau." Tolak Fenly tegas.

"Fen, besok pagi keluarga Fauzi bakal ke sini. Papah harap kamu bisa menemui mereka dan melihat betapa cantiknya anak Fauzi." Papah mengambil smartphone miliknya santai.

"Apaan sih ah." Fenly membalikkan badannya -meninggalkan kedua orang tuanya menuju kamar.

"Pah, mamah jadi gak yakin." Bisik mamah saat Fenly sudah masuk kamar.

"Udah gak perlu khawatir, besok ketemu Chelsea juga dia bakal suka." Jari papah mulai berseluncur pada layar smartphone.

҉҉҉

"Fenly, bangun." Kalimat dan teriakan wanita paruh baya itu sudah terulang berkali-kali -diiringi ketukan pintu kamarnya, mengganggu tidur nyenyak Fenly.

"Ada apa?" Teriak Fenly malas.

"Om Fauzi sekeluarga udah dateng. Buka dulu pintunya." Lagi-lagi terdengar ketukan pintu.

"Oh." Jawab singkat Fenly, kembali menutupi badan dengan selimut tebalnya.

"Fenly, buka pintunya." Makin lama, teriakan dan ketukan pintu itu makin keras. Fenly menyerah, dia memutar kunci yang menggantung pada gagang pintu kamarnya.

"Kenapa?" Fenly membukakan pintu, terlihat mamah yang sudah berpenampilan rapi -jauh berbeda dengannya yang baru saja bangun dari tempat tidur.

"Ayok kamu siap-siap dan menemui keluarga Om Fauzi di ruang depan." Perintah mamahnya itu dibalas dengan Fenly yang menguap dan wajahnya masih mengantuk. "Kami tunggu lima menit lagi, jangan malu-maluin." Lanjut mamah dan langsung pergi meninggalkan Fenly dengan ekspresi malasnya.

҉҉҉

Fenly mengacak-acak rambutnya depan cermin. Dia yang dari awal sudah malas menemui mereka, hanya membasuh wajahnya dan membasahi sedikit rambutnya. Fenly menggunakan kaos pendek hitam polos dan celana jeansnya. Walaupun dia tidak ada niat berias saat itu, dia tetap tak ingin image orang tuanya hancur gara-gara penampilannya. Fenly mengambil smartphone miliknya dan berjalan keluar kamar.

Beberapa meter dari ruang utama, terlihat kedua orang tuanya dan tiga orang asing sedang berbincang, sesekali tertawa bahagia. Fenly memejamkan matanya, mendesah pelan. Salah seorang dari ketiga orang asing tadi menyadari keberadaannya.

Secret Admirer || UN1TY × StarBe [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang