Unrequited Feelings 10

2.2K 112 4
                                        

Dalam hidup tidak ada yang bisa tebak. Kehidupanmu yang sekarang tidak akan selamanya seperti sekarang. Besok, satu jam lagi, bahkan lima menit lagipun tidak akan ada yang tahu apa yang akan terjadi.

Sekeras apapun kau berusaha untuk mempertahankannya, tetapi Tuhan tidak menghendaki, kau bisa apa? Tidak ada.

Perbuatanmu sekarang akan berdampak pada masa depanmu nanti.

Benar. Revan membenarkan semuanya. Hidupnya yang dulu baik-baik saja, hidupnya yang dulu begitu bahagia tanpa beban, sekarang kandas sudah. Jangankan dulu, bahkan satu jam yang lalu hidupnyapun masih baik-baik saja. Namun sekarang dia kehilangan semuanya. Revan kehilangan cintanya, kehilangan dunianya, dan kehilangan separuh dari nyawanya, hanya karena satu hal yang harus dia tutupi.

Revan salah karena dia berbohong. Namun tahukah dia jika kebohongan yang Revan tutupi itu adalah demi kebahagiaan dan kelancaran hidupnya. Tahukah dia?

Revan berjalan menuju kamar mandi. Badannya terasa lengket sekali setelah tiga hari tidak melakukan apa-apa selain berdiam diri di dalam kamar dan merenung atas kesalahan yang tidak dia ketahui.

Menyesal. Revan menyesal telah menutupi semuanya, Revan menyesal telah membohonginya. Namun apa daya, nasi sudah menjadi bubur. Penyesalan hanya lah penyesalan.

Aliran air membasuh seluruh tubuhnya. Setiap air yang mengalir berjatuhan menyentuh tubuhnya, Revan berdoa. Semoga saja semua berlalu dan akan baik-baik saja.

Revan mengambil handuk dan melingkarkannya pada sekitar pinggang. Revan berjalan keluar mandi dan bersiap dengan setelan kantor.

Revan men- dial nomor Dyah. Tepat di dering kedua sebuah suara menyapa.

"Revan? Kau ... Ini benar-benar dirimu?" Dyah berteriak.

Revan mendengus, Dyah sekali. Selalu saja bereaksi berlebihan.

"Tentu saja ini aku, bodoh."

"Hya! Kemana saja kau? Ya Tuhan, tidakkah kau berpikir jika orang-orang mengkhawatirkanmu? Kau lihat ponselmu, sudah puluhan kali aku menelpon tapi kau hiraukan! Ais, kau mau mati?" "

"Kau tahu, Dyah? Kau itu begitu berlebihan dan aku bukan anak kecil yang harus dikhawatirkan, mengerti? Soal kau menelpon, aku minta maaf karena ponselku mati."

Terdengar dengusan dari suara Dyah. "Yaya, terserah dirimu saja. Kau sungguh baik-baik saja 'kan?"

"Tentu saja, jika tidak mana mungkin aku bisa menelponmu.

"Lalu mengapa menelpon? Apa kau-"

"Ck. Berhenti berceloteh , Dy. Siapkan jadwal pertemuanku, aku akan ke kantor sesaat lagi."

"Ish, kau tahu aku sangat khawatir kau tidak bisa dihubungi. Menyebalkan. Akan aku kirimkan lewat email. Hati-hati di jalan, Revan."

Revan menjawab iya lalu memutuskan sambungan telpon setelah mengucapkan salam. Revan melihat pantulan dirinya di cermin. Tubuh tegapnya terpampang indah di cermin, hanya saja wajahnya sedikit berantakan. Lingkaran hitam sangat tampak di sekitar matanya.

Revan mengambil tas kantornya dan memasukan ponsel ke dalam saku celana yang ia pakai.

Meski tampak tidak sehat, tapi Revan harus bekerja. Dia tidak boleh terus larut dalam kesedihan dan meratapinya. Revan harus bekerja.

***

"Jika aku bertanya, Mas akan menjawab dengan jujur 'kan?" Revan mengernyit, bingung akan pertanyaan Annetta.

"Tentu saja, kau sendiri tahu jika Mas tidak pernah berbohong atas pertanyaanmu."

"Kalau begitu, boleh aku bertanya?" Annetta bertanya dengan menaikan satu alisnya. Revan mengangguk.

"Mas ... Sebenarnya, apa yang terjadi padaku tujuh tahun yang lalu?"

Deg.

Jantung Revan terasa terhenti. Revan refleks mundur ke belakang dan melepaskan genggaman tangan Annetta.

"Apa ini waktunya?" batin Revan.

Revan mendekat lalu mengajak Annetta menuju ruang tivi. Annetta duduk di sebelah Revan, menanti jawaban atas pertanyaannya.

"Sebelumnya Mas minta maaf, mungkin kau akan kecewa jika mendengarnya tapi-"

"Mas ... Aku butuh jawaban bukan basa-basi seperti ini," Annetta terlihat sekali tidak sabaran. "Apa yang terjadi padaku tujuh tahun lalu, mengapa aku tidak ingat apa-apa?"

"Annetta, Mas minta maaf–"

"Mas!" Suara Annetta meninggi. Revan terlalu bertele-tele. Dia butuh jawaban, pikirannya sudah kacau sekarang. Annetta lelah dengan kilasan-kilasan yang terus datang dan menyakiti kepalanya, sementara dirinya tidak bisa mengingat tentang kilasan itu.

"Mas tidak bisa menyembunyikannya lagi darimu untuk waktu yang lebih lama. Tujuh tahun lalu, kau pernah mengalami kecelakaan yang hampir merenggut nyawamu. Mas menemukanmu tergeletak berlumur darah di jalan. Dengan dibantu warga sekitar Mas membawamu ke rumah sakit lalu menghubungi kedua orang tuamu. Kau mengalami koma selama enam bulan ...."

"Koma? Maksud Mas Revan?"

Revan menghela napas lalu melanjutkan ceritanya. "Benturan yang diakibatkan dari kecelakaan yang kau alami cukup keras yang membuatmu shok dan mengalami koma. Orang tuamu menunggu selama tiga bulan, tapi karena pekerjaan jadi dia harus kembali ke luar negeri dan orang tuamu mengamanahkan dan menitipkan dirimu pada Mas. Mas selalu menunggumu, tapi ketika kau sadar kau tidak ingat dengan apa yang sudah terjadi. Namun kau ingat siapa dirimu dan hal yang lain, tapi kau tidak ingat tentang dirimu di satu tahun terakhir sebelum kecelakaan. Dokter bilang mungkin kau tidak ingin mengingat kejadian satu tahun yang mungkin masa-masa yang kau benci. Jadi itu sebabnya Mas juga tidak memberitahu tentang kecelakaan ini, karena Mas takut akan menyakitmu, " ucap Revan mengakhiri penjelasannya.

Revan menunggu reaksi dari Annetta. Lima menit berlalu tidak ada juga Reaksi dari Annetta.

"An," panggil Revan menyentuh tangan Annetta dan menggenggamnya. "Mas-" ucapan Revan terhenti karena Annetta yang tiba-tiba memeluk Revan.

Revan menghela napas bersyukur. Annetta tidak marah pikirnya. Jika reaksi Annetta seperti ini, mungkim sejak dulu dirinya akan bercerita. Dia juga tidak perlu menyimpan kebohongan selama bertahun-tahun.

Annetta memeluk Revan erat cukup lama. Sampai ketika ia melepas pelukannya dan mencium bibir Revan sekilas lalu mengucapkan kata yang Revan sama sekali tidak pernah ia bayangkan.

"Mas Revan .... " ucap Annetta menarik napas panjang. "Aku pikir hubungan kita sampai di sini. Jika Mas berpikir jika aku marah, aku tidak marah. Sama sekali tidak. Tetapi aku mengatakan jika aku kecewa, sangat-sangat kecewa."

Annetta pergi meninggalkan Revan yang mematung. Benar Revan lupa dengan itu.

Seorang wanita yang marah berbeda dengan wanita yang kecewa. Wanita marah akan kembali dengan kata maaf, lalu wanita yang kecewa? Tidak akan ada yang tahu apa yang akan terjadi.

***

Unrequited FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang