Fabian bergerak dalam tidurnya. Annetta berbalik dan melihat ada kegelisahan di wajah Fabian.
Namun setelah itu Fabian kembali tidur dengan nyaman. Annetta melirik jam di nakas. Sudah jam setengah delapan pagi, Fabian kesiangan. Annetta tertawa dalam hati, pasti Fabian akan sangat marah padanya karena tidak membangunkannya. Ah! Kenapa dirinya harus membangunkan Fabian? Bukankah selama ini Fabian tinggal sendiri dan itu berarti dia sudah terbiasa bangun tanpa ada yang membangunkan.
Annetta tertawa lagi. Fabian berbeda dengan Revan. Revan begitu tenang dalam mengendalikan emosi, sedangkan Fabian suka berubah-ubah.
Tanpa Annetta sadari tangannya sudah merayap naik ke wajah Fabian. Menelusuri garis wajah Fabian dengan jadi telunjuknya. Tiba-tiba Annetta berhenti pada mata Fabian yang tertutup. Annetta seperti mengenal mata ini meski tertutup, Annetta sungguh pernah melihat wajah ini jauh dari sebelum pertemuan di acara peresmian jabatannya kemarin. Namun Annetta tidak bisa mengingat dengan jelas. Dirinya hanya tahu bahwa berada di sisi Fabian bukanlah sesuatu yang asing.
"Menganggumi ku, eh?" Annetta gelabakan saat Fabian tiba-tiba membuka mata.
"Si- siapa? Aku tidak menganggumimu," ucap Annetta terbata.
Tiba-tiba Fabian mendekatkan wajah mereka hingga menyisahkan beberapa senti saja. Dekat, sangat dekat.
"Benarkah?" tanya Fabian menyingkirkan helaian rambut yang menghalangi wajah Annetta.
Annetta mengerjap. Jantungnya berpacu lebih cepat. Ais, kenapa dengan dirinya? Jika Revan yang melakukan seperti sekarang pasti dirinya akan membalas atau bahkan menerjang Revan dari ranjang.
"Aku tahu aku tampan, tapi berhenti memandangiku seperti itu." Sebuah ingatan melintas di benak Annetta.
"Siapa bilang? Aku hanya menatap wajahmu, mencari tahu kenapa begitu banyak gadis yang mengagumimu di sekolah ini." Lagi, ingatan itu kembali melintas. Dua orang anak remaja laki-laki dan perempuan sedang duduk berhadapan di bawah pohon rindang, tapi wajah mereka terlihat samar-samar di ingatannya.
Annetta menekan kepalanya dengan kedua tangannya. Sakit sekali kepalanya. Fabian yang menyadari langsung bangkit dari tidurnya.
"Annetta? Hei, kau dengar aku Annetta? Kau kenapa?" tanya Fabian panik melihat Annetta merintih kesakitan.
"Itu karena aku tampan bodoh, memangnya dirimu gadis jelek yang hanya bergelut dengan buku-buku di perpustakaan."
"Sungguh omonganmu jahat sekali."
Annetta mencengkram lengan Fabian begitu erat. Ini pertama kalinya dirinya marasakan sakit seperti itu. Annetta membuka matanya, wajah panik Fabian lah yang ia lihat pertama kali.
Fabian menghela napas pendek. "Sungguh Annetta, kita baru bertemu beberapa kali dan kau sudah membuat aku khawatir untuk kesekian kalinya. Kau mau mempermainkan aku, huh?!" bentak Fabian membuat Annetta terlonjak.
Tidak dipungkiri jika Fabian benar-benar merasa panik. Rasanya begitu tersiksa saat melihat Annetta merasakan sakit seperti itu. Benar, tidak seharusnya dirinya merasakan khawatir yang amat sangat seperti tadi.
"Bi?" panggil Annetta takut.
Fabian memejamkan matanya menghela napas, mengontrol dirinya. "Maaf, aku hanya khawatir. Apa kau baik-baik saja? Apa masih sakit?" tanya Fabian memegang pundak Annetta.
Annetta menggeleng dan tersenyum. "Aku baik-baik saja dan kau tidak perlu khawatir, Bian."
Fabian mengangguk lalu merapihkan rambut Annetta. Mata mereka bertemu. Fabian mendekatkan wajahnya ke Annetta. Annetta tidak tahu mengapa dia hanya diam saja, bahkan Annetta menutup matanya sekarang. Wajah mereka semakin dekat, Annetta bahkan bisa merasakan hembusan napas Fabian di wajahnya.
