Unrequited Feelings 4

3K 169 16
                                    

"Kau baik-baik saja? Apa kepalamu sakit lagi?" tanya Fabian khawatir.

Annetta menggeleng. "Apa kita kenal sebelumnya?"

***

"Uhuk!" Fabian tersedak oleh makannannya sendiri.

"Hei, pelan-pelan," ujar Annetta menepuk pundak belakang Fabian.

Fabian terdiam merasakan tangan Annetta di pundaknya. Darahnya berdesir. Ya Tuhan, bagaimana bisa hanya dengan sebuah sentuhan membuat jantungnya hampir lepas seperti ini?

Namun, Fabian tersadar dan kembali mengingat apa yang ditanyakan oleh Annetta tadi.

"Fabian, apa kau sakit?" tanya Annetta menyentuh kening Fabian. Fabian menepis tangan Annetta dari wajahnya lalu berdiri.

"Aku benci pada orang yang peduli pada diriku!" Suara Fabian terdengar begitu dingin dan menusuk.

Annetta terdiam seribu bahasa. Ia tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Satu fakta yang ditemukan oleh Annetta, bahwa Fabian mudah tersinggung. Namun, apa yang membuat Fabian tersinggung? Apa ada yang salah dari perkataannya tadi, Annetta rasa tidak.

Ya sudahlah, mungkin Fabian sedang dalam masa periode haha.

Matanya rasanya begitu berat. Mungkin efek dari obat yang baru saja ia minum. Annetta bingung harus tidur di mana, karena tidak mungkin Annetta kembali ke kamar Fabian di saat pria itu sedang tidak dalam mood yang baik.

Annetta berjalan menuju sofa di depan tv. Mata Annetta langsung terpejam. Namun beberapa detik kemudian tubuhnya serasa di angkat.

"Fabian apa yang kau lakukan?!" seru Annetta.

"Diamlah. Kau tidak ingin 'kan tulang mu patah tidur di sana," ujar Fabian membawa Annetta ke dalam kamarnya.

"Kenapa kau mudah sekali berubah. Tadi kau marah lalu sekarang kembali perhatian. Ya, meski masih dengan wajah mengerikan itu." Fabian menurunkan Annetta ke ranjang dan menyelimuti Annetta sampai ke dada. Fabiam diam saja lalu berjalan menuju sofa di dalam kamar.

"Apa kau tidur di sana?" tanya Annetta takut.

"Menurutmu?"

Annetta mengangguk lalu menggeleng. "Bian, tapi tadi kau bilang jika tidur di sofa akan mematahkan tulangku. Lalu sekarang mengapa kau tidur di sana?"

"Itu tidak berlaku untukku, Annetta." Fabian menjawab dengan mata terpejam.

"Fabian, ta- tapi kau akan... Apa kau baik-baik saja?" Fabian mendengus lalu bangun dari tidurnya dan melompat ke ranjang. Annetta terkejut dengan pergerakan Fabian yang tiba-tiba.

"Kau puas sekarang?" tanya Fabian menarik selimut sebatas dadanya. "Sebaiknya kau tidur, besok aku akan mengantarmu pulang."

"Ba- baiklah," ujar Annetta terbata. Ya Tuhan ada apa dengan dirinya. Mengapa ia harus gugup seperti ini.

Fabian membuka kembali matanga lalu mengecup kening Annetta. "Good  nite." Fabian kembali pada posisinta dan terlelap.

Dia tidak tahu saja jika perbuatannya membuat Annetta tidak bisa tidur. "Sial!" umpat Annetta. Sepertinya dirinya tidak akan bisa tidur dengan nyenyak malam ini.

***

"Revan?"

"Hm?"

"Revan?!" seru Dyah dengan nada lebih tinggi.

Revan menghela napas pendek. "Apa Dy?" tanyanya menoleh pada Dyah. Dyah tersenyum lalu mendekat ke Revan.

"Uhmm, hari ini terakhir kita di sini 'kan?" tanya Dyah hati-hati.

"Ada yang tidak beres jika Dyah sudah berbicara seperti ini," batin Revan. "Aku punya firasat tidak baik. Katakan kau mau apa?"

Dyah tersenyum lebar. "Temani aku berbelanja, kau mau 'kan?"

"Memangnya ada pilihan untuk aku menolak, hm?" Revan berdiri membereskan barang-barangnya.

Revan memang pergi bersama Dyah. Selama dua minggu terakhir Dyah menemani Revan dalam menyelesaikan pekerjaannya.

"Ayo!" Revan berjalan terlebih dahulu di depan Dyah. Dyah mengangguk dan menyusul di belakang.

Mereka berjalan di sekitar hotel tanpa menggunakan kendaraan, karena sepanjang pinggiran jalan banyak toko-toko yang menjual berbagai macam belanjaan.

Dyah sibuk dengan dunianya, sedangkan Revan hanya berdiri di dekat pintu masuk mengamati Dyah yang sedang berbelanja. Namun saat Revan berpindah pandang, Revan melihat sebuah kalung yang menarik perhatiannya. Revan mendekat dan memerintahkan pelayan toko itu untuk mengambil kalung yang ia lihat tadi.

Sebenarnya kalung itu sederhana sekali. Kalung dengan bentuk air mata. Yang menarik perhatian adalah di tengahnya terdapat bentuk hati berwarna merah muda yang membuatnya terkesan sangat elegan.

"Dyah," panggil Revan. Dyah berbalik menatap Revan. "Kemari."

Dyah mengangguk dan berjalan mendekat ke Revan. Matanya langsung tertuju pada kalung berbentuk air mata itu.

"Apa Revan akan memberikannya padaku?"  tanya Dyah dalam hati.

Revan menunjukan kalung itu pada Dyah dan memasangkannya pada leher Dyah. "Apa kau menyukainya?"

"Tentu saja. Kalung ini sederhana, tapi begitu cantik," ujar Dyah. Dyah merapal doa dalam hatinya. Benarkah kalung ini untuk dirinya? Benarkah Revan membelikannya untuk dirinya?

"Kau membelikannya untuk--" ucap Dyah terpotong dengan pernyataan Revan.

"Benar, aku membelinya untuk Annetta. Jika kau menyukai kalung ini pasti dia juga akan menyukainya."

Serasa ada bongkahan batu besar menimpa dadanya. Sesak sekali. Ya Tuhan, Revan begitu kejam jika soal hati.

Dyah melepas kalung itu dengan tangan bergetar. "Ini, aku yakin Annetta sangat menyukai kalung itu. Kau memilihnya dengan baik, Van."

Revan tersenyum. "Aku tadi tidak sengaja melihatnya, aku langsung menyukainya dengan sekali pandang."

Dyah mengangguk dan pamit kembali meneruskan berbelanja. Dyah mengambil satu baju secara asal dan masuk ke kamar ganti. Seketika dirinya luruh ke lantai. Rasa sakit ini kembali datang, bahkan hari demi hari semakin menyiksanya.

"Aku harus bertahan. Demi hasil yang akan aku peroleh, aku akan terua berjuang."

***

Libur telah tiba, libur telah tiba. Hore hore hore hore wkwk

Selamat liburan. Dede udah naik kelas dong wkwk selamat yah yang naik kelas.

Hemm..
Maaf yah telat dua hari dari jadwal, dede ada urusan dan belum sempat update. Sebenarnya maunya tadi malam, cuma tiba-tiba kuota habis maafkan yah XD

Unrequited FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang