"Agashi Tuan bertanya apa makan malam anda diantar ke—"
"Aku akan bergabung bersamanya di meja makan". Putus Jiah. Ia segera beranjak dari ranjang empuk itu dan melangkah dengan ringan menuju ruang makan.
Dari tangga ia bisa menyaksikan seorang pengusaha muda nan sukses tengah bersedekap di sana. Rambutnya yang basah, menandakan sehabis mandi dan tangannya bertaut dihadapan wajahnya.
"Hai". Sapa Jiah saat tepat dihadapan Kijoon.
"Hai". Balasnya dingin. Jiah perlahan duduk di kursi dan melirik pada makanan yang terhidang dihadapannya. Hatinya berbinar seperti matanya. Rasa lapar kini menghantui perutnya. Dibalik tangannya, pria itu tersenyum tenang. Menyaksikan wajah wanitanya tersenyum kelaparan membuatnya geli.
"Kau boleh memakan semua yang kau pilih sebagai hidanganmu. Dengan syarat pilihanmu harus masuk ke dalam perutmu. Semuanya" Ucap Kijoon.
Jiah mencibir. Ia tahu maksud pria ini. Mengejek rasa laparnya. Tentu saja.
Mengambil peralatan makan, mereka mulai makan dalam diam. Dentingan sumpit dan mangkuk nasi mungkin menjadi suara ternyaring bagi keduanya.
"Aku selesai". Jiah menghabiskan nasi dimangkuk dan menu pilihannya. Meminum segelas air yang sudah tersedia di sampingnya. Mata besarnya menatap pria dihadapannya yang masih menghabiskan hidangannya.
"Kau boleh pergi ke kamarmu jika kau mau" Kijoon terlihat acuh. Tangannya tetap menyuap nasi ke mulutnya. Jiah meringis pelan. Pria itu menutup diri darinya.
"Aku sudah memutuskan untuk makan malam bersamamu, dan itu berarti bersamamu hingga kau menuntaskan rasa laparmu". Ia meluruskan punggungnya, kemudian bersandar di sandaran kursi, menatap panjang pada pria dihadapannya.
"Apa peduliku, itu kemauanmu". Kijoon terlihat acuh, membuat wanita itu menghembuskan nafas kasar. Membuat poninya bertebangan dari posisinya.
Keadaan kembali hening diantara mereka. Kijoon dengan sumpit dan mangkuknya sedangkan Jiah? Oh, apa yang harus dilakukannya dengan pria ini? Menangkup dagunya dengan satu tangan, dan mata menatap bingung pada objek bidikannya.
Kijoon menaruh mangkuk dan sumpit secara rapi. Meminum segelas air lalu mengelap bibirnya dengan serbet. Ia berlalu begitu saja.
"Ya! Bukankah aku disini?" Jiah memanggil. Menghentikan pria yang kini berjalan tak acuh padanya. Kijoon berbalik dan menatap datar. "Aku tahu kau disana. Aku sudah selesai makan dan kau sudah menyelesaikan keinginanmu. Pergilah. Tidur." Dingin dan datar. Ia kembali melanjutkan langkahnya.
"Ya! Aku disini! Kau tak bisa pergi begitu saja. Ya! Uhm KIJOON!" Jiah berteriak kesal.
Tak tahu bagaimana, pria itu berbalik dan langsung mengunci Jiah dengan cepat. Satu tangannya berada di leher wanita itu, sedangkan tangan lainnya memeluk pinggangnya dengan ketat. Menempelkan tubuhnya pada perut pria itu.
"Lee Jiah, aku tak tahu harus bagaimana lagi padamu". Berbisik pelan, Kijoon menyapukan tangannya pada leher Jiah. Wanita itu berkedip. Reaksinya begitu lambat akan aksi Kijoon.
"Pergilah. Tidur". Sekali lagi ia berbisik ditelinga Jiah. Menyalurkan aliran listrik statis pada tubuh wanita ini dan membuatnya merinding seketika.
"Aku tak akan pergi sebelum kau menjelaskan apa salahku". Membalas, Jiah berbicara dengan pelan.
"Tidur. Sekarang". Kijoon tak menunjukkan keinginan untuk mengalah. Membuat wanita dipelukannya merengut.
"Aku akan pergi jika kau mengantarku". Oh, Jiah mempunyai maksud lain?
Melepaskan pelukannya, Kijoon menarik tangan wanita itu dengan cepat. Membawanya ke tempat tujuan –kamar Jiah. "Aku tak tahu apa yang salah dengan ucapanku semalam, tapi kumohon tidurlah bersamaku malam ini". Jiah menahan Kijoon saat pria itu hendak melangkah pergi.
"Aku harus menyelesaikan beberapa perkerjaan dan kuharap kau tidur dengan tenang di ranjangmu". Kijoon benar-benar berusaha.
"Kumohon—" Sekali lagi Jiah meminta. Menatap kesal ke langit-langit, Kijoon mendorong Jiah masuk. Dan, disinilah mereka. Terperangkap dikamar 'mati' dan menatap terengah.
