Bab 20

344 32 9
                                    

Sana terbangun saat ketukan kasar terdengar berasal dari pintu rumahnya. Ia melirik jam yang berada tepat disampingnya. Pukul 2 pagi. Siapa yang berani bertamu pukul 2 pagi?

Melirik Jiah, Sana melihat temannya itu masih bergelut manja dengan selimutnya. Syukurlah, Jiah tak terganggu. Begitu pikirnya.

Sana bangun, dengan jubah yang ditariknya disamping ranjang, ia berjalan keluar membuka pintu. Saat pintu terbuka, gerombolan orang berbadan besar masuk dan segera menyekapnya. Mengangkatnya dengan paksa, lalu mendudukan dirinya di kursi meja makan. Sana melihat orang-orang itu mengikatkan tali pada dirinya, membuat dirinya menempel erat dengan kursi. Tak lupa, mereka juga menutup bibirnya dengan lakban hitam.

Tak lama setelah itu, ia melihat seorang pria memasuki rumahnya. Pria dengan wajah tampan namun tegas. Tatapannya memburu ke seluruh penjuru rumahnya. Satu detik menatap, ia tahu-Pria itu Kijoon.

Kijoon membuka setiap pintu dengan tergesa, lalu menutupnya dengan perlahan. Hingga ia berhenti pada pintu yang dekat dengan ruang pusat di rumah ini. Kaki pria ini melangkah cepat saat menemukan yang dicarinya. Jiah tengah terlelap di sana.

Mata Kijoon menatap Jiah khawatir. Jiahnya tidur dengan pakaian yang sama saat Jiah mengantarnya tadi pagi.

"Kau pasti kedinginan." Lirih Kijoon. Membuka selimut yang melilit tubuh Jiah, Kijoon segera melancarkan aksinya. Mengganti pakaian Jiah!

Jiah tak bergerak dan tak pula terbangun. Apakah tidur diranjang Sana membuat gadis ini merasa nyaman?

Kijoon tersenyum miris. Jiah tak pernah seperti ini sebelumnya. Radar gadis ini selalu waspada jika sudah menangkap Kijoon berada di dekatnya. Dan kali ini berbeda! Oh Tuhan, sebegitu tidak nyamankah Jiah didekatnya?

Mengganti pakaian dengan cepat. Kijoon sudah siap dengan semua rencananya. Setelah memasangkan mantel bulu hangat pada tubuh gadis itu, perlahan Kijoon mulai mengangkat tubuh Jiah.

"Jangan bangun, kumohon." Doa Kijoon.

Salah seorang pengawal bergegas menghampiri Kijoon saat melihat tuannya itu keluar dengan kesusahan membopong tubuh Jiah. Ia berniat untuk membantu, namun Kijoon melarang keras.

"Jangan. Sentuh. Gadisku!" Desisnya tajam dan membuat pengawal itu membatu seketika.

Tak lama bergerak dengan aksinya. Kijoon pergi dari rumah itu. Membawa pulang tujuannya untuk menginjakan kaki di rumah Sana. Ia menatap lembut penuh kasih pada wajah polos yang tengah tertidur pulas dihadapannya.

"Maafkan aku." Satu kata diucapkannya dengan tulus.

***

Pagi yang cerah, Jiah bangun dengan perasaan kaget dan ketakutan. Ia tidak lagi berada di rumah Sana. Ia di neraka –kamarnya di rumah Kijoon. Seketika ia teringat akan seseorang –Sana!

"KIJOON!" Teriak Jiah. Gila! Gadis ini sudah berani meneriaki nama pria yang paling disegani di rumah itu. Tak perlu menunggu waktu yang lama, pemilik nama tersebut muncul dengan sebuah nampan sedang berisi makanan dan segelas susu.

"Sarapan pagi untuk Jiah yang cantik hari ini." Ucap Kijoon.

Gadis itu hanya menatap tajam pada pria dihadapannya. Ia teliti satu persatu bagian tubuh pria itu.

"Apa Sana baik-baik saja?" Bukankah tadi gadis ini berteriak? Kenapa tiba-tiba ia menjadi lembut?

Kijoon tersenyum. Dengan tangan mengusap lembut wajah Jiah, ia layangkan sebuah kecupan singkat dibibirnya.

"Sana berada ditempat yang aman. Aku membelikannya sebuah rumah yang lebih layak untuk ditempatinya. Selain itu, mulai hari ini Sana akan bekerja di perusahaanku." Terang Kijoon. Seketika Jiah menghembuskan napas pelan. Sana aman, pikirnya.

"Kenapa kau memberikan semua fasilitas dan pekerjaan baru untuk Sana?" Tanya Jiah kemudian. Pria itu hanya tersenyum misterius. Memilih untuk mengaduk makanan pada piring, kemudian menyuapi Jiah.

"Makanlah, aku tahu kau lapar." Ucap Pria itu. Jiah terdiam. Apa yang sesungguhnya direncanakan pria ini?

"Makanlah Jiah-ya. Aku ingin kau mengisi perutmu." Lanjut Kijoon lagi. Jiah menurut. Membiarkan sesendok nasi itu masuk ke mulutnya. Membuat pria dihadapannya tersenyum lagi.

"Aku tak tahu, sudah berapa kali kau membuatku tersenyum hari ini. Saat kau tidur, saat memasak makanan untukmu, dan saat melihatmu makan dari tanganku sendiri." Ucap Kijoon. Kata-kata terdahsyat yang pernah Jiah dengar. Apa pria ini tidak tidur? Apa ada hal yang lebih menarik lagi yang bisa dilakukan pria ini, dan Kijoon memasak? Yang benar saja!

"Kunyah dan telan Jiah-ya. Aku tak ingin kau sakit." Lagi-lagi pria ini memerintah. Jiah menurut. Ia merasa bahwa semua akan terkuak jika ia mulai mengikuti aturan pria dihadapannya ini.

"Aku merindukanmu." Oh, Jiah merindukannya? Kalian percaya itu?

Kijoon hanya tersenyum dengan tangan yang tetap mengaduk makanan dipiring.

"Jangan buat permainan baru Jiah-ya. Aku merasa terkejut dengan suprise yang kau beri kemarin untuk kepulanganku." Ucap Kijoon. Ia kembali menyuapi Jiah dan secara spontan gadis itu menerima.

"Apa kau tahu bahwa satu orang telah menjadi korban akibat kejutanmu?" Lanjut Kijoon lagi. Gadis itu melotot seketika. Apa ia tak salah dengar?

"Satu korban yang baru saja dikuburkan semalam dan satu korban yang sekarang terbaring lemah bersama Yang jibsa."Lagi-lagi berita yang mengejutkan hadir dari bibir penuh senyum milik Kijoon.

"Aku tak tahu harus bagaimana lagi bersikap jika saja Sana memilih untuk menantangku malam itu." Memberi segelas air pada Jiah, Kijoon masih tersenyum.

"Kunyah dan telan sayang." Perintah namja itu lagi.

"Kau gila!" Kijoon tersenyum. Kata-kata inilah yang seharusnya Jiah ucapkan sedaritadi. Ia suka Jiah yang jujur dibanding dengan Jiah yang lembut jika dihadapannya.

"Aku tahu. Dan aku gila karenamu." Balas Kijoon.

Ia meletakkan piring yang sedari tadi berada ditangannya pada nakas. Dengan mata yang menatap tajam dan lurus pada Jiah. Pria itu maju, mendekati wajah gadis yang menatapnya penuh kebencian.

"Aku tak tahu harus bagaimana lagi denganmu Lee Jiah. Kau ingin aku bersikap lembut? Aku sudah ikuti dan kau melunjak. Kau ingin aku bersikap kasar? Kau akan menampakkan wajah ketakutanmu padaku dan aku tak suka!" Ucapnya. Jiah hanya diam. Tangannya dengan kuat menggenggam seprai.

"Apa kau ingin aku bersujud dihadapanmu dengan wajah merana dan putus asa? Itu maumu hmm?" Kijoon melanjutkan lagi ucapannya, namun Jiah tetap terdiam.

"Kalau itu yang kau inginkan, maka sebelum itu terjadi akan kupaksa kau untuk menghadiri upacara pemakaman sebanyak dua ratus tujuh puluh kali dalam sehari." Lanjutnya lagi. Pertahanan gadis itu runtuh. Air matanya jatuh seketika kala Kijoon menyatakan ancamannya. Yang jibsa, satu nama yang langsung diingatnya.

"Maafkan aku." Lirihnya. Jiah tersedu-sedu. Kijoon lagi-lagi membuatnya jatuh pada hal yang sulit.

"Maafkan aku Kijoon-ssi." Sekali lagi lirihan itu terdengar. Begitu sendu dan mengiba.

"Ucapan maaf belum seberapa Lee Jiah. Kau tak akan jera. Aku tahu itu." Kijoon berdiri dari posisinya. Dengan tangan melipat di depan dada.

"Apa yang harus kulakukan untuk membuatmu yakin?" Tanya Jiah. Penyerahan diri?

Kijoon tersenyum. Inilah kata-kata yang ditunggunya semenjak dua bulan yang lalu. Mendekatkan tubuhnya kehadapan Jiah, pria itu menyapu bersih air mata Jiah dari pipinya.

"Cantik, menikahlah denganku."

BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang