Annetta terbaring di sebuah tempat yang kosong, hanya ada warna putih bersih di sekelilingnya.
Annetta bangkit, dilihatnya pakaiannya yang berwarna putih. Gaun panjang yang menjuntai menutupi kakinya yang tanpa alas. Annetta berjalan terus mengelilingi tempat itu, tanpa tahu ujungnya. Annetta mulai panik dan berlari kesana-kemari hingga ia berhenti dan menyerah.
Ia lelah. Lelah berjalan, lelah mencari, dan lelah menanti. Annetta terduduk melipat kakinya dan menyurukkan wajahnya di sela lipatan kakinya. Yang ia lakukan hanyalah berdoa, berharap keajaiban Tuhan itu ada. Ia ingin keluar dari tempat yang ia tidak tahu di mana. Ah ya, biar saja dia di sini, bukankah tidak ada satu pun orang yang menginginkannya di dunia ini?
"Annetta," panggil sebuah suara membuat Annetta mendongak perlahan.
"Annetta, kumohon!"
Annetta mulai bergerak, mengedarkan pandangan ke seluruh sisi.
Dari mana asal suara itu? Siapa yang memanggilnya dengan begitu lirihnya.
"Kumohon Annetta, sadarlah! Aku tahu semua sulit, aku tahu semua rasa sakitmu Annetta, aku tahu. Tetapi aku mohon, sadarlah!"
Annetta tahu, suara ini bukankah suara yang sama? Siapa dia, siapa laki-laki yang rela terluka untuknya?
"Kumohon!"
Air mata Annetta menetes dengan derasnya. Pilu sekali suaranya. Apa Annetta begitu berarti untuknya, sampai-sampai ia menangis dan memohon untuk Annetta?
"Aku tahu kau sudah lelah, tapi bertahanlah. Bukan untuk siapapun, jika bukan dirimu, tetapi bertahanlah untuk diriku. Untuk memberiku kesempatan membahagiakan dirimu, kumohon!"
Annetta menatapnya titik cahaya yang begitu memyilaukan mata. Perlahan Annetta mendekat seiring dengan suara yang terus memanggil namanya.
***
Terduduk di lapangan hijau yang amat luas begitu menyegarkan mata. Matahari sore yang begitu indah dengan angin sepoi yang membuat diri ingin terlelap. Bunga-bunga bermekaran seakan tiada hari esok untuk menampakkan keelokannya.
Seorang gadis kecil dengan seorang anak laki-laki berlari mengejar secara bergantian. Tawa lantang kedua bocah itu semakin membuat suasana menjadi cerah tanpa noda.
"Bahagia sekali dirimu?" Sebuah suara mengintrupsi. Kutolehkan wajahku padanya yang mengambil tempat duduk tepat di sebelahku.
"Tentu saja, sudah lama sekali rasanya tidak kembali ke kampung halaman nan indah ini."
Dia tersenyum padaku. Senyum yang tak dapat kuartikan dulu. Senyum yang tidak sempat kubalas.
"Apa yang membuatmu begitu bahagia sampai tiada henti tersenyum, kau lihat, matahari saja kalah bersinarnya dengan senyummu itu."
Laki-laki ini, betapa beruntungnya yang menjadi miliknya.
"Kenangan," kataku pelan. Kuhela napas, sedikit rasa sesak menyeruak, membuncah dalam jiwa.
Kupandang dia yang membuang pandang lurus ke depan. Wajahnya tidak berubah meski telah berlalu bertahun-tahun lamanya. Usia pun semakin bertambah. Namun, anehnya dia masih terlihat sama, seperti dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unrequited Feelings
Romansa#168 in Romance 20161212 (Pemenang The Wattys 2016 kategori Pendatang Baru) Semua yang terbaik sudah kulakukan, aku sudah berjuang, sudah melakukan apa yang seharusnya aku lakukan. Kuserahkan semua padamu, tapi tolong perhitungkan lelahku. --Annetta...