Unrequited Feelings 12

1.9K 109 3
                                    

Waktu terus berjalan. Hari demi hari terlewati tanpa kejelasan. Tidak ada kabar sedikitpun dari Annetta.

Apa ini akhir dari semuanya? Apa ini akan menjadi akhir dari pengorbanan dan perjuangannya? Apa semua sia-sia?

Revan amat-sangat tidak siap jika harus kehilangan Annetta yang dia cinta. Sudah dari masa sekolah dahulu ketika ia secara diam-diam mencuri pandang ke arah Annetta sampai dia bisa memilikinya.

--

"Mila tunggu!" teriak seorang gadis dengan rambut cepolnya yang membuat dirinya begitu manis.

"Annetta? Kenapa?"

"Kau tahu," jeda Annetta memegang pundak Mila. "Apa sekolah kita berhantu?"

"Maksudmu?"

Revan bersembunyi di balik tembok saat Annetta melihat kesekeliling koridor.

"Sebenarnya sudah lama aku merasakannya, tapi beberapa hari ini tampak semakin jelas. Kau tahu aku diikuti oleh hantu! Hantu, Mila!" teriak Annetta bersembunyi di belakang Mila.

Revan hampir saja menyemburkan tawanya saat mendengar suara panik Annetta.

Mila melihat sekeliling dan Revan tertangkap oleh penglihatan Mila. Dengan cepat Revan menaruh jari telunjuknya di depan bibir, memberi syarat pada Mila untuk tetap diam dan pura-pura tidaj tahu. Mila dengan senang hati mengangguk tanda mengerti.

"Ha? Yang benar saja, mana ada hantu di tengah siang bolong seperti ini!"

"Ish, Bodoh!" seru Annetta menoyor kepala Mila. "Jika tidak siapa yang punya kerjaan setiap hari menguntitku?"

"Mana aku tahu." Mila mengedikan bahunya lalu berhenti dan menatap Annetta.

"Mungkin saja... Hantu!" teriak Mila lalu berlari meninggalkan Annetta.

"Aaaaa! Dasar Mila, kampret!"

---

Revan tertawa miris mengingat kejadian dulu.

Dirinya adalah kakak kelas Annetta, sekaligus menyukai Annetta sejak awal Annetta masuk ke Sma-nya.

Revan berjalan menuju ruangannya yang di dalamnya sudah ditunggu oleh Dyah dengan cemas.

"Re?" panggil Dyah pelan.

Revan tersenyum seadanya. Setelah menaruh tas, Revan melepas jas dan sedikit melonggarkan dasinya sambil membuka berkas-berkas yang sudah menumpuk karena di tinggal bos.

"Kau kembali lah bekerja, aku bisa mengerjakan tugasku sendiri, Dy."

Revan berbicara tanpa melihat Dyah. Keadaannya sangat kacau sekarang dan dia tidak ingin sahabatnya itu jadi lebih khawatir.

"Bagaimana bisa aku meninggalkanmu, jika keadaanmu sendiri saja seperti ini, Re." Dyah berjalan mendekat dan berdiri di depan Revan.

"Aku baik-baik saja. Aku rasa kau harus sedikit mengurangi sikap berlebihanmu itu!"

"Aku tahu jika Annetta begitu berarti untuk hidupmu, tapi kau juga harus memperhatikan dirimu, Re. Kau bisa jatuh sakit!"

"Kau tidak tahu!" sergah Revan cepat.

"Aku tahu, Re, Aku tahu!" Dyah memegang pundak Revan. "Aku tahu semua rasa sakit itu!"

Revan melepas berkas yang ada di tangannya dan menatap Dyah tajam.

"Kau tidak pernah merasakan di tinggal oleh orang yang kau cinta, Dy! Aku cinta Annetta, tapi dia malah pergi meninggalkanku tanpa mendengar penjelasan dariku sesikitpun. Kau tidak pernah merasakannya!"

Setetes air mata jatuh melewati pipi Dyah. Sebegitu cintanya Revan pada Annetta sampai-sampai mengorbankan diri seperti ini.

Seakan tersadar pada kenyataan pahit yang menohoknya untuk segera bangkit. Dyah memeluk Revan, memberi sandaran untuk memberi kekuatan padanya.

"Aku memang tidak pernah merasakannya, tapi rasa sakit karena orang yang kau cinta tidak pernah menganggapmu ada lebih menyakitkan, Re. Setidaknya kau pernah memiliki dan dianggap ada olehnya."

Hati Dyah terasa teriris saat melihat Revan yang bergetar. Cinta dapat membuat siapa saja terlihat lemah. Cinta membuat orang terlihat tidak berdaya dan merana.

"Lalu aku harus apa?" Revan melepas pelukan Dyah dan berdiri.

"Kau tidak harus melakukan apapun, kau hanya perlu menunggu sampai waktu memberikanmu kesempatan untuk menjelaskannya. Namun, selama itu, kau harus bersikap tegas. Kau sudah bertahun-tahun bersamanya, yakin lah jika semua akan kembali seperti semula."

"Kau benar, Dy. Aku yakin sekali kau ingin tertawa melihat keadaanku yang sekarang," ucap Revan sambil tertawa renyah.

Dyah memalingkan wajahnya. Mengubah ekspresi seperti biasa. Seperti ini saja sudah cukup, setidaknya dia dapat memberikan kekuatan kepada orang yang ia cinta. Setidaknya.

"Tidak. Kau tetap sama seperti dulu, anak laki-laki yang cengeng," ejek Dyah mengacak rambut Revan. Revan mendelik dan ikut mengacak rambut Dyah.

"Hya! Revan, lepas! Aku masih ada pekerjaan setelah ini."

"Salah siapa yang meledekku!" seru Revan.

"Revan, stop!" seru Dyah. "Kita sudah dewasa, ingat. Jadi, hentikan semuanya."

Revan berhenti dan menyeringai ke Dyah.

"Sepertinya tadi ada yang mengatakan jika aku anak-anak, kalau begitu. Ayo kembali ke masa itu."

Sebelum Dyah sempat melarikan diri, Revan sudah terlebih dahulu menarik Dyah dan mengacak rambut Dyah bahkan menggelitikinya

Bahagia sekali. Andai saja waktu dapat berhenti, Dyah akan sangat berterima kasih.

"Bahagiaku bukan karena bersama orang yang aku cinta. Bahagiaku bukan pula karena memilikinya. Karena bahagiaku adalah ketika aku bisa melihatnya bahagia."

***

Annetta ingat semuanya sekarang. Semua, tanpa terkecuali.

Dadanya sesak sesaat setelah mengingat setiap ingatan itu. Seharusnya dia tidak perlu mencari tahu terlalu jauh. Seharusnya dia tidak perlu bersusah payah untuk mengingat. Biar saja semua ingatan itu terkubur oleh kebencian. Seharusnya.

Bukan lah kenyataan yang menyakiti, tapi rasa keingintahuan yang terlalu jauh yang menghadapkanmu pada rasa sakit yang yang amat dalam.

Annetta menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Menyembunyikan rasa kesal atas perbuatannya.

Annetta menyesal telah menuduh Revan yang tidak-tidak. Annetta menyesal telah menyakitinya. Tidak seharusnya dia mengambil keputusan dengan cepat. Seharunya dia mendengarkan perkataan Revan atas ingatan yang menyakitkan ini. Seharusnya.

Annetta benci sekali keadaan seperti ini.

Kenapa terlalu banyak kata seharusnya sekarang?

Tok. Tok

"Masuk." Serak sekali. Suara Annetta terasa berat. Sebab sudah beberapa hari ini dia mengurung diri dan tidak mengucapkan sepatah katapun kecuali tangisan

"Permisi, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?"

"Bisa kau sebutkan jadwalku hari ini?"

Ani. Sekretaris Annetta mengangguk dan  memperlihatkan jadwal pada Annetta.

"Mbak Annetta ada pertemuan dengan investor dari perusahaan ASRIL dan kunjungan ke pabrik di Bandung dan juga pertemuan dengan Bapak Fabian untuk melanjutkan pembicaraan mengenai kerja sama yang tertunda."

"Hm. Cancle semua dan atur ulang jadwalnya, saya ada urusan hari ini."

"Baik, Mbak." Ani permisi keluar dan menyelesaikan tugasnya. Sedangkan Annetta kembali terdiam dengan diselimuti keheningan.

Annetta meraih tas dan ponselnya, dia harus menyelesaikan semuanya. Dan juga mencari tahu siapa dia.

"Aku ingin kita bertemu, sekarang di tempat di mana terakhir kali kita bertemu." Annetta dengan cepat mematikan ponselnya tanpa menunggu balasan.

***

Unrequited FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang