7 tahun lalu.
-
"Bian?" panggil seseorang dari belakang.
Fabian menoleh dan memutar bola mata jengah melihat siapa yang memanggil.
"Apa?" jawabnya ketus.
Orang itu mendelik dan memiting kepala Fabian kesal. "Hey! Adik kurang ajar, bersikap baiklah pada Kakakmu ini!"
"Tch, seharusnya aku yang menjadi Kakak. Aku yang terlebih dahulu lahir lima menit dari dirimu," ucap Fabian menepis tangannya.
"Kemari adik kurang ajarku, kau tahu, Mama bilang, kalau ada anak kembar yang lahir, maka yang lahir terakhir adalah Kakak. Kenapa? Karena Mama bilang, Aku, Reihan, sebagai Kakakmu membiarkan dirimu lebih dulu untuk lahir, adikku.."
"Cih, tetap saja seharusnya aku yang menjadi Kakak," kekeuh Fabian meninggalkan Reihan.
Fabian berjalan menuju taman belakang sekolahnya. Teman biasa yang ia datangi ketika jenuh. Fabian memilih duduk di bangku taman yang sedikit terhadang oleh tanaman.
"Kenapa kau begitu suka duduk di tempat sepi seperti ini?"
"Bukan urusanmu," jawab Reihan. "Lagi pula kenapa bisa kau masuk ke sekolahku dan seragam itu?" tunjuk Fabian pada pada pakaian yang dikenakan Reihan.
Reihan duduk di sisi kanan Fabian. Menyandarkan tubuhnya dan menatap lurus ke depan. Berulang kali dirinya menghela napas sebelum menjawab pertanyaan Fabian.
"Kau tahu sendiri jawabannya. Lagi pula aku bosan di rumah," ucap Reihan.
Fabian menatap Kakaknya yang berubah sendu. Tahu benar dia apa sebabnya. Reihan tidak pernah merasakan apa yang dirinya rasakan. Tidak pernah melakukan apa yang dirinya lakukan.
Mereka... berbeda.
"Ayo, pulang. Mama akan marah bila tahu kau tidak di rumah, Kak," ucap Fabian berdiri dari duduknya.
"Tak apa Bian, duduklah di sini lebih lama. Aku sudah beritahu Mama jika pergi bersamamu tadi."
"Tapi tetap saja kau tidak boleh berada di luar rumah lebih lama."
"Berhenti mengkhawatirkanku, Bian. Aku lebih kuat di banding yang kau kira." Reihan memandang tajam Fabian.
Fabian mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. Kesal, apabila Reihan sudah bersikap seperti ini. Fabian tahu Reihan menderita tidak dapat hidup bebas seperti orang normal.
"Terserah, aku akan pulang!" Fabian beranjak dari duduknya dan mulai berjalan menjauh.
"Kembali!" seru Reihan. Tapi dihiraukan oleh Fabian. "Fabian, aku bilang kembali!"
Reihan berteriak lebih keras. Dirinya marah, marah pada dirinya yang begitu lemah. Bukan dia yang memilih untuk hidup seperti ini.
Fabian menghentikan langkahnya. Menarik napas dalam sebelum berbalik kembali duduk di tempatnya tadi.
Lama mereka terdiam menatap lurus ke depan. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Angin sepoi berhembus menyejukan. Dahan-dahan ranting bergerak seiring tiupan angin.
Fabian melirik jam yang melingkar di tangannya. Hampir mendekati waktunya.
"Rei, lihat ke depan," ucap Fabian.
Reihan mengikuti ucapan Fabian dan memandang ke depan. Namun tidak ada apa-apa.
"Kau ingin menipuku? Tidak ada apa-apa di sana." Reihan mendengus kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unrequited Feelings
Romance#168 in Romance 20161212 (Pemenang The Wattys 2016 kategori Pendatang Baru) Semua yang terbaik sudah kulakukan, aku sudah berjuang, sudah melakukan apa yang seharusnya aku lakukan. Kuserahkan semua padamu, tapi tolong perhitungkan lelahku. --Annetta...