"Apa yang kau inginkan Nona Lee? Apa yang kau harapkan dariku?" Kijoon melangkah maju, mendekati Jiah yang berdiri tetap ditempatnya.
"Semuanya. Semua tentangmu, dan tentangku. Apapun yang kau ketahui". Menatap dengan berani pada mata elang itu, Jiah menarik napas dengan dalam.
Kijoon kembali menguncinya. Memegang leher dan menarik tubuh wanita itu rapat pada perutnya. "Apa yang ingin kau ketahui?" Bisik Kijoon. Ia menghembuskan napas tepat pada telinga Jiah dan kembali membuat wanita itu merinding.
"Kau marah padaku?" Jiah bertanya dengan bisikan. Membuahkan senyum misterius dari pria dihadapannya. "Selalu". Jawabnya singkat. Jiah kembali menghembuskan napas dan menariknya cepat.
"Kau menyesal telah memukulku?" Tanya Jiah lagi. Kijoon menutup matanya dan menghembuskan napas pelan. Mengantarkan udara hangat disekitar telinga Jiah. "Ya" Kembali ia menjawab dalam satu kata.
"Apa aku berarti untukmu?" Jiah kembali bertanya dan kali ini mereka sudah terduduk di ranjang, dengan Jiah duduk dipangkuan Kijoon. "Sangat". Kijoon kembali menjawab.
Wanita itu menutup mata dan membukanya dengan perlahan. Menatap dalam pada pria yang kini tengah menatapnya dengan bingung. "Apa aku bagian dari masa lalumu?" DEG! Jiah akhirnya menanyakan pertanyaan itu.
Mata Kijoon membulat. Tatapan terkejut bisa dilihat dari mata itu. Jiah terdiam. Ia yakin, pria ini kembali terguncang jiwanya.
"Tidurlah". Sebuah perintah dengan nada lesu muncul dari bibirnya. Jiah tak senang. Ini bukanlah hal yang ia inginkan.
"Aku ingin jawabmu dan aku tak butuh tidur sekarang". Jiah tetap berbisik. Kali ini tangannya melingkar penuh pada pria ini. "Jawab aku Kijoon-ssi". Desak Jiah.
Kijoon bangkit tiba-tiba. Menyebabkan Jiah meluncur dari pangkuannya. Tangannya menyapu rambutnya dengan kasar dan pria ini seolah kehilangan kendali.
"Apa Nara sudah memberikanmu resep? Sekertaris Yoon sudah menebusnya? Serahkan padaku! Aku rasa kau harus menggunakan obatmu sekarang". Kijoon berbalik. Mencari disetiap laci dan terlihat tak tenang.
"Aku sudah menggunakannya hari ini". Jiah berkata, seolah ingin menghentikan kelinglungan pria ini.
"Kurasa kau masih kesakitan. Kita harus memakainya rutin"
"Aku sudah memakainya dan kau tak perlu cemas. Sekarang jawab pertanyaanku!" Pekik Jiah. Kijoon berhenti. Matanya menatap Jiah nyalang. Kedua tangannya sudah mengepal dan napasnya memburu.
"Jika kau ingin memukulku lakukan itu setelah kau menjawab pertanyaanku!" Ancam Jiah.
"Apa yang kau–"
Kakinya melangkah cepat dan langsung mencium bibir ranum itu. Menghisap dan melumat dengan rakus. "Diam dan tenanglah". Kijoon berbisik disela ciumannya. Tangannya menyapu leher Jiah dan kemudian mengangkat wanita itu dalam gendongannya. Mereka kembali berciuman.
"Aku ingin jawaban, aku tak butuh ini". Jiah balas berbisik, dan bibir itu kembali bertautan.
"Apa yang kau harapkan Jiah-ya. Ini sudah diluar batas". Kijoon membalas dan kembali mereka berlanjut.
Ciuman panas itu berakhir. Kijoon bangkit pertama kali dan melepaskan diri. Tubuhnya mengunci Jiah tepat dibawahnya.
"Kau aman disini Jiah-ya. Percayalah padaku." Bisiknya. Kembali ia mendaratkan kecupan lembut pada bibir Jiah. Wanita itu mengangguk. Ia kembali gagal. Pria ini membentengi dirinya terlalu kuat, membuatnya tertipu dengan jebakan yang dibuatnya.
"Tidurlah, kau perlu istirahat". Kembali Kijoon menyampaikan perintah dari bibirnya. Mengusap pelan puncak kepala wanita itu dan menciumnya lembut.
"Selamat malam". Ucapnya dan kemudian berlalu.
Tbc~
Ceritanya mulai membosankan ga sih? Jujur aku sendiri bosen🙄🥱

KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet
De TodoCinta, masa lalu dan balas dendam menjadi pupuk dalam pertumbuhan cinta kasih dua anak manusia yang buta akan cinta..