Jiah mempercepat langkah kakinya agar tak terseret oleh Kijoon. Jiah berjalan sambil membungkuk menyesuaikan tangan kekar yang masih setia menarik kerah bajunya dengan kasar.
Kijoon membawanya memasuki ruangan diujung lorong, Jiah mengernyit mendapati ruangan dengan pencahayaan yang begitu minim dan menakutkan.
Kijoon menghempaskan tubuh Jiah pada lantai yang dingin, membuatnya jatuh terduduk. Jiah mendongak dan memperhatikan sekelilingnya, ia begitu terkejut melihat ruangan dengan cahaya temaram tersebut dipenuhi oleh berbagai alat berbahan alumunium, besi, tali, dan bahan-bahan lain yang tak begitu ia mengerti.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jiah memperhatikan gerak-gerik Kijoon yang berjalan menggapai salah satu alat yang mirip seperti cambuk untuk binatang yang menggantung didinding, lalu mengelusnya.
Kemudian Kijoon membalikan badannya dan memandang Jiah dengan tatapan yang menakutkan sambil terus mengelus benda yang digenggamnya.
Jiah terhenyak begitu menatap tatapan itu -tatapan yang haus akan nafsu. Kijoon melangkahkan kakinya satu persatu, menghampiri Jiah yang terus memundurkan tubuhnya menjauhi Kijoon yang kian mendekat.
Jantungnya berdegup dengan kencang, nafasnya memburu dengan cepat, otaknya memeras memaksanya untuk berpikir hal yang akan ia perbuat selanjutnya.
"Sepertinya kau sudah menanti untuk berkenalan dengan benda kesayanganku ini"
"Aniyo"
"Benarkah? Lihat saja, kau akan menikmatinya nanti"
Jiah mencoba untuk mundur kembali, namun punggungnya sudah menempel pada dinding. Dirinya terjebak. Jiah kembali melihat wajah itu tersenyum semakin puas saat ia sudah tak bisa lari kemanapun. Kijoon mulai mengangkat tangannya, dan..
"Akkkhhhhh...."
"Akhh.."
"Berteriaklah, aku sungguh menikmatinya"
Jiah menutup matanya rapat, ia merasakan sesuatu seperti kulit mendarat pada tubuhnya. Ia menelungkup mencoba melindungi dirinya dari serangan bertubi-tubi. Jeritan demi jeritan terus keluar seiring dengan cambukan yang tiada henti.
Jiah mencoba berlari, menghindar dari cambukan itu. Namun langkahnya tertahan saat tangan kiri Kijoon menahan tangannya. Kijoon mendorong tubuhnya kembali pada posisi yang sama.
"Kau tak bisa kabur nona, nikmatilah ini"
Cambukan demi cambukan terus saja mengenai tubuh Jiah, bahkan beberapa bagian gaun tidurnya telah robek memperlihatkan kulit putihnya yang berubah keunguan.
Tubuh Jiah bergetar merasakan sakit pada punggungnya, air matanya mengalir deras. Otaknya terus memerintahkan kedua kakinya untuk beranjak dan kabur dari tempat ini, namun tubuhnya tak bisa berkompromi. Semuanya begitu menyakitkan.
"Jebal geumanhae.."
"Jebal.."
Tangan Jiah memegang kaki Kijoon bersimpuh meminta pengampunan, berharap masih ada sedikit rasa belas kasih dalam diri Kijoon. Walaupun Kijoon sedang diliputi emosi, namun Jiah tahu disudut hatinya masih tersimpan kasih sayang.