Saat bibir Fabian hampir menyentuhkan bibirnya, Annetta berujar. "Bi, sekarang sudah jam delapan." Sontak Fabian menjauh dan melihat jam di nakas dan benar saja sekarang sudah jam delapan lewat.
"Ya Tuhan, kenapa kau tidak memberitahuku sejak tadi!" Fabian sontak turun dari ranjang dan bergerak cepat menuju kamar mandi.
Annetta terkekeh, lalu mengingat apa yang barusan terjadi. Mungkin jika dia tidak berbicara seperti itu, bibir sexy Fabian pasti sudah menempel sempurna di bibirnya. Annetta tersenyum meraba bibirnya.
Ah! Sepertinya dirinya sudah mulai gila sekarang.
***
Fabian mengajak Annetta untuk sarapan di luar. Fabian sempat marah karena Annetta tidak memberitahunya jika sudah lewat jam dari seharusnya. Namun Fabian mengingat betapa Annetta merasakan sakit tadi dan kembali bersikap lembut.
"Bian, kenapa tidak sarapan di apartementmu saja?"
Fabian menoleh sekilas lalu kembali fokus mengemudi mobilnya. "Bahan-bahan masakan di apartementku sudah habis dan jika kita membeli dan memasak itu akan membutuhkan waktu yang lama. Jadi sebaiknya kita cari tempat makan saja," ucap Fabian.
Annetta mengangguk. "Padahal aku menyukai masakanmu," ujar Annetta membuat Fabian menoleh.
"Masakanmu adalah masakan kedua yang aku suka setelah masakan Mas Revan. Mas Revan begitu pandai memasak, aku saja yang perempuan kalah."
Sedikit rasa kecewa muncul di hati Fabian saat Annetta memuji Revan.
Fabian memarkirkan mobilnya dan mengajak Annetta masuk ke restaurant dan memesan makanan.
"Kenapa kau memanggil Revan dengan sebuatan Mas?" Fabian bertanya ragu.
"Mas Revan lebih tua dua tahun di atasku. Usianya sekarang 25 tahun dan aku 23 tahun, jelas saja aku harus memanggilnya Mas," jawab Annetta lalu menyendokan makanan yang ia pesan ke dalam mulutnya.
"Ah begitu. Apa perlu aku juga memanggil Revan dengan sebutan Mas?" gurau Fabian membuat Annetta hampir tersedak. Annetta tertawa.
"Terserah kau saja, tapi omong-omong usiamu berapa?"
"Aku 23 tahun sama sepertimu," ujar Fabian.
"Benarkah? Kupikir kau sudah 30 tahun ke atas dilihat dari dirimu yang suka marah-marah." Annetta tertawa setelah sukses membuat wajah Fabian merah padam.
"Aku tidak setua itu Annetta!" desis Fabian.
"Haha, Bi. Ya Tuhan kau lucu sekali, lihat kau saja sekarang marah sampai wajahnu memerah seperti itu." Annetta tertawa sangat keras membuat pengunjung lain melihat ke arahnya dan tentu saja Annetta tidak suka menjadi pusat perhatian.
Annetta menunduk diam. Membuat pengunjung kembali sibuk dengan makanan mereka.
"Kenapa? Merasa bersalah setelah mengataiku?" tanya Fabian dengan nada mengejek.
Annetta mendelik, menatap tajam Fabian. "Siapa bilang? Aku hanya tidak suka menjadi pusat perhatian seperti tadi. Kau sama saja seperti Mas Revan, sama-sama menyebalkan!"
"Bocah!" ejek Fabian. Annetta membuang mukanya.
"Annetta?" panggil seseorang.
Annetta menoleh dan langsung bergerak ke arah suara. "Mas Revan?" Annetta memeluk Revan kuat.
Revan menagngguk, lalu mengecup kening Annetta lama. Revan belum menyadari kehadiran Fabian, karena dia duduk membelakangi pintu masuk.
Fabian menghela napas. Revan tidak akan lepas dari Annetta.
Ketika rasa itu mulai hadir dan membawamu melambung, lalu seketika jatuh dan terhempas. Kau tahu rasanya? Ya, rasanya begitu sakit.
***
Aih dede buat apa ini wkwk enjoy yah
See you next part:)
Salam
Ers^
KAMU SEDANG MEMBACA
Unrequited Feelings
Romance#168 in Romance 20161212 (Pemenang The Wattys 2016 kategori Pendatang Baru) Semua yang terbaik sudah kulakukan, aku sudah berjuang, sudah melakukan apa yang seharusnya aku lakukan. Kuserahkan semua padamu, tapi tolong perhitungkan lelahku. --Annetta...