Matahari hampir terbenam di ufuk barat. Berbagai warna bercampur menunjukan keelokannya pada langit senja. Udara semakin sejuk. Puncak-puncak menara menjulang menantang langit mulai bergelora dengan cahaya dan warna. Saling bergelut menentukan siapa yang paling di kagumi.
Fabian menatap nanar senja itu dari puncak menara miliknya.
Lama menanti. Kapan, dan bagaimana semua akan terjelaskan dengan sebenarnya masih di ambang.
Bukan karena tak dapat mengungkapkan. Namun tak dapat memilih saat yang tepat untuk mengungkapkan sebenarnya.
Sungguh di sayangkan yang di jaga akan segera diketahui. Mau di apakan lagi, garis takdir sudah mengaturnya sedemikian rupa.
Huh. Sepertinya sudah lama sekali tidak mengingatnya. Ingin sekali rasanya Fabian memutar otak mengingat masa-masa itu. Namun ada pengahadang sukar untuk melewatinya.
"Kau tidak lelah?" Sebuah suara yang berjalan di belakang mendekat. Fabian melirik dari ujung mata.
"Tidak seberapa dari pekerjaanku selama ini, Rena," jawab Fabian sambil meneguk soda di tangannya.
Sampai di samping Fabian Rena mengambil dan meminum soda milik Fabian. "Bukan lelah itu yang aku maksut."
"Aku tahu. Dan jawabannya tetap lah sama."
"Kenapa tidak kau ceritakan saja semua, bebanmu akan sedikit berkurang dan kau tidak perlu memikirkannya lagi, atau kau ...."
Fabian memandang Rena dalam. Meski nada suaranya biasa saja, tetapi ada guratan kesedihan dalam raut wajahnya.
"Jangan mengucapkan sesuatu yang akan menyakitimu."
"Dari pada berpura-pura tidak tahu, lebih baik aku mengungkapkan apa yang aku lihat dan aku rasakan. Caramu menatapnya saat pertama kali bertemu ketika pengangkatan jabatanmu kala itu, aku yakin itu bukan kali pertama kau melihat dia."
Fabian bungkam. Hembusan angin malam mulai menusuk. Fabian menatap langit tak berbintang, polusi melenyapkannya.
Helaan napas terdengar jelas. Kesunyian menyelimuti kebungkaman mereka. Fabian dengan kebingungannya dan Rena dengan kebimbangannya.
"Fabian, aku tidak pernah memaksamu untuk berada di sisiku. Jika kau menginginkannya, kejar dan perjuangkan dia."
"Berhenti berkata-kata, kau membuatku semakin jahat."
Rena menatap Fabian sejenak lalu memeluknya. "Aku tidak akan memaksa orang yang aku cinta untuk mencintaiku. Bullshit, memang. Tapi cinta tidak harus memiliki."
Fabian terhenyuh. Saat berada di depan Rena, Fabian terasa begitu brengsek. Menyakiti orang yang dengan tulus mencintainya rasanya begitu tidak berperasaan sekali.
"Aku pergi, teguhkan hatimu dan yakin lah pada pendirianmu."
Tidak ada jawaban dari Fabian. Rena pergi dengan membawa luka. Sudah lama ia merasa jika Fabian tidak pernah benar-benar mencintainya.
Kau harus rela kehilangan untuk mendapat kebahagiaan.
***
Hari sudah semakin gelap. Cahaya lampu yang temaran menghias setiap sudut jalanan.
Annetta melirik jamnya sekali lagi. Sudah hampir satu jam setengah dia berada di tempat itu. Namun yang ditunggu tak kunjung datang. Udara dingin semakin menusuk kulit, Annetta menyesal karena tidak memakai pakaian yang sedikit lebih tebal atau membawa jaket. Lagi pula, ini bukan lah salah dirinya. Andai saja orang itu datang dengan cepat, tidak lah pasti Annetta kedinginan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unrequited Feelings
Romance#168 in Romance 20161212 (Pemenang The Wattys 2016 kategori Pendatang Baru) Semua yang terbaik sudah kulakukan, aku sudah berjuang, sudah melakukan apa yang seharusnya aku lakukan. Kuserahkan semua padamu, tapi tolong perhitungkan lelahku. --Annetta...