Unrequited Feelings 1

8.7K 356 58
                                    

"Hentikan! Aku mohon hentikan semua ini!!" teriak seorang gadis dari taman belakang sekolah. Dengan suara yang serak dan tangisan yang terisak, terasa sangat memilukan dan menyedihkan.

"Aku mohon, berhenti berpura-pura!" Suara itu terdengar lagi.

"Harus berapa kali aku mengucapkannya? Kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri," ucap laki-laki itu meremehkan. "Baiklah jika kau memaksa, aku bilang aku tidak mencintai kamu dan hubungan kita selama ini hanyalah kebohongan yang aku buat untuk memanfaatkan kamu!"

"STOP!!" seru gadis itu menghentikan kata-kata laki-laki tersebut. Gadis itu berteriak semakin kencang. Tangisanya semakin pecah.

"Aku lupa satu hal, kamu seharusnya sadar siapa dirimu dan siapa aku. Kita tidak akan pernah cocok sama sekali," ucap laki-laki itu santai.

"Hentikan! Ku mohon hentikan, ini semua cuma pura-pura 'kan? Kamu gak benar-benar mutusin aku 'kan? Kamu cuma mau nguji aku, iya 'kan?" tanya gadis itu dengan tersedu dan mencoba untuk tegar. "Apa yang kamu bilang tadi itu semuanya bohong, 'kan?"

Laki-laki itu menatap lekat kepada gadis tersebut. "Kamu lihat muka aku, kamu lihat baik-baik!" serunya sambil memegang pundak gadis itu. "Apa ada kebohongan di wajahku, hah!" bentaknya membuat gadis itu sontak mundur kebelakang.

"Dasar cewek bodoh, Gak punya harga diri!! Naif!!" bentaknya dan pergi meninggalkan gadis itu sendiri di sana.

Gadis itu pun luruh ke lantai tak sanggup lagi menahan berat badanya karena begitu lemas akibat menangis dan berteriak. Badannya begitu lemah dan pucat.

"Kamu jahat!! Sangat jahat!!"

***

"Aku ingin kau pergi menemuinya dan menyelesaikan tugas yang kau hancurkan. Jika tidak, kau lihat saja apa yang akan terjadi nanti."

"Annetta-"

"Sebentar, Mas," ujarnya memotong perkataan laki-laki di depannya. "Dan kau, apa kau mengerti apa yang aku katakan?"

"Iya Bu, maaf. Saya permisi." Sekretaris itu pergi dengan wajah yang memerah karena dimarah.

Annetta Bee, wanita dua puluh tiga tahun yang bekerja sebagai Direktur sebuah perusahan milik ayahnya.

"Jangan terlalu keras pada bawahanmu, An," ujar pria di hadapannya.

"Mas, jika mereka tak dikeraskan seperti tadi, mereka akan melunjak nantinya. Mas tau sendiri 'kan bagaimana pegawai perusahaan ini?"

"Mas tau, An, tapi sebaiknya kau berbicara baik-baik. Emosi tak akan menyelesaikan masalah, hmm?"

Annetta menatap kesal pria di hadapannya. "Err... Baiklah, aku tak akan berkata seperti itu lagi. Mas Revan puas?" pria itu mengangguk dan tersenyum.

"Makan siang bersama?" tawar Revan.

"Hmm.. Boleh, mas yang teraktir yah?"

"Apapun untukmu."

Annetta mengait lengan Revan dan tersenyum manja. "Mas Revan yang terbaik," ujar Annetta membuat Revan tersenyum.

Revan adalah pria yang sudah hampir enam tahun ini bersama Annetta, mendampinginya dan menemaninya kemanapun.

Kedekatan mereka tak khayal sering menjadi tontonan para karyawan-karyawan lainnya, lihat saja sekarang setiap langkah yang mereka lakukan menjadi sorotan setiap mata yang melintas.

Ya, mereka berdua begitu serasi, Annetta yang cantik dan sedikit emosional dan Revan yang memiliki ketampanan yang begitu mempesona serta sikap tenang yang ia miliki mampu untuk mengendalikan Annetta.

"Aku benci menjadi pusat perhatian, Mas tahu itu 'kan?" ujar Annetta sedikit berbisik ditelinga Revan.

"Hm. Lalu?" Revan berucap santai.

"Mas tidak lihat jika semua mata di gedung ini sedang menatap kita?" Annetta mulai kesal sekarang.

"Masalahnya?"

Annetta berhenti dan melepaskan kaitan tangannya pada lengan Revan. "Aku tidak ingin makan siang bersama Mas, aku ingin pulang saja," ucap Annetta berbalik menuju parkiran.

"Tak ingin kuantar?" tanya Revan.

Annetta menggerutu dalam hatinya.

"Dia tidak menahanku? Huh, yang benar saja!" batinnya.

"Tidak terima kasih, aku bisa pulang sendiri." Annetta berjalan semakin cepat bahkan hampir berlari. Revan yang melihat Annetta pergi bukannya terkejut, tapi dia malah terkekeh.

Revan sudah biasa menghadapi sikap Annetta yang seperti ini. Sedikit mengacak rambutnya, Revan bergerak mengejar Annetta ke parkiran.

Revan tidak tahu saja jika perbuatannya membuat para wanita histeris di gedung itu.

***

"Kamu masih marah sama mas, An?" tanya Revan pada Annetta yang duduk di hadapannya. Annetta tak menjawab dan menyibukan diri dengan menonton acara televisi di depannya.

Setelah adegan kejar-kejaran di parkiran tadi, Revan tak dapat mencegah Annetta yang pergi duluan, Revan juga tak mengejarnya karena ada urusan pekerjaan. Dan Alhasil Annetta semakin marah.

Mereka sekarang berada di Apartement tempat tinggal Annetta, Revan yang duduk di sebelah Annetta mengacak rambutnya frustasi karena sejak tadi tak dihiraukan oleh Annetta.

"Mas minta maaf jika membuatmu marah, soal masalah di kantor, bukannya Mas tidak peduli tapi, buat apa memikirkan mereka. Kita yang menjalani, jangan terlalu peduli akan sekitar dann soal Mas tidak bisa cepat menyusul dan menemuimu itu, karena ada pekerjaan mendadak yang harus Mas selesaikan segera. Sekali lagi Mas minta maaf, An. Kamu mau 'kan maafin Mas?"

Melihat Revan yang begitu merasa bersalah dan kalang kabut, membuat Annetta tertawa dalam hati. Siapa suruh membuatnya marah.

Annetta mematikan tv dan beralih menatap Revan tajam, Revan yang ditatap salah tingkah.

Annetta yang sudah tidak tahan melihat ekspresi Revan akhirnya tertawa kencang. Annetta lepas kendali. Saking begitu senangnya menertawai Revan, sudut mata Annetta sampai berair.

"Kamu-" ujar Revan keras membuat Annetta menciut. Upss, sepertinya dirinya sudah membangunkan macan tidur.

"Mas, haha. Maaf, tapi sungguh wajahmu lucu sekali tadi, haha." Annetta tertawa di sela perkataanya.

"Mas sungguh tidak suka dengan sikapmu yang seperti ini, sudah Mas bilang jangan pernah bermain-main dengan perasaan orang, Annetta!!" seru Revan meninggalkan Annetta.

Annetta berhenti tertawa, sepertinya Revan benar-benar marah sekarang.

***

TBC --
Batuk kali wkwk au ah

Unrequited FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang