Unrequited Feelings 7

2.5K 132 2
                                    

Ketika perasaan baru datang, lalu bagaimana dengan perasaan yang lama? Bertahankah atau tersingkir?

***

Annetta memarkirkan mobilnya. Sudah hampir jam makan siang. Annetta berjalan menuju ruang kerja Revan. Saat dirinya masuk ke lift tak sengaja ia bertemu dengan Fabian.

"Fabian?" tanya Annetta.

Fabian terkekeh melihat wajah terkejut Annetta. "Ya, ini aku. Kenapa?"

"Ah tidak, sedang apa kau di sini?"

"Menemui kekasihmu, Revan," ucap Fabian membuat Annetta tersipu.

Fabian ingat sesuatu dan mengeluarkan benda itu dari sakunya. "Apa ini milikmu?" tanya Fabian menunjukan cincin perak sederhana itu.

Annetta mengambil cincin itu. "Benar, ini milikku. Aku pikir telah menghilangkannya." Annetta berujar lega.

"Aku menemukannya di kamar mandiku. Apa itu dari Revan?"

Annetta menggeleng sambil memasangkan kembali cincin itu ke jari manisnya. "Bukan."

"Lalu?" tanya Fabian.

"Entahlah, aku hanya tahu jika cincin ini sudah lama di jariku. Aku pun tidak pernah melepaskannya."

"Aku pikir itu cincin yang sama," ujar Fabian dalam hati.

"Terima kasih sudah menemukannya," ujar Annetta tersenyum begitu tulus.

Mereka berjalan berdampingan. Sekali lagi Annetta menjadi pusat perhatian dan itu membuatnya gugup. Tidak bersama Revan, tidak bersama Fabian, dirinya selalu menjadi pusat perhatian. Entah itu tatapan kagum, senang, tidak habis pikir, cemooh, marah, meremehkan, semua tatapan itu yang Annetta lihat.

Tangan Annetta bergetar, tanpa sadar dia mencengram kuat jas yang dipakai oleh Fabian.

Fabian yang sadar berhenti dan menoleh pada Annetta. "Kau kenapa? Apa sakit lagi?"

"Kalian tahu tidak kalau dia itu hanya dimanfaatkan sama pacarnya." Satu ingatan muncul di kepala Annetta. Tangannya semakin bergetar dan berkeringat.

"Benarkah? Ah ya! Kalian tahu, aku kemarin melihat kalau pacarnya bersama gadis lain. Ya ampun, malang sekali gadis cupu itu, haha." Annetta menutup telinganya yang mulai terdengar dengungan dan suara-suara yamg tidak dapat ia dengar lagi.

"Annetta! Hei, sadarlah!" seru Fabian mengguncang tubuh Annetta yang masih menutup telingannya.

"Fa- Fabian, aku mohon bawa aku pergi," ucap Annetta yang diangguki oleh Fabian. Fabian membawa Annetta kembali ke mobil dan mendudukannya.

"Sudah mendingan?" tanya Fabian melihat Annetta menghembuskan napasnya beberapa kali. Annetta mengangguk dan tersenyum lemah.

"Lagi, An. Lagi dan lagi kau membuat aku khawatir setengah mati," ujar Fabian frustasi.

"Siapa suruh mengkhawatirkan aku, aku tidak menyuruhmu," sungut Annetta.

Fabian menghela napas kasar. "Terserah kau saja," ujarnya yang diangguki oleh Annetta.

Hening. Mobil Fabian hening tak bersuara. Annetta mengerutkan dahinya. Akhir-akhir ini kilasan ingatan itu selalu muncul dalam benaknya. Annetta tidak ingat itu siapa, karena wajah-wajah dalam ingatannya itu samar-samar. Annetta menoleh menatap Fabian. Sejak bertemu dengan Fabian dia terus dilingkupi kejadian-kejadian yang tak pernah ia temui tapi, seperti pernah ia rasakan.

Entahlah, memikirkannya membuat kepala Annetta semakin pusing.

Tiba-tiba Annetta teringat sesuatu. "Bi, apa kita pernah kenal sebelumnya?" tanya Annetta menegakan punggungnya lalu menatap Fabian.

Fabian menegang. Raut wajahnya berubah. "Tidak, kita tidak pernah saling kenal sebelumnya," ujar Fabian membuat Annetta kembali menyandarkan punggungnya.

"Karena hanya aku yang mengenalmu," batin Fabian.

"Ada apa?" tanya Fabian.

Annetta menggeleng sambil merapihkan rambutnya yang sedikit berantakan. "Aku merasa kita sangat dekat, aku merasa tidak asing ketika kau menatapku, merasa jika kita pernah kenal sebelumnya."

"Mungkin kau dan aku adalah jodoh," celetuk Fabian membuat Annetta mencibir dan terkekeh.

"Ah mana mungkin," ujar Fabian. "Revan pasti akan sangat marah jika aku merebutmu darinya." Fabian tertawa kencang entah atas dasar apa, membuat Annetta mengernyit.

"Tidak waras," ujar Annetta lalu keluar dari mobil Fabian dan masuk ke mobilnya. Makan siangnya berantakan karena ingatan itu.

***

Revan sibuk dengan berbagai map-map di atas mejanya. Berulang kali dia menghela napas atas pekerjaannya yang tidak kujung berkurang.

Revan melirik jam tangannya. Sudah hampir lewat jam makan siang, tapi kenapa Annetta tidak datang menemuinya. Ya, Annetta berjanji pada Revan untuk datang makan siang bersama. Namun hingga sekarang tidak ada tanda-tanda kedatangannya.

"Revan," panggil Dyah yang memasuki ruangan Revan.

Revan hanya bergumam. Dyah mencibir lalu meletakan kotak bekal ke atas meja Revan.

"Aku tahu kau belum makan, itu sudah kubawakan. Silahkan makan," ujar Dyah dengan senyum lebar.

Revan menyingkirkan map-map di atas mejanya dan membuka bekal dari Dyah.

"Terima kasih. Apa Annetta tidak datang?"

"Aku rasa tidak, sebab aku tidak melihatnya," ujar Dyah.

"Benarkah? Padahal dirinya sudah berjanji akan makan bersama, apa ada satu hal yang terjadi?" tanya Revan sambil melahap makan siangnya.

"Entahlah Revan," ujar Dyah.

Dyah tidak tahu harus berkata apa. Hatinya terasa nyeri saat Revan terus menerus memperhatikan Annetta.

"Hei, kau siapa Dyah sampai ingin diperhatikan oleh Revan?" batin Dyah mencemooh.

Ya, siapa dirinya sampai-sampai ingin Revan perhatikan. Sahabat? Tidak seberharga itu dibandingkan oleh Annetta.

Annetta?

"Van, omong-omong kau kenal Annetta dari mana?" tanya Dyah. Benar Dyah tidak mengetahui dari mana Revan bisa mengenal Annetta sampai begitu dekat seperti sekarang.

"Annetta pernah mengalami kecelakan sekitar tujuh tahun yang lalu dan aku yang saat itu sedang berjalan melihatnya tergeletak di jalanan. Singkat cerita aku yang menolongnya dan beberapa warga sekitar."

"Kenapa kau tidak pernah menceritakannya padaku?"

"Aku tidak ingat Dyah, lagi pula ini tidak ada hubungannya dengan dirimu dan tidak ada untungnya juga bagimu jika aku memberitahu," ujar Revan menyudahi makannya.

"Ya, kau benar. Apa kecelakan waktu itu parah?"

Revan menggeleng. "Tidak, hanya luka kecil dibeberapa tempat di tubuhnya "

Dyah mengangguk dan berpamitan menuju meja kerjanya. Dyah melihat ada kebohongan dari mata Revan, tapi Dyah tidak tahu apa. Lagi pula untuk apa Revan berbohong.

Namun, Dyah yakin ada yang disembunyikan oleh Revan darinya dan mungkin semua orang. Semua diperkuat oleh tangan Revan yang bergetar tadi.

Apa yang Revan sembunyikan? Ah, sudahlah. Jika pun ada, itu tidak akan ada hubungannya dengannya dirinya.

"Berhentilah untuk peduli jika kau tidak ingin sakit hati," ujar Dyah seakan kata-kata itu adalah mantra baginya sekarangn.

***

Unrequited FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang