Unrequited Feelings 9 | Diary Biru

2.2K 108 2
                                    

Revan bergerak gelisah dalam tidurnya. Sudah hampir satu jam dia berusaha untuk tidur, tetapi tetap saja matanya tidak bisa terpejam.

"Arrgh!" teriak Revan geram.

Revan mendudukan dirinya bersandar di kepala ranjang.

Banyak sekali yang mengusik pikirannya akhir-akhir ini. Baik tentang pekerjaan, Annetta, bahkan tentang dirinya sendiri membuatnya pusing. Apalagi sudah tiga hari terkahir Annetta tidak datang menemuinya atau sekedar sms dan juga menelpon. Revan kesal, tidak biasanya Annetta seperti ini.

Revan membuka laci yang ada di nakas di samping tempat tidurnya. Diambilnya sebuah buku berwarna biru laut. Diary. Ya, benar. Diary biru itu bukan miliknya. Namun isi yang tertulis di dalamnya berkaitan dengan seseorang yang ada dihidupnya sekarang.

Sudah lama Diary itu ada padanya. Tetapi sampai detik ini belum sekalipun ia membuka bahkan membaca isi yang ada di dalamnya.

Lembaran pertama hanya sebuah quote yang ditulis dengan tinta warna-warni.

Maret, 07
Kisah kamis

Ketika kau memutuskan untuk mencintai, kaupun sudah memutuskan untuk siap jatuh dan patah akibat cinta.

Revan menyetujui isi tulisan itu. Dibaliknya lembar selanjutnya.

Maret, 08
Setitik cahaya jumat

Hei (?)
Ya, sapaan yang tidak terucap ketika aku berpapasan denganmu. Kau begitu dingin dan tak tersentuh. Namun tadi tanpa pernah ku sangka, kau menyapaku. Kau tersenyum dan menggenggam tanganku. Saat itu setitik cahaya harapan muncul untuk meyakinkanku untuk terus memperjuangkanmu.

Love him, R.

Hati Revan teriris. Kenyataan yang ingin diketahuinnya ternyata hampir saja membunuhnya. Dengan tekat dan rasa penasaran yang kuat, akhirnya Revan memutuskan untuk melanjutkan apa yang sudah ia mulai.

Mei, 10
Minggu merah jamu

2 bulan. Hampir dua bulan aku tidak menulis tentangku. Maaf, itu karena aku tidak punya banyak waktu. Namun sekarang, aku ingin sekali berbagi kebahagiaanku.

Awalnya aku merasa ragu, sikapmu yang terkadang mengenalku dengan baik dan terkadang mengacuhkanku membuatku merasa dipermainkan. Tetapi tadi ketika kau mengucapkan kata itu, aku percaya jika kau bersungguh-sungguh. Ternyata apa yang aku perjuangkan tidak sia-sia. Terima kasih.

Love Him, R.

Revan terus membaca isi dari Diary biru itu. Lembaran-lembaran yang tertulis di dalamnya penuh dengan warna. Tidak ada warna gelap sedikitpun di dalamnya. Penuh dengan kebahagiaan. Tidak ada keluh kesah, hanya cerita-cerita bagaimana orang yang menulis itu menceritakan kebahagiannya dengan kekasihnya.

Lelah, Revan pun hanya membalikan lembar demi lembar yang tertulis. Sampai lembar terakhir yang tertulispun masih dengan warna-warna cerah. Akhirnya Revan menutup Diary biru itu. Betapa penuh kebahagiannya orang itu menulis kisahnya. Sedikit kecewa memang, tapi dia harus apa? Dia orang yang mungkin kesekian kalinya hadir di hidupnya.

Revan hendak menaruh kembali Diary biru itu ke dalam laci nakas. Namun terhenti ketika sesuatu menyembul dari buku itu. Revan mengurungkan niatnya dan kembali memangku Diary itu. Dengan perlahan ia membuka lembaran demi lembaran mencari letak benda itu. Dan dapat. Sesuatu itu adalah tiga tangkai bunga mawar merah yang sudah kering dan membentuk seperti lembaran karena tertimpa buku. Warnanya pun sudah menghitam dan layu. Revan menggeser bunga itu dan terlihat tulisan dengan tinta hitam. Tulisannya berbeda, sedikit berantakan dan coretan sana-sini. Revan mengernyit membacanya.

November, 10
Sabtu kelam tertancap duri

Kau, inikah akhirnya? Kenapa tiba-tiba? Seharusnya kau mengucapkan selamat atas hubungan kita yang keenam bulan. Seharusnya aku menerima kejutan yang membuatku bahagia, bukan kejutan yang membuatku terluka. Keputusanmu begitu tiba-tiba. Aku sakit, apalagi ketika kata-kata kasar itu meluncur bebas dari bibirmu. Kau tahu, kau menyakitiku, kau membuatku sakit.

Hate Him, R.

Revan terhenyak membaca lembar dengan tinta hitam itu. Menyedihkan. Tetapi yang membuat Revan terdiam adalah kata-kata dibalik lembar itu.

November, 11
Minggu permohonan

Jika kau memberiku 1 permintaan, aku akan meminta hal ini. Tidak! Aku tidak akan meminta kembali padanya. Aku ingin ... Aku sangat ingin melupakannya. Melupakan waktuku yang hambir 1 tahun terbuang sia-sia bersamanya. Hanya itu, kumohon kabulkan.


***


Revan terbangun dari tidurnya saat matahari bersinar dengan teriknya. Revan tertidur saat membaca Diary biru itu.

Revan bangkit dari tidurnya saat mencium aroma dari luar kamarnya.

"Pagi Mas Revan," sapa Annetta dengan senyum lebarnya.

Revan mengucek matanya, benarkah itu Annetta?

"Ini aku, tumben sekali Mas Revan kesiangan," ujar Annetta mendekat ke arah Revan dan mencium pipinya.

"Annetta? Kau ... Sedang apa di sini?" tanya Revan bingun.

"Mas tidak suka aku di sini?"

Revan hanya diam tidak tahu harua berkata apa. Dia cukup terkejut dengan kedatangan Annetta yang tiba-tiba.

"Baiklah, aku rasa Mas Revan sungguh tidak menginginkan aku di sini, kalu begitu aku akan pergi." Annetta kembali ke dapur dan mematikan kompor lalu meraih tasnya.

Revan mengumpulkan kesadarannya, sebelum ia membuat semuannya jadi berantakan.

"Tidak Annetta, bukan itu yang Mas maksud," ucap Revan meraih tangan Annetta. "Mas hanya bingung kenapa dirimu bisa di sini sedangkan beberapa hari lalu sama sekali tidak ada kabar." Revan menarik Annetta ke dalam pelukannya.

"Mas khawatir akan dirimu, Mas tidak bisa tidur dengan tenang karena dirimu. Kau kemana saja, An?" Lirih Revan di ceruk leher Annetta.

Annetta melembut. Ia mengusap punggung Revan dan mengelus rambut Revan.

"Maaf Mas, aku tidak bermaksud membuatmu khawatir, hanya saja aku butuh waktu untuk menenangkan pikiranku beberapa hari ini."

"Mas takut kamu pergi, An."

"Aku tidak akan pernah pergi, kecuali ada sesuatu hal yang mengharuskanku pergi, karena kecewa mungkin," ucap Annetta membuat Revan menegang. Annetta melepaskan pelukannya dan menangkup wajah kusut Revan. Penampilan mereka sebenarnya tidak jauh berbeda, mereka sama-sama berantakan.

"Jika aku bertanya, Mas akan menjawab dengan jujur 'kan?" Revan mengernyit, bingung akan pertanyaan Annetta.

"Tentu saja, kau sendiri tahu jika Mas tidak pernah berbohong atas pertanyaanmu."

"Kalau begitu, boleh aku bertanya?" Annetta bertanya dengan menaikan satu alisnya. Revan mengangguk.

"Mas ... Sebenarnya, apa yang terjadi padaku tujuh tahun yang lalu?"

Deg.

Jantung Revan terasa terhenti. Revan refleks mundur ke belakang dan melepaskan genggaman tangan Annetta.

"Apa ini waktunya?"

***

Hai hai, seperti yang tadi aku katakan tadi aku akan publish capter ini dan tadaaaaa aku update. Wkwk

Aku gak tahu kapan bisa update lagi, karena gak ada kuota. Ini aja aku pakai wifi di sklh. Poor me:(


Unrequited FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang