Bab 12

525 38 7
                                    

"Apa yang harus kulakukan?" Ucap Jiah dalam hati.

Jiah semakin sulit berpikir jernih, seberapa keras ia memeras isi kepalanya tetap saja tak membuahkan jawaban. Jiah menutup kedua telinganya saat Kijoon kembali menggesekkan benda itu dengan keras dan kencang, membuat telinganya terasa mendenging. 

Kijoon semakin gila dan terus meracau memanggil namanya tiada henti, suaranya terdengar kejam dan tajam membuat siapun akan lari ketakutan, namun pada satu sisi suaranya terdengar sedih dan meminta belas kasih.

Di sisi lain Kijoon semakin gila, pikirannya kembali bertingkah tak terkendali. Kekesalannya terus memuncak, tangannya bergetar menggenggam erat tongkat golf. Menumpahkan kekesalannya pada guci besar yang kini terkoyak menjadi pecahan kecil berserakan dilantai. 

Matanya menyalang melihat sekeliling ruangan saat dirinya tak menemukan Jiah dimanapun. Kegelisahan menyerang hatinya saat tak menemukan Jiah disegala sudut ruangan. Kijoon berjalan dan berbalik mondar mandir seperti orang kebingungan, beberapa kali ia menarik dan mengacak rambutnya sendiri yang kini sudah tak berbentuk.

"Jiah.. Jiah.."

"Aarrghhh Jiah dimana kau.."

"Jiahhh.."

Teriakan demi teriakan keluar begitu saja dari mulut Kijoon memanggil-manggil nama gadisnya dengan nada frustasi, tersirat nada ketakutan yang terdengar sangat menyedihkan. Berulang kali ia memanggil namun tak kunjung mendapat jawaban dari gadisnya.

Kegelisahan menyerang dirinya. Dadanya kembang kempis, detak jantungnya berpacu dengan cepat bak sedang berlari marathon. Lagi-lagi perasaan takut kehilangan itu kini telah mendominasi dirinya, takut gadisnya akan pergi darinya, takut gadisnya menghilang dan meninggalkannya sendiri. Kijoon tak mau sendiri. 

Sudah cukup 30 tahun hidupnya berkubang pada kesepian, ia tak mau kembali jatuh kedalam lubang kesenyapan. Kijoon meraih guci kecil yang berada tak jauh dari jangkauannya, kemudian membanting benda tersebut dengan sembarang menimbulkan suara yang sangat kencang diiringi teriakan Kijoon yang melolong seperti seringala hutan.

Pecahan-pecahan kecil guci terbanting hingga didepan kaki Jiah yang membuat gadis itu semakin beringsut ketakutan. Lelehan air hangat mengalir dikedua sisi pipinya, menyesakkan dadanya yang kini bergemuruh kencang. Kemudian sebuah keputusan besar telah diambil, pilihan yang tidak dapat ia Tarik kembali.

Dengan langkah berjingkat, kaki-kaki kecil Jiah yang beralaskan sandal rumah mulai pergi meninggalkan keremangan menuju ke kegelapan.

Klik.

Suara kunci diputar diikuti tarikan pintu yang perlahan terbuka. Saat Jiah menarik gagang pintu, tiba-tiba terpaan angin kencang menerpa wajahnya, menghembuskan rambutnya yang terurai panjang.

Jiah menahan nafas sesaat, mengumpulkan semua keberanian untuk menerjang kegelapan. Pepohonan bergerak seolah memanggilnya untuk ikut bergabung diantara kawanannya. Kaki-kaki kecil Jiah mulai melangkah meninggalkan villa yang hangat menuju dinginnya hutan.

Bulir-bulir kecil salju satu persatu hinggap dipundak dan rambut Jiah. Dinginnya malam menjadi semakin dingin saat angin menerpa kulit tipisnya, namun tak mampu menyurutkan tekad Jiah untuk lepas dari genggaman Kijoon.

Kaki-kaki itu berlari menyelinap melewati pepohonan yang berdiri kokoh, menuruni setiap tanah yang terasa licin setelah terimbun salju halus yang menutup permukaannya. Jiah terus bergerak agar tubuhnya tetap mengeluarkan suhu panas, mengabaikan tubuhnya yang sedikit demi sedikit mulai terasa kebas.

Lari. Lari. Lari

Hanya itu satu kata yang terus berputar dalam pikirannya, mengalihkan semua rasa dingin, lelah dan takut. Benar, dirinya benar-benar takut sekarang. 

Berjalan seorang diri didalam kegelapan hutan, dengan segala kemungkinan buruk yang bisa saja menemui dirinya. Hanya rapalan doa yang terus terucap dari bibirnya yang kini mulai membiru. Lelehan air hangat mulai mengalir dikedua sisi matanya, membuat pandangannya sedikit mengabur.

Brukk

Tubuh Jiah beberapa kali berguling saat salah satu kakinya tersangkut akar pohon yang mencuat dipermukaan tanah. Jiah berusaha bangkit dengan menggapai pohon yang ada didepannya. Dirinya sedikit berjengit Ketika mendapati kulit dibagian tulang keringnya robek dengan daging yang sedikit menganga dan mengeluarkan noda merah pekat. 

Jiah mengerutkan dahinya saat dirinya tak merasakan sakit pada luka yang yang terbilang cukup panjang. Kemudian dirinya dengan telaten merobek gaun yang sedang dikenakannya berusaha menutupi lukanya.

Jiah menyandarkan punggungnya pada pohon, mencoba mengistirahatkan dirinya yang mulai kelelahan. Nafasnya terasa begitu sesak hembusannya terdengar satu satu dan tubuhnya pun terasa begitu kaku. 

Jiah memeluk dirinya sendiri saat pening menyerang dirinya. Jiah merapatkan kedua matanya saat benar-benar tak bisa lagi menahan semua rasa yang ada pada dirinya.

"Chogiyo, dowajuseyo.."

"Dowajuseyo.."

Tbc~

BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang