Suara detak jam terdengar jelas.
Fabian menatap papan tulis yang penuh dengan catatan. Ruang kelas sudah kosong, teman-temannya sudah pulang sekitar dua jam yang lalu. Namun, Fabian tidak beranjak dari duduknya sama sekali.
Pikirannya berkecamuk. Semua tentang Annetta.
Fabian menelungkupkan kepalanya. Sejak dulu tidak ada pengorban berarti yang dilakukan Fabian untuk Reihan. Akan tetapi, berat rasanya kali ini untuk merelakan.
Fabian tidak bisa mengorbankan hatinya untuk Reihan. Namun harus.
Semua impiannya akan musnah.
Dulu, saat pertama kali Fabian melihat Annetta, Fabian sudah jatuh cinta untuk pertama kalinya. Fabian selalu memimpikan jika suatu saat nanti, ketika dirinya sudah dewasa dia akan menikahi Annetta, berumah tangga, dan mempunyai anak.
Cukup jauh memang untuk berpikir seperti itu sementara dia masih bersekolah. Namun tidak apa. Semua perlu dipikirkan dan dipertimbangkan.
Fabian menghembuskan napas kasar. Lalu, bangkit dan meraih ransel merah miliknya, kemudian berjalan meninggalkan kesunyian.
Lorong sekolah sudah sangat sepi. Fabian mencoba keberuntungan dengan melewati taman belakang. Fabian tertawa dalam hati, Annetta pasti sudah pulang. Benar, tidak ada siapa-siapa di sana. Dengan langkah berat Fabian melangkahkan kalinya menuju parkiran. Namun langkahnya terhenti melihat seseorang yang tengah terduduk di bagian depan gedung sekolahnya.
Fabian meraih ponsel yang ada di sakunya saat merasakan getaran yang berulang.
"Hallo, Rei?"
"Bian? Kau di mana?" tanya suara di seberang.
"Di sekolah, kenapa?"
"Ehei, kau ingin memulai start lebih dulu, eh? Coba kutebak, kau pasti sedang memandangnya sekarang, benar?"
Fabian diam beberapa saat.
"Tidak, aku tidak bertemu dengannya hari ini. Mengapa menelpon?"
"Oh ya? Tidak, hanya saja tadi Mama berpesan untuk jangan pulang larut."
"Aku tahu. Ada lagi?"
"Kau tahu Bi, aku sangat ingin menjadi seperti dirimu. Sayangnya aku tidak..."
Fabian mejamkan matanya, ini yang tidak ia sukai dari Reihan. Dia selalu memikirkan hal-hal yang tidak seharusnya ia pikirkan.
"... Andai aku bisa seperti dirimu. Bahagia sekali pastinya. Kau beruntung, Bi."
"Sudahlah, kau masih punya banyak kesempatan untuk menemuinya. Aku tutup."
Fabian memutuskan sambungan telpon tanpa menunggu persetujuan dari Reihan. Jika tidak Reihan pasti akan terus mengoceh.
***
Fabian berdiri di sebelah Annetta.
Apa yang harus ia lakukan sekarang? Bodoh sekali, seharusnya dia langsung pulang tadi.
"Hai?" sapa Annetta membuat Fabian gelagapan.
"Ha-hai."
"Menunggu jemputan?" tanyanya menoleh pada Fabian lalu kembali melihat ke depan. "Kau tahu, aku sudah lama berdiri di sini tanpa kepastian. Huh, melelahkan sekali rasanya. Hari juga sudah mulai senja, tapi jemputanku belum juga datang. Menyebalkan sekali, bukan? Aku tidak ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unrequited Feelings
Romance#168 in Romance 20161212 (Pemenang The Wattys 2016 kategori Pendatang Baru) Semua yang terbaik sudah kulakukan, aku sudah berjuang, sudah melakukan apa yang seharusnya aku lakukan. Kuserahkan semua padamu, tapi tolong perhitungkan lelahku. --Annetta...